“Mama kenapa nangis terus?” Satria bertanya sembari mengusap pipiku yang teraliri lelehan bening. Sorot matanya memandangku penuh kekhawatiran, juga sedih. “Papa nakal lagi ya sama Mama?” pertanyaan Satria selanjutnya membuatku semakin tergugu. Kuraih tubuh Satria yang duduk di sampingku, dan kudekap erat bersama tubuh Elok yang sedari tadi duduk di pangkuanku. Aku merasa bersalah pada mereka, karena tidak bisa memberikan kehidupan keluarga yang harmonis layaknya keluarga lain. Kini, aku justru akan pergi entah sampai kapan, untuk mengobati luka hati dan merajut mimpi agar suatu hari nanti, aku tak lagi bergantung pada Pram. Kami masih berada di mobil Teh Retna. Teh Retna fokus menyetir di depan, sementara aku dan anak-anak duduk di kabin tengah. Sepanjang perjalanan tadi aku memang tak b