Nayanika mendorong ibunya yang duduk di kursi roda dan mensejajarkan dengan posisi kursi, yang baru saja ia duduki. Nayanika telan salivanya dan melirik pria, yang sedang membaca rekam medis milik ibunya.
Garis wajah yang tegas. Model rambut side part, yang memberikan kesan dewasa dan juga berkelas. Kulit putih dan bibir yang terlihat merah muda, karena pria yang ditatapnya juga bukanlah seorang perokok. Wajar sekali, untuk ukuran seorang dokter, yang pastinya mengutamakan kesehatan. Belum lagi tangannya yang terlihat kekar, dengan urat-urat tangannya yang nampak menonjol itu.
Nayanika memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya sekali. Saat bayang sentuhan tangan itu, malah terbesit di dalam kepalanya juga. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Karena kenyataannya, laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang, adalah suami orang.
"Nama pasien, Ibu Renata ya?" ucap pria tersebut sembari menatap Nayanika, yang malah berpaling muka ke bawah.
"Iya, dok," jawab Nayanika seraya mengangguk. Rasa canggungnya tercipta, sungguh dengan cukup luar biasa. Ia bahkan sampai tidak berani menatap laki-laki, yang duduk di depannya sekarang.
"Em, kalau tidak salah, kamu ini temannya istri saya ya??" ucap pria ini, yang akhirnya menyadari juga. Nayanika kira dia sudah melupakannya. Ternyata tidak. Dia ingat akan dirinya. Tetapi tidak tahu, dengan siapa dia menghabiskan malam pertamanya waktu itu.
"Em, iya, dok," jawab Nayanika sembari memberikan senyuman yang kaku.
"Saya Abiyaksa. Mungkin kamu sudah mengenali saya. Karena saya ini, adalah suami teman dekat kamu. Em, ngomong-ngomong, Dokter Emil berhalangan hadir hari ini. Jadi, saya yang bertugas untuk menggantikan beliau. Tapi tidak apa-apa. Saya sudah membaca rekam medis milik ibu Renata dan akan membantu untuk fisioterapi hari ini. Ayo," ucap Abiyaksa yang kini bangkit dari kursi dan hendak memulai terapi.
Ranjang pasien diturunkan, guna memudahkan untuk membawa wanita yang sedang sakit itu ke atasnya.
Nayanika pun sudah mengambil ancang-ancang, untuk menggotong ibunya bersama. Namun ditolak.
"Jangan, tidak usah. Kamu tidak boleh angkat-angkat yang berat. Biar saya saja," ucap Abiyaksa, yang kini mengambil ancang-ancang di tengah, lalu mengangkat tubuh dari sisi Nayanika.
"Suami kamu tidak ikut?" tanya Abiyaksa sesaat setelah ibunya ditaruh di atas ranjang pasien ini.
"Suami? Saya nggak punya suami," jawab Nayanika sembari menundukkan pandangannya.
"Oh ya? Mungkin pacar??" tanya Abiyaksa lagi.
"Nggak ada juga," jawab Nayanika sembari menggeleng dengan perlahan.
Abiyaksa yang sedang memakai sarung tangan medis itupun mengerutkan keningnya. Karena ia ingat jelas, bila wanita ini, sudah melakukan pemeriksaan kehamilan dan ia lihat sendiri hasilnya kemarin. Tapi kenapa dia tidak punya hubungan dekat dengan laki-laki?? Apa dia korban pelecehan?? Atau mungkin, kekasihnya mengakhiri hubungan??
"Lalu siapa yang mengantar ke sini?? Yang angkat ibu ke kursi roda juga??" tanya Abiyaksa.
"Saya. Dibantu driver mobil online tadi," jawab Nayanika.
Abiyaksa kembali termenung. Sedang hamil begini, harus sambil mengurus orang tua yang sakit juga dan sendirian??
"Lain kali, ajak kakak, adik, atau mungkin saudara ya? Jangan terlalu sering angkat-angkat yang berat. Pasti ada penekanan di perut. Nanti itu malah...,"
"Dok, gimana keadaan Mama saya??" ucap Nayanika yang cepat-cepat mengalihkan. Sejak tadi, dirinya terus yang dibahas. Biarpun ibunya ini tidak bisa bicara. Tapi dia bisa mendengar. Jangan sampai ibunya juga tahu, bila dia sedang mengandung sekarang.
"Em, sebentar ya, saya cek dulu," ucap Abiyaksa yang mulai membantu melakukan pergerakan, agar otot-otot yang kaku menjadi lebih lentur.
Nayanika terdiam sambil memandangi ibunya dan juga sesekali, memandangi suami orang juga. Salah besar memang. Tapi ia punya mata, yang biasa digunakan untuk melihat. Walaupun tak seharusnya ia perhatikan juga dia. Bukan suka. Tapi, ia masih merasa tidak menyangka, bila mereka berdua akan memiliki anak bersama.
Setelah serangkaian terapi dilakukan. Hingga berpuluh-puluh menit ke depan. Abiyaksa mengangkat sendiri tubuh ibunya Nayanika dan meletakkannya, di atas kursi rodanya lagi.
Setelah itu, segala penjelasan mengenai perkembangan pun diucapkan dan tetap, karena belum ada perubahan yang berarti. Jadi, Nayanika harus kembali lagi ke sini. Namun begitu, Abiyaksa selaku dokter yang memeriksa, malah menawarkan solusi lainnya.
"Em, tidak usah kembali lagi ke sini ya?" ralatnya dan tentu saja Nayanika memunculkan kerutan di dahinya, saking herannya.
"Kenapa emangnya, dok?? Mama saya belum sembuh kan?? Apa dokter sudah menyerah dengan kondisinya sekarang???" cecar Nayanika.
Abiyaksa tersenyum tipis. "Bukan. Bukan begitu maksud saya. Kamu tidak punya kerabat dekat, atau siapa yang mengantar ke sini kan?? Maka dari itu, saya sarankan kamu, untuk melakukan fisioterapi dari rumah saja. Jadi, kamu tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit. Hanya tinggal menunggu di rumah."
"Caranya??" tanya Nayanika.
"Kamu bisa melakukan pendaftaran dan...," Abiyaksa berhenti berucap dan terlihat memutar bola matanya ke samping sambil berpikir.
"Nanti saya yang datang ke rumah kamu saja," ucap Abiyaksa yang sontak membuat Nayanika menelan salivanya.
Dia, datang ke rumah?? Itu artinya, pertemuannya bukan hanya untuk kali ini saja?? Mereka berdua, akan sering bertemu??
Ah ya ampun. Ingat. Pertemuan ini adalah untuk pengobatan saja. Jangan berpikiran yang lain. Jangan aneh-aneh. Hanya sekedar bertemu untuk usaha penyembuhan ibunya saja. Tidak lebih dari itu.
"Bagaimana? Apakah kamu setuju?? Karena saya, butuh persetujuan dari kamu. Daripada kamu kewalahan sendirian. Apa lagi, di kondisi kamu yang sekarang ini," ujar Abiyaksa.
"Iya. Boleh," ucap Nayanika sembari menelan salivanya.
"Ya sudah. Kalau begitu, saya boleh minta nomor kamu? Saya akan mengabarkan, kapan kiranya jadwal saya kosong. Jadi nanti, di hari itulah saya akan datang ke sana," ucap Abiyaksa seraya mengeluarkan ponsel dari saku bajunya dan sudah siap-siap mengetik angka-angka, yang Nayanika sebutkan.
Sekitar dua belas angka Nayanika sebutkan dan Abiyaksa ketik, lalu ia coba melakukan panggilan telepon, setelah terhubung, baru ia simpan di dalam ponselnya.
"Ok, sudah saya simpan ya?? Kalau begitu, kita akhiri sesi pertemuan hari ini ya. Untuk pertemuan berikutnya, akan saya kabari kamu langsung nanti," ucap Abiyaksa seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemejanya.
"Iya, dok. Terima kasih," ucap Nayanika sembari bangun dari kursi dan mendorong kursi rodanya keluar seorang diri.
Nayanika termenung sambil berjalan pelan dan dengan mendorong kursi roda. Ia sedang memikirkan lagi, apa hal ini bagus untuk dilakukan?? Pertemuan mereka, mungkin akan jadi lebih sering. Kalau Meisya tahu, apa dia tidak akan marah?? Meskipun niatnya hanya untuk terapi, ia tidak yakin juga, bila Meisya akan santai-santai saja.
Ah tapi, ini adalah bagian dari pekerjaan suaminya kan?? Lagi pula, bukan ia yang meminta, tetapi suaminya itu yang menawarkan dan memang, ia cukup kewalahan juga, bila harus bolak balik rumah sakit untuk mengantarkan ibunya.
Nayanika mengembuskan napas dan berjalan terus saja, sampai ke kendaraan online, yang sudah ia pesan sebelumnya.
Lantas, setelah mengantarkan ibunya pulang, Nayanika beristirahat sebentar. Ia terlelap di atas sofa dan tidak berapa lama, dibangunkan oleh sang adik, yang baru saja pulang sekolah.
"Kak?? Kakak???" panggil Mentari sembari mengguncangkan bahu Nayanika.
Nayanika membuka mata dan mengerjap-ngerjapkan matanya juga. Lalu menyipit untuk menatap sang adik.
"Eh, kamu udah pulang," ucap Nayanika seraya bangun dan duduk di atas sofa.
"Iya, Kak. Baru sampe. Kakak capek banget ya? Kok malah tidur di sini??" tanya Mentari.
"Iya nih. Ngantuk capek. Oh iya, jam berapa sekarang??" tanya Nayanika dan Mentari pun menatap jam yang tertempel di dinding ruang tamu ini.
"Jam dua, Kak."
"Kok cepet banget ya? Ya udah deh. Kakak mau mandi dulu. Mau siap-siap kerja. Oh iya, tadi pagi kakak udah masak. Kamu makan gih sana. Jangan lupa angetin dulu," perintah Nayanika seraya turun dari sofa dan berjalan ke kamarnya.
"Iya, Kak. Mentari mau ganti baju dulu," ucap sang adik yang pergi ke kamar juga.
Setelah menghabiskan waktu sekitar lima belas menit untuk melakukan persiapan. Kini, sudah saatnya Nayanika berangkat bekerja. Lelah. Tapi tidak boleh mengeluh, apa lagi bermalas-malasan. Hanya beberapa jam saja dan setelahnya, ia bisa pulang dan beristirahat di rumah. Lalu pagi bangun lagi dan mengurusi ibu maupun rumah juga.
Nayanika sudah sampai dan sudah menggunakan seragam kerjanya. Ia juga sudah merapikan meja maupun kursi cafe. Cuma tinggal menunggu pelanggan yang datang. Namun, pelanggan yang satu ini, agaknya kurang membuatnya senang.
"Tolong menunya dong!" panggil orang yang baru saja duduk di kursi, sambil melambaikan tangan kepada Nayanika yang sedang berdiri.
Nayanika menghela nafas dan mendekati pelanggan pertamanya, yang ia yakini, datang bukan karena ingin mencicipi apa yang ada di cafe ini.
"Ini, silahkan menunya," ucap Nayanika sembari tersenyum ramah.
"Aku nggak suka main-main, Nay. Bisa, kamu turuti kata-kataku?? Itu pun, kalau kamu mau hidup tenang," ucap orang yang sedang menatap menu, tapi malah sambil berbisik dalam berbicara kepada Nayanika, yang langsung menghela nafas karena masih juga dikejar dan dibayang-bayangi, oleh sahabatnya sendiri.