Hati Yang Hancur

1657 Kata
Banda Aceh, NAD, Indonesia.... Dika berjalan menyusuri koridor sekolahnya yang tampak sepi. Dari lantai dia menoleh ke bawah. Ke arah lapangan sekolah yang cukup luas. Karena ada tiga lapangan di sana. Yaitu satu lapangan Basket yang menjadi satu dengan lapangan futsal dan dua lapangan voli. Beberapa siswa dan siswi ada yang masih betah di sekolah. Padahal hari sudah mau petang, termasuk dirinya yang harus rela pulang terlambat karena ia harus membersihkan seluruh kelas sebagai hukuman karena ketahuan cabut sekolah kemarin. Ia sungguh s**l kemarin dan hari ini. Menuruni anak tangga ia bertemu dengan Bu Laras yang baru saja melintas di lantai satu. Sepertinya hendak pulang. "Assalamualaikum, Bu. Pulang Bu". Ia menyapa dengan penuh sopan dan santun. "Eh, waalaikumsalam. Ardika. Kamu belum pulang?". Jawab beliau. "Ini mau pulang". Jawabnya dengan senyuman ramah. Bu Laras, guru Matematika yang kebetulan mengajar di kelasnya itu melirik pada sapu di tangannya. Kemudian beliau menggeleng, membuat nya menunjukkan cengiran malu. "Yaudah, ibu duluan". Pamit beliau. "Eh, iya Bu." Jawabnya. Setelah mengucapkan salam, Bu Laras pun berlalu pergi. Ia juga menuju ruang penyimpanan barang-barang kebersihan. Yang ada di bagian paling ujung koridor ruang guru dan kepala sekolah. Selesai melakukan semua hukuman, ia langsung kembali ke kelas mengambil tasnya. Lalu memilih untuk segera pulang kerumah. Namun niatnya harus terpaksa ia urungkan ketika di parkiran ia sudah di hadang oleh sahabat laknatnya. Siapa lagi kalau bukan Radit. Ini dia biang kerok, kenapa ia bisa di hukum hari ini. "Apaan". Tanyanya dengan malas. "Ya ampun, muka ko kusut kali kayak keset kaki ruang kepala sekolah!". Kata Radit merangkul bahunya. "Cepat, aku mau pulang capek gila". Jawab Dika sambil naik ke motor Jupiters MX nya. Motor yang di belikan oleh sang Ayah untuk ia pulang pergi sekolah. "Yaelah, aku juga capek kali. Mau pulang juga". Kata Radit. "Yaudah, sana lah. Jangan ngikutin aku". Jawab Dika. Tak Dan jitakkan Radit langsung mendarat di kepalanya. Beruntung ia sudah mengenakan helmnya. Kalau tidak, ia akan memastikan saudara laknat itu berakhir di sungai seberang sekolah mereka. "Kan kita satu rumah, b**o!. Ya aku ngikut kau lah!". Katanya langsung naik keboncengan Dika. "Oh, iya ya!. Lupa aku". Kata Dika cengengesan sendiri. Radit hanya memutar malas bola matanya. Dika pun memundurkan motornya. Kemudian menyalakan mesin dan menarik gasnya. Motor itu melaju dengan santai. Melewati lapangan, dimana ada anak-anak club' Tari yang sedang latihan. "Lena tuh". Kata Radit. "Hm". Ia hanya melirik saja. Sosok gadis cantik berkerudung pink soft juga meliriknya. "Kenapa sih, ko cuek kali. Anak-anak yang lain pada naksir dia. Eh, dia naksir kau. Kau malah cuek bebek sok b**o". Dika tidak terlalu menanggapinya. Ia tau kalau gadis cantik berkulit putih itu naksir padanya. Tapi, ia tidak. Entah lah, ia sampai sekarang masih belum menaruh hati pada siapapun saat ini. Tunggu! Belum menaruh hati pada siapapun?. Sepertinya salah. Ada. Ia sudah menaruh hatinya pada seseorang. Tapi, ia masih belum punya keberanian untuk mendekati si gadis ini. Ia terlalu malu untuk mendekati seorang gadis yang ia sukai. Yang selalu ia perhatikan selama dua bulan belakangan ini. *** Setiap pagi di hari Minggu, Dika dan Radit sudah berteger di stadion. Melakukan pemanasan dan kemudian berlari mengelilingi bagian luar lapangan stadion. Hampir setiap pagi di hari Minggu mereka berdua melakukan itu. Sebelum melakukan latihan Sepak Bola. Dua bulan lagi mereka akan mengikuti POPDA (Pekan Olahraga Pelajar Daerah Aceh). Dan mereka berdua menjadi salah satu pemain di cabang sepak Bola. Dua tahun lalu mereka tidak bermain untuk Banda Aceh, tapi untuk daerah Pidie. Tanah kelahirannya sendiri. Kalau Radit kan bukan asli orang Aceh. Tuh anak orang Jawa yang nyasar ke Aceh. Hehe.. Orang tuanya dulu menetap di Aceh. Sebelum menutup usia dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Dan akhirnya kini sahabatnya itu menjadi saudaranya sendiri. Karena, kedua orang tuanya sudah mengangkat Radit sebagai anak sendiri. Itu juga karena ia dan Radit sangat dekat. Begitu juga kedua orang tua mereka. "Ke sana yok". Ajak Radit tiba-tiba setelah mereka 10 kali mengelilingi stadion. Masih dengan napas tersengal, ia menoleh ke arah tunjuk Radit dan langsung tersentak sendiri. "Eh,!. Ngapain! Gak mau aku!". Seru Dika di serang panik tiba-tiba saat Radit sudah akan melangkah menuju lapangan Basket. Ia langsung menarik tangan Radit. "Ada Dilla, tuh". Kata Radit bingung sendiri. Ia menoleh lagi ke arah lapangan Basket. Di sana ada beberapa cewek yang sedang melakukan pemanasan. Dan salah satunya ia kenali. "DIKA! RADIT!". baru juga di sebut oleh Radit. Sang empunya nama sudah berteriak memanggil mereka. Membuat ia dan Radit menjadi pusat perhatian. Ia langsung kembali panik tiba-tiba. "Kau kenapa sih? Aneh kali". Kata Radit heran sendiri. "Enggak!". Jawabnya cepat. "Haus!. Ya. Aku haus!. Beli minum yok". Ajak nya menuju kios mobil. "Kau gih beli, aku kesana". Kata Radit dan langsung berlalu. "Dit!". Telat sudah. Sang empunya nama sudah berlari menuju lapangan basket. Ia mendengus, menghela napas dan menuju kios untuk membeli minuman. Di lemparnya pandangan ke arah sana. Ia melihat sahabatnya itu sedang berkenalan dengan teman-teman nya Dilla. Dilla itu teman tongkrongan kita. Anaknya tomboy tapi tidak tomboy-tomboy sekali. Masih terlihat sisi ceweknya. Dan, doi juga seorang model di sekolahnya. " Berapa Bang?" Tanya Dika setelah mengambil dua botol air mineral. "delapan ribu". Ia mengambil uang sepuluh ribu dari tas kecil di lengannya. Tempat ia menyimpan ponsel. Setelah menerima kembalian, ia langsung menyusul Radit yang kini terlihat sok akrab dengan cewek-cewek club' basket itu. Mereka sepertinya latihan untuk Popda juga. *** Dika memilih duduk di bangku yang terbuat dari semen yang ada di pinggir lapangan. Memandangi Radit yang sedang mendribble di kulit Orange itu dengan sok jago. Lalu ia melirik pada cewek yang sedang berlari mengelilingi lapangan seorang diri. Cewek itu terlihat manis mengenakan celana training hitam dan baju manset hitam di timpa Jersey Basket bertuliskan SMANSA. Ada namanya di balik punggung gadis itu. Rahma Setelah berlari delapan putaran, tiba cewek itu berjalan mendekat padanya dan berdiri di sampingnya. Ia melirik melalui ujung mata. Gadis cantik yang mengenakan kerudung hitam itu mengambil minum dan meneguknya sendiri. Jantungnya? Jangan tanya, sudah seperti orang habis sprint dua puluh kali bolak balik. "Ha.. Dik!. Mana minum aku?". Radit tiba-tiba muncul membuatnya kaget. Hampir saja ia terjungkal kebelakang. Membuat mereka yang di sana tertawa. Termasuk gadis di sampingnya. "Kambeng!". Ketusnya. "Kawu kenapa sih!?. Gitu aja kaget!". Kata Radit geli sendiri. Ia mendengus, matanya melirik lagi pada gadis itu. Dan jantungnya berhenti berdetak untuk sedetik. Saat ternyata gadis itu juga tengah memandanginya. "Eh, Rahma kan tadi namanya? ". Kata Radit tiba-tiba. Gadis itu mengangguk. "Kenalin, temen ku. Namanya Dika.". Dika langsung tersedak minuman nya sendiri. Menoleh kaget pada Radit yang memandangi dengan tawa geli sendiri. Ia langsung berdehem, mencoba menguasai dirinya sendiri yang sudah seperti orang bodoh. Dan ia kemudian hanya melempar senyuman ramah menyapa sambil mengangguk kepala. Gadis itu juga melakukan hal yang sama. Prittt Suara peluit mengagetkan mereka. Ternyata, sang pelatih sudah kembali entah dari mana. Membuat semua anggota langsung berkumpul. Radit duduk di sampingnya. Ia mengulum senyum kecil memandangi Rahma yang kini sudah berkumpul dengan sembilan pemain lainnya. "Doi, masih single". Kata Radit pelan. Ia langsung menoleh cepat dengan muka berbinar. Membuat Radit langsung tertawa terbahak, ia langsung meringis malu saat menyadari jika ia sudah ketahuan sahabatnya tengah naksir Rahma. Jika saja sahabat nya tau, ia sudah memperhatikan gadis itu secara diam-diam selama dua bulan ini. Habislah dia. Ia harus memenggal kepalanya sendiri untuk menyimpan mukanya di lemari saking malunya dia. *** Pulang dari latihan sepak Bola, Dika dan Radit melihat ada mobil mewah yang terparkir di depan rumah mereka. Membuat keduanya langsung mengerutkan dahi bingung. Siapa yang datang bertamu kerumah mereka. "Assalamualaikum". Ia mengucap salam pada Mamaknya yang sedang duduk menjaga warung di depan rumah. Kemudian langsung menyalami beliau di susul dengan Radit. "siapa Mak? ". Tanya Dika "Pak Wa". Jawab beliau. Ia dan Radit hanya ber oh tanpa suara. Lalu berpamitan untuk masuk kedalam untuk membersihkan diri. Radit masih menyempatkan diri mengganggu Afdhal yang sedang menonton tv. Adik nya itu langsung mengamuk saat di ganggu Radit. Selesai mandi dan juga makan, Ia pergi mencari Ayahnya. Dan menemukan beliau di dalam ruko bekas peralatan material. Dimana dulu adalah tempat kerja sang Ayah sebelum kemudian mereka bangkrut. " Ini ambil untuk kamu. " Pak Wa memberikan uang pada Ayahnya. " Cuma segini? Mana cukup?. " Jawab Ayahnya. " Ck, untuk kamu sudah cukup, untuk apa banyak-banyak duit. Kalau untuk kamu ini sudah banyak ". Dika mengepalkan tangannya mendengar nada menghina Om nya itu. Pak Wa itu bukan lah orang lain. Beliau adalah Abang Ayahnya sendiri. Berasal dari kalangan atas. Mereka berbeda nasip saja. "Ambil aja buat Abang ". Ujar Ayahnya mengembalikan uang itu ketangan Pak Wa. Tepat saat ia akan melangkah untuk menghampiri keduanya. Berniat untuk melempar lagi uang itu ke wajah manusia sombong itu. "Saya tidak butuh lagi ". Dika langsung berbalik pergi, sebelum Ayahnya melihat dirinya. Ia langsung bergegas kembali kerumah dan masuk kedalam kamar. Radit sampai kaget ketika ia membuka pintu dengan kasar da menutupnya dengan cara yang sama. "Kenapa sih? ". Tanya Radit bingung. Dika tidak menjawab, ia memilih untuk tidur dan memejamkan kedua matanya. Bayangan tadi terus berputar di kepalanya. Nada menghina dan merendahkan itu telah menghancurkan hati nya. Itu bukan pertama kalinya. Ia tau itu. Ayahnya memang tidak sesukses Sang Pak Wa. Mereka bukan orang kaya. Justru termasuk kurang mampu. Sejak ayahnya tidak lagi bekerja karena usaha nya bangkrut, sang Ibu lah yang banting tulang untuk mencari nafkah. Dengan menjual gorengan dan rujak di depan rumah. Dengan dibantu ayahnya. Sedangkan, ia dan tiga adiknya masih sekolah. Ia dan Radit juga terkadang ikut membantu dengan bekerja di warnet dan juga bermain bola sebagai pemain bayaran. Ia sadar kalau keluarganya sudah, sangat susah. Dan kebanyakan saudara-saudara nya kurang lebih sama saja dengan Pak Wa nya itu. Ibunya sering mengeluh lelah dan capek. Ayahnya juga mulai sering sakit-sakitan. Dan walau begitu ia tidak ingin menyerah akan sekolah. Dan ia juga tidak ingin adik-adik nya putus sekolah. Bahkan, bungsu masih balita. "Dika, aku pegi dulua ya ". Pamit Radit padanya. Ia bahkan tidak menjawabnya. Radit pun berlalu keluar kamar mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN