Sesuai dengan ucapan Christian, pria itu mengantar Queenie pulang ke rumahnya. Gadis itu hanya berkata terima kasih lalu melambaikan tangan ketika mobil Christian meninggalkan lokasi rumahnya. Ia menghela napas berat lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya. Sedari tadi jantungnya tidak berhenti berdetak kencang karena kehadiran Christian. Pria berusia 28 tahun itu berhasil membuat ia terpesona dan Queenie yakin, dia sedang jatuh cinta pada Profesornya sendiri.
Gadis itu membuka pintu dan begitu dia masuk, dia melihat Papanya yang baru saja keluar dari pintu kamar. Queenie tiba-tiba menangis keras lalu berlari ke arah Stefan untuk segera mencari perlindungan dari pria yang ia sebut Papa.
"Papa!" Teriaknya setelah berhasil memeluk Stefan. Pria yang baru saja keluar kamar itu lantas bingung karena tiba-tiba putrinya datang lalu memeluknya erat.
"Queen? Kau baru pulang? Ada apa?" Stefan hendak melepas pelukan putrinya, tapi Queenie malah menangis keras membuat ia curiga akan sesuatu. Apa yang terjadi? Kenapa putrinya pulang seperti ini?
"Queenie, lihat Papa. Hei, ada apa?" Stefan menangkup pipi Queenie lalu menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Queenie jarang menangis, itulah kenapa ia menjadi khawatir kalau melihat putrinya tiba-tiba seperti ini.
"A-Aku..." Gadis itu menggeleng lalu ia berlari dari depan Papanya untuk masuk ke kamarnya sendiri. Stefan menaikkan sebelah alisnya, kenapa pula putrinya yang satu itu?
Stefan hendak menyusul ke kamar Queenie dan menenangkan putrinya, tapi dia kembali berpikir. Biasanya gadis-gadis seumuran Queenie sering mengalami patah hati, mungkin saja Queenie tengah patah hati atau semacamnya. Urusan seperti ini bukanlah kapasitasnya. Dia akan membiarkan Queenie tenang terlebih dahulu.
Sedangkan Queenie, ia masih menangis dengan selimut yang sudah mengurung dirinya seperti kepompong. Dia merasa kacau karena masalah semalam ditambah kenyataan kalau ia lagi-lagi jatuh cinta pada orang yang salah. Setelah begitu banyak berpikir soal yang terjadi, Queenie memang menyimpulkan kalau ia mencintai Christian.
Namun, sepertinya tidak mungkin dia bisa mendapatkan Profesor tanpa ekspresi itu. Christian terlalu jauh untuk ia gapai dan juga, Christian pasti berpikir kalau Queenie seperti anak kecil yang butuh bimbingan. Ia bukan wanita dewasa yang bisa mengimbangi jalan pikiran seorang Christian Douglas bahkan kuliah saja dia malas-malasan.
"Sialan! Aku jatuh cinta hanya karena dia menolongku dari obat perangsang?! Arrgh! Aku bisa gila!" Teriaknya di dalam selimut tebal.
Queenie membuka kasar selimutnya, dia berdiri lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Astaga, jantungnya kembali berdetak keras hanya karena mengingat wajah tegas si Profesor tadi pagi. Kenapa dari sekian banyak orang, dirinya harus bertemu dengan Christian tadi malam?
Queenie berhenti bergerak. Dia memandangi tubuhnya di kaca seluruh badan dan menggeleng tidak percaya.
"Semalam aku bertindak seperti jalang dan aku mengenakan pakaian seksi. Tapi... Tapi apa dia tidak tergoda padaku? Atau... Atau Profesor malah jijik?!" Queenie semakin berteriak kesal dan ia marah entah pada siapa. Dengan kejadian semalam, Christian pasti berpikir kalau Queenie adalah gadis bodoh dan seorang jalang. Sempurna sekali hidupnya.
Gadis itu menghapus jejak air matanya lalu ia pun memutuskan untuk keluar kamar. Dia berjalan ke kamar paling ujung di mana Eleanor berada lalu mengetuk pelan pintunya,"Elea, bisakah kita bicara? Ini soal urusan perempuan, aku sangat ingin berbicara denganmu."
Terdengar suara sedikit gaduh sebelum Queenie mendengar respon dari dalam sana.
"Tu-Tunggu, Queen! Aku sedang berganti pakaian."
Queenie menyandarkan kepalanya di dinding sebelah pintu. Ia benar-benar akan kehilangan rasa percaya dirinya kalau Christian jijik melihat tingkahnya semalam. Terlalu cepat untuk mengatakan kalau dia mencintai seorang pria yang delapan tahun lebih tua darinya, tapi Queenie tahu tentang perasaan yang sedang hinggap di dadanya.
Cklek!
"Queen? Ada apa?" Queenie menerobos masuk ke dalam kamar Eleanor lalu berjalan mondar-mandir di kamar gadis itu. Elea dengan segera menutup pintu dan memerhatikan raut wajah Queenie yang terlihat cemas.
"Apa yang harus aku lakukan, Elea? Aku mengacau! Kau benar tentang pergi ke bar adalah hal yang berbahaya dan aku sudah mengacaukan hidupku karenanya!"
Eleanor menyentuh bahu Queenie lalu mengajaknya duduk. Ia memegang telapak tangan Queenie dan menatapnya lembut,"Terjadi sesuatu? Kau bisa ceritakan semuanya padaku."
"Aku... Aku rasa aku mencintai seseorang."
"Mencintai? Siapa pria beruntung itu, Queen?" Tanyanya antusias. Queen tidak pernah terlihat dekat dengan pria, maka dari itu ia penasaran. Queenie menarik tangannya lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"A-Aku rasa aku jatuh cinta pada Profesor ku sendiri. Semalam terjadi hal yang agak kacau, Well! Sebenarnya sangat kacau. Tapi, tiba-tiba dia datang menolong ku dan aku... Aku terbangun di dalam kamarnya. Kau mengerti maksudku?" Queenie menatapnya tidak enak karena menurutnya ucapannya terlalu berkelit.
"Wait, you mean... You had s*x with him?!"
Mata biru Queenie membulat seketika. Wajahnya memerah tanpa arti, tapi mungkin ia pernah memikirkan hal itu beberapa detik yang lalu.
"Tidak! Bukan yang seperti itu. Jadi, semalam aku berada di bar. Ada seseorang yang mencoba meracuniku, seorang pria."
"Lalu apa yang terjadi?" Tanya Eleanor.
"Dia membawaku ke hotel. Kau tahu, aku bisa saja hancur di dalam hotel itu jika saja Profesor Douglas tidak datang menolong ku. Dan ya... Aku jatuh cinta karena dia menolong ku. Oh Tuhan! Aku mesti bagaimana!" Queenie mengacak-acak rambutnya karena kesal. Eleanor mengerti dengan sifat Queenie.
Gadis ini selalu bersikap overthinking pada sesuatu yang belum terjadi. Queenie mungkin merasa tidak aman dan takut kalau ada seseorang yang menilai buruk dirinya, maka dari itu dia bersikap berlebihan. Eleanor bisa mengerti perasaan itu.
"Tenang dulu. Pria itu tidak mungkin membencimu hanya karena masalah kecil, Queenie. Kau baik-baik saja, mencintai itu wajar. Jangan takut," Terangnya dan itu berhasil membuat Queenie berpikir positif.
"Menurut mu apakah ini hanya rasa yang semu atau aku benar-benar mencintainya?" Tanya Queenie. Ia menggigit bibir karena merasa gugup. Dirinya sendiri pun masih ragu apakah perasaan ini benar atau hanyalah perasaan semu semata.
"Melihat dari caramu bersikap, sepertinya kau memang sedang jatuh cinta."
"Hell no, aku baru mengenalnya kurang dari 24 jam, Elea. Aku benar-benar gadis murahan yang semudah itu mencintai pria," Queenie menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan karena kesal. Elea mengusap rambut Queenie dan kembali menegaskan kalau mencintai bukanlah suatu kesalahan entah itu dalam kurun waktu 24 jam ataupun dua menit saja.
"Lalu kau ingin aku bagaimana, Queen?"
"Menurutmu... Apa aku harus jujur mengatakannya?"
Elea terdiam sejenak. Dia berpikir keras sebelum akhirnya mengangguk,"Kalau kau merasa tenang dengan mengatakannya, lalu katakan kepadanya."
Queenie dengan cepat memeluk Elea dan berterima kasih padanya. Eleanor sudah seperti kakak perempuan baginya dan Queenie senang karena memiliki Elea sebagai teman cerita di dalam rumah.
"Terima kasih, aku akan mencoba sesuatu agar Profesor Douglas melihatku," Tekadnya kemudian. Eleanor memberinya dukungan dan berharap kalau usaha Queenie untuk menyatakan cinta akan berhasil. Queenie pernah mencintai kakak kelasnya ketika masih di bangku sekolah dan ia menyatakan cinta kepada pria itu.
Namun, Queenie ditolak secara mentah-mentah karena pria yang ia cintai adalah lelaki pecinta sesama jenis. Oleh sebab itu Queenie selalu merasakan kecemasan yang hebat jika ia menyukai seorang pria.
Mata Queenie melirik kamar tidur Eleanor sebelum menyadari kalau ranjang yang ia tempati sangatlah berantakan.
"Kenapa tempat tidurmu seperti diterpa badai?"
Eleanor tertawa kikuk dan menggeleng pelan,"Oh, itu... Aku tadi hendak mengganti bedcover karena sudah kotor, tapi sedikit tertunda."
"Hmm, ya sudah. Aku mau kembali ke kamar dulu. Mau merenung," Ucap Queenie. Gadis itu berdiri lalu melangkah pergi.
Sesampainya ia di kamar, dirinya baru sadar kalau barang-barangnya tertinggal di rumah Mia termasuk ponselnya. Sialan sekali, di saat begini dia baru menyadari hal itu.
Cklek!
"Queen, Kakak mau bicara sebentar denganmu!"
Queenie tersentak saat melihat Kakak ketiganya masuk ke kamar dengan wajah yang memerah karena menahan amarah. Gadis itu mengangkat satu alisnya karena merasa aneh dengan tatapan Maxime.
"Kenapa?"
"Siapa yang berniat melukaimu tadi malam, Hmm? Kenapa kau tidak bilang padaku?" Maxime berkacak pinggang sambil menatap marah adik bungsunya. Queenie bingung sejenak, darimana kakaknya bisa tahu? Apakah dia menguping di depan pintu?
TBC
A/N : Hai, up lagi nih hehe