2. MASA KECIL

1126 Kata
Lhokseumawe,Aceh..... Di..Ka... Dika... Dikaaaa.... Si yang empunya nama langsung berlari dari dalam rumahnya menuju luar. Anak laki-laki dalam Jersey bola itu terlihat bersemangat ketika melihat teman-teman nya sudah berkumpul di depan rumah. Lengkap dengan Jersey mereka masing-masing. "Oi, kelen udah datang!". Serunya pada teman-teman nya itu. "Bentar ya, aku bilang mamak ku dulu". "Cepat ya, kita tunggu di depan lorong". Dika mengangguk, lalu ia kembali berlari kedalam rumah. Menemui ibunya yang sedang mencuci pakaian di sumur belakang. "Mak, Abang jak meu'en beoh!. ( Abang pergi main ya). ". Izinnya. "Eu, (ya)". Beliau hanya menjawab saja tanpa menoleh. Ia langsung berlalu pergi meninggalkan ibunya. Keluar dari rumahnya langsung mengambil sepeda dan menemui teman-teman di depan g**g rumah. "RADITTTT". Teriaknya pada rumah yang ada di ujung lorong. "OIII". terdengar sautan dari dalam rumah besar itu. Lalu tidak lama kemudian terlihat anak laki-laki seumuran dengannya. "Yok lah, udah pas nih!". Kata Zaki pada mereka. "Ayok lah". Dan mereka semua pun langsung berangkat. Mengkayuh sepeda masing-masing melewati perumahan yang lain menuju lapangan bola yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Pagi hari Minggu ini mereka selalu saja membuat acara. Dan pagi ini mereka akan melakukan pertandingan bola sepak dengan anak-anak kampung sebelah. Tiba di lapangan bola, ternyata lawan mereka sudah lebih dulu tiba. Zaki langsung memimpin mereka untuk berbicara terlebih dulu. Dan menentukan taruhannya. "Oke, sepuluh ribu nih". Kata Zaki menunjukkan uang lembaran ribuan yang sudah ia kumpulkan bersama dengan teman-teman. Begitu juga dengan tim lawan. "Oke". Dan mereka kemudian langsung mengambil tempat masing-masing. Dengan ukuran lapangan seperti biasanya. Lalu dengan jumlah pemain berjumlah sama. Dika dan Zaki mengambil posisi sebagai penyerang. Radit langsung mengambil posisi kiper. Pritttttt Peluit berseru pertanda pertandingan dimulai. Anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar itu terlihat begitu bersemangat mengejar bola. Bersorak-sorai, berlari kesana-kemari tanpa lelah. Semangat itu masih begitu membara. Terlebih mengingat taruhan mereka juga cukup lumayan. Mereka bisa jajan es buah jika menang nanti. *** Dika, Anjas dan Bima berlari saling berkejaran dari ujung lapangan seraya membawa satu kantung plastik jajanan. Mereka bertiga seolah sedang berlomba menuju teman-teman yang lain yang sudah terkapar kelelahan di pojokan lapangan. "Hahahaha.... Aku menang lagi!. Ah! Emang payah Kelen.. haha". Seru Dika sangat senang. "Weh,.. aku sengaja aja ngalah!. Sesekali kasih ko menang". Kata Anjas beralasan. Ia hanya mendelik saja, ikut duduk bersama yang lain. Dan meletakkan jajanan mereka di tengah-tengah. "Eh, entar sore maen guli (kelereng) yok!". Seru Akbar. "Boleh-boleh, aku kemaren abes menang di sekolah". Kata Zaki semangat. Semua terlihat setuju, namun Dika dan Radit tampak saling melempar lirik. Lalu keduanya berbisik pelan. "Ko masih ada guli?". Bisik Dika bertanya. "Gak ada, kan udah ko habesin kemarin di sekolah". Jawab Radit. Dika mendengus saja mendengar itu. Lalu Radit berbisik lagi. "Punya Bang Fajar, kan ada". Saat itulah senyum Dika merekah kembali. Anak itu langsung mengangguk dengan semangat. "Boleh, aku ikot aku ikot!. Maen dimana nanti?". Seru Dika semangat bukan main. "Biasalah, di depan rumah Zaki aja". Kata Anjas. "Eh, sempit tuh hai. Becek depan rumah dia". Jawab Radit. "Iya, Jas". Jawab Zaki. "Yaudah, maen depan rumah Pak Rauf aja.". Jawab Anjas lagi. Semua langsung mengangguk setuju. Anak-anak itu tampak betah duduk mengobrol di pojokan lapangan. Karena, disana tampak adem. Sinar matahari terhalang oleh perkebunan tebu yang ada di pinggir lapangan kampung. Sampai satu persatu kemudian berpamitan pulang. Hingga menyisakan Dika, Zaki, Anjas dan Radit. Mereka berempat memang sangat dekat. Walau berbeda sekolah, keempatnya rumahnya juga berdekatan. Kecuali Anjas, yang rumahnya dekat lapangan bola. Sedangkan ketiga lainnya masih berada dalam lorong yang sama. "Pulang lah aku, lapar". Kata Anjas beranjak. "Aku juga lah". Susul Radit kemudian. Dan keempatnya pun ikut saja. Mereka saling berpamitan. Dika langsung naik ke boncengan sepeda Radit untuk menuju pulang. "Zak, ko jual guli? Beli aku lah seribu". Kata Dika dalam perjalanan. "Seribu, dua ribu aku jual. Dua ribu 15 biji". Jawab Zaki tertawa kemudian. Dika mendengus, "liat, Dik. Pelit dia mah. Sama kawan pun,". Kata Radit. "Kawan sih kawan.. kemarin udah aku sedekahin ya!. Sekarang gak ada lagi". Kata Zaki mendelik. Keduanya langsung memamerkan cengiran mereka. Membuat Zaki mendengus malas. *** Di sekolah Dika cukup di kenal oleh teman-temannya. Bahkan sampai adik kelas pun mengenalnya. Selain memang selalu aktif di sekolah, Dika juga murid yang selalu menjadi pemimpin upacara setiap hari Senin. Selalu mewakili sekolah setiap ada lomba apapun. Semua guru di SDN 3 Dewantara mengenalnya. Meski terkadang bandel, tapi guru-guru tidak pernah bisa benar-benar marah padanya. Jam istirahat pertama, Dika selalu menghabiskan nya di kantin sekolah bersama Radit. Berbaur dengan teman-teman yang lain juga. Membuat kericuhan di kantin. Atau sekedar mengganggu anak-anak cewek. "Rahma!". Tiba-tiba Khairul berseru saat melihat dua anak cewek masuk kantin. "Dika kirem salam nih!". Langsung saja mendapatkan banyak sorakkan dari teman-teman yang lain. Dika jangan tanya, anak laki-laki itu langsung kaget dan kemudian langsung mendorong Khairul, karena malu. Mukanya sudah berubah memerah seperti tomat. Radit sudah tertawa terbahak melihat muka sahabatnya itu. "Enggak!. Enggak!. Jangan dengar!.. ".. seru Dika panik pada si anak cewek itu. "Ko Rul". Marah Dika pada teman sekelasnya itu. Bukanya takut, Khairul dan yang lain hanya tertawa semakin semangat. Dika itu memang berani, selalu menjadi nomor satu. Selalu menjadi pusat perhatian. Tapi, juga pemalu. Tidak suka di ceng-ceng in. Dan terkadang ambekan. Itu Dika saat masih berumur 11-12 tahun. Anak laki-laki yang masih terlihat polos dan juga masih belum memikirkan apapun tentang masa depan. Ia hanya anak kecil yang memikirkan hari ini. Hanya anak kecil yang suka bermain bersama teman-temannya. Hanya anak kecil yang masih suka berkhayal menjadi tokoh Hero idolanya. *** Lepas Isya, Dika turun dari balai ngaji. Mencari sendalnya dan mengajak Radit untuk pulang bersama. Keduanya memang sangat dekat. Dua anak itu seolah tidak pernah terpisahkan kecuali saat akan tidur. "PR MTK ko udah?". Tanya Dika. "Belom". Jawab Radit santai. "Ko?". "Sama lah". Jawab Dika bangga. "Malaslah aku". "Sama berarti". Jawab Radit lagi. Dan kemudian mereka berdua sama-sama tertawa. "Besok pagi lah, nyontek Husna". Ujar keduanya serempak. Dan kemudian kembali tertawa bersama. Dengan mengkayuh sepeda keduanya menyusuri jalanan yang minim cahaya. Dengan Radit di goncengan Dika. "Ayah ko jadi pulang besok?". Tanya Radit. "Jadi". Jawab Dika. Ayahnya memang tidak tinggal bersama dengannya sejak tiga tahun ini. Karena, sang Ayah bekerja di daerah lain. Ia dan ibu juga saudara-saudaranya yang lain tinggal bersama. "Jadi pindah waktu lulus?". Tanya Radit. Dan mendadak suasana menjadi hening. Dika hanya menjawab dengan deheman saja. Radit juga tidak lagi berusaha untuk membuka suaranya. Dan sisa perjalanan itu di isi dengan diam mereka dan suara pedal sepeda. Terasa mulai ada yang salah. Ia dan keluarganya memang berniat akan pindah ke Banda Aceh. Karena Ayahnya bekerja disana. Dan seharusnya memang sejak dulu. Tapi, kata ibunya tanggung mengingat ia kala itu masih kelas 5. Jadi, nunggu ia lulus dulu baru akan pindah dan tinggal bersama dengan Ayahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN