Malam itu, Christian bersiap-siap di apartemennya. Dia mengenakan pakaian santai dan juga jam tangan mahal di tangan kirinya. Ia melangkah keluar kamar lalu mendapati Tommy dan Crystal sedang bersiap-siap pergi jalan-jalan berdua.
"Daddy ikut juga, ya?" Tanya gadis kecil itu ketika melihat ayahnya tampak siap dengan pakaian rapi. Christian berjongkok di depan Crystal lalu mengusap kedua pipinya yang kemerahan seperti tomat. Ah, dia jadi ingat saat Crystal masih bayi. Ibunya dulu sangat terpesona melihat pipinya yang bulat dan merah layaknya tomat segar yang sering dia lihat di pasar.
"Tidak, princess. Daddy ada urusan malam ini. Apa kau baik-baik saja kalau perginya dengan Uncle Tommy?"
Crystal menggeleng cepat. Dia tipe gadis kecil yang bisa bahagia dengan siapa pun asal orang tersebut baik padanya. Crystal memang memiliki hati selembut ibu kandungnya, tapi Christian tak mau lagi melihat kebaikan perempuan jalang itu. Jika dia memang baik, Monica tidak mungkin membuang Crystal begitu saja di depan pintu rumah dengan secarik kertas sialan yang sampai saat ini tidak pernah ia baca.
"Kalau begitu kalian bersenang-senang lah. Ingat, jangan pulang terlalu malam dan jangan makan banyak manisan jika tidak mau peri gigi mencabut semua gigimu."
Crystal sangat takut mendengar nama peri gigi. Christian nyaris ingin selalu tertawa jika melihat ekspresi takut yang ditunjukkan putrinya ini. Dia mengecup kedua pipi dan bibir kecil Crystal lalu menyerahkan tangannya kepada Tommy. Christian juga berpesan kepada Tommy untuk selalu siaga di segala situasi karena Christian tidak mau sampai sesuatu yang buruk terjadi kepada putrinya.
Selepas dua orang itu pergi, Christian pun meraih kunci mobil dan juga dompetnya. Seperti janji mereka tadi siang, Christian akan menjemput Queenie dan mengajaknya untuk menginap di hotel. Persetan dengan semuanya, dia ingin memiliki Queenie seutuhnya.
Mobil yang dikendarai Christian menembus jalanan yang agak ramai. Orang-orang sepertinya punya kesibukan masing-masing di malam itu, entah mengunjungi rumah orangtua atau pergi ke kelab untuk berpesta ria. Ya, setiap orang memang punya kesibukan mereka.
Tiga puluh menit kemudian, Christian pun sampai di rumah Queenie. Dia memarkirkan mobilnya agak jauh dari rumah gadis itu. Setidaknya siapa pun di dalam rumah itu tak akan mendapati kedatangannya. Dia membuka ponsel lalu mengirim pesan singkat kepada gadisnya itu kalau dia sudah sampai.
Me : Aku di depan.
Queenie : Hmm, iya. Aku mau cari alasan dulu supaya dibolehkan.
Christian tidak membalas pesan itu. Dia kembali menyimpan ponselnya di atas dashboard lalu dia menumpuhkan kedua tangannya di kemudi mobil sembari menunggu.
Sedangkan di dalam rumah, Queenie tampak kembali meragu. Dia mengetukkan ponselnya antara ingin pergi dan tidak. Dia memang sedikit lega karena sang Mama sudah memberi jalan untuk hubungannya dengan Christian, tapi kalau sampai seperti ini... Queenie ragu kalau wanita tua itu akan membiarkannya pergi begitu saja. Hal terburuknya lagi berada pada Stefan. Papanya yang selalu khawatir dan ingin tahu semua masalahnya akan menjadi penghalang nomor satu. Menginap di rumah Mia adalah alasan yang paling tepat, bukan?
Gadis itu mengambil tas nya yang sudah diisi dengan pakaian ganti. Queenie memantapkan hati untuk pergi bersama Christian. Hanya malam ini, dia ingin melakukan itu dengan pria yang dia cintai.
Ketika kakinya sampai di lantai bawah, Queenie melihat Papa dan Mamanya tampak asyik berduaan di atas sofa sambil menonton acara komedi di dalam televisi. Biasanya di malam seperti ini mereka akan pergi ke restoran untuk makan malam romantis, tapi sepertinya malam ini tidak.
"Papa, Mama."
Keduanya menoleh ke arah tangga dan melihat Queenie dengan alis yang terangkat. Putri mereka tampak siap dengan pakaian sopan dan tas di punggungnya, seperti ingin menginap.
"Mau ke mana, nak?" Tanya Stefan.
"Aku mau menginap di rumah Mia, apakah boleh? Mia sendirian malam ini karena orang tuanya sedang pergi bisnis," Terkutuk lah dia karena berbohong hanya demi untuk berduaan dengan Christian di dalam hotel. Alasan gila apalagi yang akan dia ucapkan apabila kedua orangtuanya tidak percaya?
"Pergi dengan siapa?"
"Taksi, Ma. Aku sudah pesan dan taksinya sudah sampai."
Alaina dan Stefan saling pandang sebelum akhirnya mereka membolehkan. Lihat, kan? Menjadikan Mia sebagai alasan adalah keputusan yang benar. Kedua orangtuanya hanya percaya terhadap Mia dan semoga saja tidak akan ada kecurigaan lain.
Setelah berpamitan, Queenie dengan cepat pergi keluar rumah. Dia menutup pintu rumahnya lalu kakinya yang terbalut sepatu kets melangkah meninggalkan pekarangan rumahnya yang tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan halaman belakang.
Di sebelah kiri, Queenie melihat mobil Christian telah terparkir di depan rumah tetangganya. Lampu mobil membuat matanya sedikit menyipit tajam.
Ia masuk ke kursi depan setelah menaruh tasnya di belakang. Belum sempat Queenie bernapas, bibir basah Christian tiba-tiba menyerangnya tanpa ampun. Pria itu mendorong tubuhnya menyudut ke pintu mobil sambil terus menciumnya. Astaga, Queenie sangat tidak siap. Dia yakin kalau pelembab bibirnya kini sudah berpindah ke Christian.
"Hmm, rasa stroberi. Sangat cocok denganmu," Pujinya ketika ia mencecap rasa lain di bibirnya. Queenie memerah mendengar pujian itu, dia membenarkan posisi duduknya dan menarik napas panjang sebelum mengembuskannya melalui hidung. Detak jantungnya belum netral karena serangan tiba-tiba tadi. Ya ampun, Christian bisa membuatnya mati dalam kenikmatan jika begini terus.
"Mau ke bioskop dulu sebelum kita ke hotel?"
"Ehm, boleh..."
Christian menjalankan mobil ke arah gedung bioskop sambil sesekali menatap ke sampingnya. Kentara sekali kalau Queenie ini sangat gugup dan ragu, tapi Christian ingin egois sekali saja. Dia tahu kalau Queenie masih sangat baru dan asing dengan yang namanya bercinta, tapi Christian tidak tahan lagi.
Persetan kalau dia akan diamuk oleh Paman Stefan atau siapa saja yang tidak menyukainya, anggaplah kalau dia sudah sangat terjerat tanpa bisa melepaskan diri lagi.
"Rileks saja, sayang. Aku tidak akan menyakitimu."
Queenie ingat sekali ucapan Tommy soal Christian yang suka memukul. Katanya kalau dia berbuat salah, Christian bisa memukul siapa pun. Queenie takut kalau lelaki itu akan berlaku kasar padanya. Dia tidak pernah dibentak keras atau bahkan menerima pukulan dari Papa atau ketiga kakaknya, maka dari itu Queenie sangat takut apabila dia membuat kesalahan di depan kekasihnya— Christian.
Meski tadi siang Queenie dan Christian sudah menonton di bioskop, tapi malam ini mereka kembali melakukannya. Christian memilihkan film untuk mereka tonton dan pilihannya jatuh kepada film horor yang tayang sejak kemarin. Queenie paling benci menonton hantu, dia tidak pernah suka kalau Papa dan Mamanya mengajaknya menonton film hantu, tapi sekarang Christian memaksanya untuk menonton film sialan itu.
Queenie tidak menolak lebih jauh, itulah sebabnya mengapa dia kini duduk di kursi paling sudut sambil menyembunyikan wajahnya di lengan kiri Christian. Sesekali dia berjingkat kaget ketika suara hantu di dalam film itu muncul tiba-tiba. Jika dia adalah Nenek Sarah yang sering jantungan, Queenie yakin kalau dia akan mati muda.
"Christian, pulang saja! Aku benar-benar ketakutan!" Bisiknya setengah menangis. Kelopak matanya sakit karena terlalu lama memejam bahkan sampai terasa pusing. Christian sendiri tidak merasa terganggu. Dia cukup senang karena Queenie sedari tadi terus bergelayut manja di lengannya, membuat d**a bulat gadis itu menempel erat di otot-ototnya yang keras. Andai dia tahu kalau sebenarnya Christian mengambil keuntungan melalui film ini.
Setelah film itu selesai, Queenie dan Christian keluar dari bioskop. Gadis itu tidak berhenti memegangi lengan Christian karena rasa paranoid nya semakin menjadi-jadi. Apalagi ini sudah cukup malam, dia sangat merasa was-was.
"Kau mau makan?"
"Tidak mau. Kita ke hotel saja, ayo!" Rengeknya. Jika belum bergelung di dalam selimut, Queenie tidak akan pernah merasa aman.
Christian menurut. Mereka masuk ke dalam mobil lalu bergerak ke arah selatan di mana hotel yang sudah Christian pesan berada. Dua puluh menit kemudian, gedung hotel itu terlihat. Mereka mendekati meja resepsionis dan menyebutkan identitas. Gadis kacamata itu menyerahkan kunci kamar kepada Christian dan menunjuk pintu lift yang berada tepat di samping tangga.
"Queen."
"Hmm?"
"Kau tidak akan menyesal?" Tanya Christian. Queenie menatap pantulan dirinya di kaca yang ada di dalam lift lalu ia menggeleng kecil. Meski ragu, Queenie tetap tersenyum. Dia sudah dewasa, empat bulan lagi umurnya akan berganti menjadi 21. Itu artinya Queenie sudah bebas melakukan apapun yang dia inginkan.
"Aku ingin melakukannya dengan pria yang aku cintai."
Mendengar itu, Christian terdiam sampai kaki mereka berhenti di depan kamar. Pria itu membiarkan Queenie untuk masuk terlebih dahulu karena dia ingin pergi ke minimarket untuk membeli tonik dan beberapa cemilan.
Queenie menaruh tas berisi pakaian ganti ke atas kursi bundar. Ia mengelilingi isi kamar yang cukup mewah dan luas ini dengan seksama. Sedari tadi tangannya berkeringat dengan peluh yang memenuhi keningnya. Queenie merasakan otaknya tiba-tiba melambat dalam merespon. Hal itu menciptakan kekosongan sesaat sampai akhirnya Queenie memutuskan untuk membersihkan dirinya.
TBC
A/N : Up up up