SIDE STORY : Maxime Anderson [LAST]

2525 Kata
Eleanor menaikkan selimutnya begitu Queenie meninggalkan kamar. Wanita itu berbaring sembari menatap ke langit-langit kamar. Ia memikirkan beberapa hal dan tentu saja semuanya bukan sesuatu yang mudah untuk dipikirkan. Ketika dia sedang melamun, pintu kamarnya kembali dibuka. Wanita itu menoleh ke kiri dan mendapati Maxime yang berdiri di depan pintunya. Dengan segera Eleanor tidur menyamping karena dia tidak mau melihat Maxime untuk sementara waktu. "Kau sakit?" Tanyanya. Eleanor tidak bersuara. Dia memejamkan matanya erat karena masih kesal dengan ucapan Maxime beberapa hari yang lalu. "Aku bertanya, Elea," Tekannya. "Pergi. Aku mau istirahat." Maxime menatap wanita yang sudah ia nikahi diam-diam itu dengan satu alis terangkat. Kenapa dia sangat sensitif sekali? Lelaki itu mendekati ranjang lalu ia menarik pelan bahu Eleanor agar kembali menghadapnya. Eleanor tentu saja menolak, dia menggeser tubuhnya semakin jauh dari Maxime agar pria itu sadar kalau dia tidak mau dekat-dekat dengannya. "Aku minta maaf, Elea. Aku tidak sengaja mengucapkan itu padamu." Eleanor tidak membalasnya. Dia masih setia untuk tetap tidur meski hatinya merasa sakit. Beberapa hari yang lalu Maxime pulang malam sekali. Memang bukan hal yang aneh, tapi yang membuat Elea kesal adalah kenyataan kalau Maxime pulang diantar oleh Stacy. Satu lagi, dia pulang dalam keadaan mabuk! Hanya Tuhan yang tahu apa yang sudah dilakukan Maxime bersama penyihir gila itu. Kemudian, ketika Eleanor diminta Alaina untuk membantu Maxime yang sempoyongan, pria itu mengucapkan kata-kata yang membuat dia sangat sakit hati. Flashback Eleanor menaruh nampan berisi air hangat dan mangkuk air untuk mengusap wajah Maxime yang berkeringat. Alaina memercayakan putranya kepada Eleanor karena di saat yang bersamaan, Stefan terkena demam. Jadi dia mesti merawat suaminya terlebih dahulu. "Sudah ku bilang jangan minum alkohol, Maxie. Kenapa masih kau lakukan?" "Cih, diam saja kau, sialan! Kau senang kan bisa berduaan dengan Kakak sialan ku itu?" Gerakan tangan Eleanor terhenti begitu dia mendengar alasan kenapa Maxime mabuk-mabukan bersama Stacy. Pria ini kembali menuduhnya? "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti." "Tidak mengerti, heh? Elea, kau jangan pura-pura polos. Di belakang ku kau pasti selingkuh dengan Ethan, kan? Bagaimana? Penisnya jauh lebih enak?" Eleanor menampar pipi Maxime karena ucapannya sudah keterlaluan. Napasnya tersengal-sengal karena merasa tersinggung dengan apa yang Maxime katakan. "Jaga ucapan mu, Maxime. Aku tidak serendah yang kau pikirkan!" Maxime mencengkram erat kedua bahu Eleanor lalu memberinya tatapan tajam. Elea tahu kalau Maxime masih mabuk, tapi dia tetap saja sakit hati dengan apa yang dikatakan Maxime padanya. Serendah itu kah dia di mata suaminya sendiri? "Katakan kalau kau memang menyukai Ethan, Eleanor. Kau mencintai dia dan berharap untuk bersamanya daripada aku, kan? Kau istri yang tidak tahu diuntung. Aku menyesal menikah denganmu." Deg! Eleanor merasakan hatinya berdenyut sakit mendengar ucapan Maxime. Kenapa dia sangat jahat dan tidak pernah memikirkan perasaannya sama sekali? Tidakkah Maxime sadar kalau Eleanor hanya mencintainya? "Kau memang pria gila, Maxime. Kau memaksaku untuk menikah di saat kita berdua baru lulus sekolah dan kini kau berkata kalau kau menyesal? Kau sudah merusak ku sejak lama dan kini kau mau melakukannya lagi?!" Eleanor melempar handuk kecil yang dia pegang lalu dengan cepat dia berlari meninggalkan kamar Maxime. Selalu saja begini, mereka selalu bertengkar setiap hari. Flashback END Eleanor mengusap matanya cukup keras. Dia tidak peduli apakah Maxime akan semakin marah padanya. Dia hanya ingin sendirian saat ini. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu hari ini." Pria itu melangkah keluar kamar karena merasa percuma. Dirinya merasa berbicara dengan patung saja. Eleanor sama sekali tidak memerhatikan dirinya. Selepas kepergian Maxime, tangis Eleanor kembali terdengar. Dia duduk di atas ranjang lalu mengusap matanya yang basah. Di tengah tangisannya, Eleanor merasa perutnya melilit. Dia dengan segera pergi ke kamar mandi lalu akhirnya muntah di wastafel. Eleanor memegang sisi wastafel sebelum ia berkumur-kumur. Wanita itu membasuh wajahnya yang terlihat sangat pucat, bisa dilihat kalau dia memang sedang sakit. "Aku rasa aku kurang istirahat." Eleanor mengambil tas berisi obat-obatan dan beberapa perlengkapan wanita lainnya yang sengaja ia simpan di satu tempat. Ketika ia hendak mengambil vitamin, mata sewarna madu miliknya tidak sengaja melihat benda kecil yang sangat tidak asing lagi. Testpack? Eleanor menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin dan seketika dia merasa kosong. Kakinya mundur ke belakang sampai menyentuh dinding. Ya Tuhan, Eleanor lupa kalau dia sudah terlambat datang bulan dan... Eleanor dengan cepat menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Dia mengusap rambutnya frustasi karena kebingungan. "Apa aku harus mencobanya?" Eleanor menggigit kuku jarinya dan menatap alat tes kehamilan yang berada di atas wastafel. Jika memang benar dia hamil, lalu apa yang akan Elea katakan kepada Maxime? Eleanor pun memutuskan untuk mencobanya. Dia tidak tahu akan berakhir bagaimana, tapi tidak ada salahnya mencoba. Setelah membaca cara penggunaannya, Eleanor pun mencoba benda itu. Elea bingung harus berdoa apa, tapi semoga saja Tuhan tidak mempersulit hidupnya. ... Siang itu adalah saat yang buruk. Eleanor terduduk di sudut ruangan sembari memegang ponselnya. Di atas lantai terdapat benda putih yang menunjukkan dua garis merah. Itu artinya dia positif. Ada calon bayi di perutnya dan kini hidup Eleanor sudah seperti di neraka. "Aku... Aku harus bagaimana?" Dengan bergetar dia mencari nomor Maxime lalu menekan tombol hijau. Beberapa detik kemudian suara dari seberang sana terdengar. "Elea? Ada apa?" "Bi-Bisakah kau pulang?" "Kenapa? Kau mau sesuatu?" Eleanor memejamkan matanya dan seketika air matanya mengalir. "A-Aku... Ehm, kita dalam masalah." "Apanya? Bicara yang jelas, Elea." Dia mengusap pipinya yang basah sebelum kembali menatap alat tes kehamilan yang tergeletak di atas lantai. "Aku hamil, Maxie. Aku hamil dan tidak tahu harus bagaimana." Sejenak dia tidak mendengar suara dari seberang sana. Eleanor menduga kalau Maxime pasti sedang marah dan kebingungan juga. Mereka sepakat untuk tidak memiliki anak sampai waktu yang ditentukan karena baik dirinya atau Maxime sama-sama belum siap untuk menjadi orangtua. "Tetap di sana. Aku pulang sekarang." Panggilan pun terputus. Eleanor menaruh ponselnya ke atas lantai lalu dia kembali menangis di sudut sana. Elea tidak tahu apakah dia mesti senang atau sedih. Jika ia mau berpikir, sudah sewajarnya dia hamil. Maxime adalah suaminya dan dia tidak akan sendirian. Namun, pernikahan mereka adalah sebuah rahasia besar. Eleanor tidak sanggup menanggung kebencian semua orang jika dia mengatakan yang sebenarnya. Wanita itu perlahan berdiri. Dia berhenti tepat di depan kaca seluruh badan lalu ia menatap keadaannya yang masih normal. Entah sudah berapa lama dia bersemayam di dalam rahimnya. Ia mengangkat baju yang dia pakai lalu telapak tangannya mengusap perut datar itu dengan sedikit keraguan. Eleanor menyampingkan tubuhnya dan menatap tepat ke arah perutnya yang pasti akan segera membesar. Oh Tuhan, apa yang harus dia lakukan kini? Maxime saja masih kuliah dan belum memiliki pekerjaan tetap, bagaimana mereka akan membiayai masa depan anak ini? Memang, Paman Stefan adalah orang kaya, tapi tetap saja mereka tidak bisa bergantung pada pria tua itu terus. Ini akan terdengar sangat sulit. "Aku terlalu ceroboh. Harusnya aku memasang kontrasepsi berjangka." Ia menurunkan pakaiannya lagi lalu dia duduk menunggu di atas ranjang. Tak lama kemudian, Maxime datang. Pria itu terlihat frustasi dan seperti menahan amarah. "Maxie?" "Bagaimana bisa, Elea? Kau tidak minum pil?" Tanyanya langsung setelah ia mengunci pintu kamar. Eleanor berdiri dan seketika dia ingin menjerit bingung. Dia meminum pilnya setiap dua hari sekali sesuai saran dokter, tapi ternyata tetap kebobolan. Eleanor pun tidak mengerti kenapa pil yang dia minum tidak bekerja sebagaimana mestinya. "Maxie, aku mohon jangan minta untuk-" "Gugurkan." Deg! Jantung Eleanor seperti berhenti berdetak ketika suaminya sendiri berkata sekejam itu kepada anak yang bahkan baru berupa gumpalan. Apa yang dia pikirkan ketika mengucapkan kata itu? Eleanor tiba-tiba merasa marah,"Memangnya kau siapa berani memisahkan aku dan bayiku, hah?! Kau orang gila!" Maxime mengerang frustasi. Dia mengambil langkah lebar ke arah Eleanor lalu ia menekan kedua bahu wanita itu cukup kuat sampai Elea meringis karenanya,"Lalu kau mau bagaimana, Elea?! Aku masih kuliah dan demi Tuhan... Aku tidak punya apapun untuk menghidupi mu dan bayi itu!" Eleanor menghempaskan tangan Maxime dari bahunya dan menatap pria itu penuh permusuhan,"Kalau kau tidak siap, lalu kenapa kau memaksaku untuk menikah, hah?! Kau mau menyalahkan siapa?!" Maxime berteriak kesal. Dia mengacak rambutnya karena frustasi dan sangat kehilangan arah. Tidak, dia tidak siap untuk punya anak sekarang. Maxime masih ingin menikmati masa mudanya yang bebas. Dia tidak mau memiliki anak saat ini juga! "Aku tidak bisa, Elea. Sekarang kita pergi ke dokter untuk melakukan aborsi!" Maxime menarik pergelangan tangan Eleanor, tapi wanita itu memberontak. Dia dengan cepat menampar wajah Maxime cukup keras karena terlampau marah. "Kalau kau tidak mau anak ini, baiklah... Aku akan pergi sekarang juga dari sini! Aku bisa hidup sendirian tanpa lelaki b******k seperti dirimu!" Eleanor berbalik lalu mengeluarkan kopernya. Dia memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper lalu Eleanor mengambil satu tas lagi untuk menyimpan beberapa keperluannya yang lain. Maxime hanya diam di tempatnya sambil memandang Eleanor yang sibuk mondar-mandir membereskan barang. Pria itu mengumpat kesal lalu dihentikannya gerakan tangan Eleanor yang sedang menutup koper. "Baik! Kita pindah ke apartemen yang sudah aku beli. Kau tidak bisa tinggal di sini dalam keadaan hamil. Tunggu aku di lantai bawah." Maxime pergi meninggalkan Eleanor yang akhirnya termenung di tempat. Elea duduk di pinggir ranjang lalu mulai menangis lagi. Dia tidak tahu bagaimana kehidupannya nanti dan semoga saja Tuhan memberinya kemudahan. Rencana gila mereka untuk pindah ke apartemen cukup mengundang banyak perhatian. Alaina mempertanyakan alasan Eleanor yang hendak pindah dan di saat yang bersamaan wanita tua itu juga bingung karena Maxime pun turut pindah. Elea menjelaskan kepada Alaina kalau dia ingin memulai kehidupan mandiri dan berusaha untuk menyelesaikan semuanya sendirian. Alasan klise, tapi untungnya pasangan Anderson itu menerima alasannya dengan baik. Maxime pun hanya beralasan kalau dia mau menjaga Eleanor sekaligus ikut hidup mandiri. Tidak ada nada curiga yang menguar dari kedua orangtuanya. Mereka malah terlihat senang karena Maxime cukup berperan seperti seorang kakak. Beruntung karena mereka tidak mengendus sesuatu yang mencurigakan. Stefan menyerahkan satu mobilnya untuk Maxime dan berkata kalau lelaki itu harus mengajak Eleanor menginap di rumah mereka setiap hari Sabtu dan Minggu. Setelah banyak berbincang mengenai apartemen dan segala hal di dalamnya, Maxime beserta Eleanor pun masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan area rumah mereka. Selama di perjalanan, tidak ada satu pun percakapan yang terdengar. Mereka tampak sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa ada niatan untuk membuka obrolan. Setengah jam kemudian, gedung apartemen pun terlihat. Maxime membawa koper-koper mereka lalu masuk ke dalam lift bersama dengan Eleanor. Sialan, mulai detik ini dia benar-benar akan menjadi kepala keluarga. Eleanor akan sangat bergantung padanya dan Maxime harus memerhatikan keuangan. Meski Papanya kaya, tapi itu tidak membuat Maxime memiliki uang berlimpah. Sama halnya seperti Queenie, Maxime masih diberi uang bulanan oleh Stefan dan Alaina. Ia harus bisa berhemat karena ada nyawa lain yang mesti dia perhatikan juga. "Ini apartemen kita. Lumayan untuk ditinggali berdua." Eleanor menatap ke sekelilingnya dengan seksama. Tempat ini cukup besar dan bagus. Untuk pertama kalinya Elea merasa nyaman begitu sampai di tempat asing. Pandangannya kembali bertemu dengan Maxime yang berdiri menyandar di dinding penghubung dapur. Pria itu menatapnya intens dan sekejap membuat Eleanor merasa agak tidak nyaman. "Elea, kita benar-benar harus melakukan sesuatu dengan bayi itu." "Mau apa? Kau masih ingin agar aku melakukan aborsi?" Tanyanya. Maxime terdiam tanpa hendak menjawab. Jujur saja, sebenarnya dia agak menginginkan kehadiran bayi itu, tapi di sisi lain Maxime sangat tidak siap. Dia mau punya anak, tapi nanti jika dia sudah sangat siap. Kesalahannya karena selalu membuang di dalam tanpa memikirkan risiko ke depannya. Pil anti kehamilan bisa saja tidak bekerja dengan baik jika Tuhan menginginkannya begitu. "Bagaimana cara menyembunyikannya, Elea? Kau tidak mungkin pergi dan terlihat dalam keadaan perut besar. Aku harus bilang apa pada keluarga ku?" "Jangan tanya padaku. Bayi ini juga tanggung jawab mu, Maxie. Aku hanya ingin kau menerima kenyataan kalau kita adalah pasangan suami-istri yang akan segera punya anak, apapun kondisi kita ke depannya. Aku tidak peduli jika hidup susah asal kau berjanji untuk tetap di samping ku." Maxime memejamkan matanya karena merasa lelah. Oke, dia berkomitmen maka itu artinya dia berani menanggung apapun. Tidak ada yang salah, toh mereka juga sudah menikah meski hanya Tuhan yang tahu. "Untuk saat ini kita bisa gunakan uang yang diberikan Papa padaku. Minggu depan aku akan mulai mencari pekerjaan sampingan untuk membeli keperluan mu selama hamil." Eleanor tentu saja tidak menolak. Dia merasa ada harapan untuk dirinya dan Maxime juga calon anak mereka. Meski akan ada banyak rintangan yang menghadang, Elea hanya berharap kalau Maxime tetap ada di sampingnya. ... Malam itu, Maxime memutuskan untuk pergi keluar. Dia memakai jaket miliknya lalu dompet dan kunci mobil. Elea sudah tertidur di atas ranjang sejak beberapa menit yang lalu. Wanita itu berkata kalau dia cukup kelelahan karena membereskan pakaian ke dalam lemari. Lelaki itu masuk ke dalam mobil lalu pergi ke supermarket terdekat yang ada sana. Dia tidak bisa tidur, jadi Maxime ingin membeli sesuatu agar dia bisa tidur nyenyak malam ini. Dia masuk ke dalam supermarket dan mengambil troli kecil. Dia mengambil beberapa cemilan dan minuman soda untuk menemaninya malam ini. Tanpa sengaja Maxime melihat ke bagian khusus ibu hamil. Dia melangkah pelan ke sana dan melihat-lihat beberapa kotak s**u hamil yang mungkin akan dibutuhkan Eleanor. "Elea suka s**u rasa apa?" Dia meraih salah satu kotak s**u dan menatapnya seksama. Astaga... Dia masih tidak percaya ini. Apakah benar Eleanor sedang hamil? Bayinya? Bagaimana kalau hasil tes itu salah? Ah, rasanya tidak mungkin kalau salah. Maxime tahu diri kalau dia sering meniduri Eleanor dan selalu mengisi rahim wanita itu. Sudah pasti akan membuahkan hasil. "Permisi Tuan, sedang mencari s**u ibu hamil?" Seorang pegawai tampak mendekatinya dan hendak membantu. "Ah, iya... Apa, uhm, apa ada produk yang bagus?" "Istri Anda biasa meminum rasa apa?" "Aku tidak tahu. Dia baru saja memberitahu kalau dirinya sedang hamil." Pegawai itu lantas menjelaskan mengenai beberapa produk dengan kualitas terbaik kepadanya meski Maxime tidak begitu mengerti dengan apa yang dia katakan. Seusai pegawai tersebut bicara, Maxime memutuskan untuk membeli beberapa kotak s**u hamil saja. Bagaimana pun dia adalah ayah dari anak itu, mana mungkin dirinya tak bertanggung jawab walau masih agak gengsi untuk mengakuinya. Setelah membayar segala barang yang dia beli, Maxime masuk ke dalam mobil dan kembali ke apartemen yang dia tinggali bersama Eleanor. Semoga saja Papa dan Mamanya tidak curiga sampai bayi itu lahir. Dia masuk ke apartemen yang sangat gelap karena lampu telah dimatikan. Maxime menaruh belanjaannya ke atas meja makan dan mengeluarkannya satu persatu. Ditatapnya kembali s**u hamil yang baru saja dia beli, ini baru tanggung jawab pertama, akan ada tanggung jawab lainnya yang harus dia penuhi. Dia duduk di atas kursi makan dengan hati yang kalut. Usianya masih 22 tahun dan dia akan punya anak? Apa yang akan dikatakan oleh teman-temannya jika mendengar kabar ini? "Sialan! Aku seharusnya tidak melakukan ini!" Umpatnya kepada diri sendiri. Tanpa Maxime sadari, Eleanor berdiri di pintu dapur. Wanita itu menahan kesedihannya karena menduga kalau Maxime benar-benar menyesal telah menikah muda dengannya. Ia perlahan mengusap perut datarnya dan menatap lirih kepada janin yang berada di dalam sana. Apa dia akan bahagia jika melihat Maxime seperti itu? "Maxie..." Pria yang tengah frustasi itu lantas dengan cepat menoleh ke belakang. Dia terkejut saat melihat Eleanor berdiri di belakangnya dengan wajah yang dipenuhi air mata. "Elea?" "Kau... Apa kau akan meninggalkan kami?" Tanyanya dengan sedih. Maxime berdiri dari atas kursi, dia mendekati Eleanor lalu ia menangkup kedua pipi basah Eleanor. Wanita ini begitu rapuh seperti pasir. Dia tidak bersalah sama sekali, tapi harus menjadi korban dalam situasi ini. Hanya karena keegoisan semata. "Aku tahu aku salah dan aku minta maaf. Aku tidak akan meninggalkan mu, Elea ku." Eleanor dengan cepat memeluk tubuh pria yang sangat dia cintai itu dan berharap Maxime serius dengan ucapannya. Maxime sendiri tidak tahu apakah dia bisa memercayai ucapannya sendiri. Sekarang semuanya terasa berat apalagi kini mereka akan segera memiliki bayi. Bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan kepada keluarganya kalau selama ini mereka menyimpan satu rahasia besar sejak lama? TBC A/N : Halo Side Story ini akan jadi pengantar di Anderson Series 2 :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN