"Mentari mau lihat Mama dulu, Kak. Kak Meisya, Mentari tinggal dulu ya??" ucap Mentari sembari menatap wanita yang sedang duduk di depan teras rumah mereka ini.
"Iya, Mentari. Makasih tehnya ya?" ucap Meisya, sembari tersenyum kepada adik Nayanika.
"Iya sama-sama, kak," ucap Mentari seraya pergi ke dalam rumah.
Sekarang, hanya tersisa dua orang, yang akhir-akhir ini sedang bersitegang. Nayanika sudah malas sekali, hanya sekedar melihat wajah Meisya saja. Karena ulahnya, ia sampai dipecat dari pekerjaannya dan harus mencari-cari pekerjaan dari matahari di atas kepala, hingga matahari yang sudah akan tenggelam di bawah kakinya.
"Mau apa lagi kamu??" tanya Nayanika, yang sudah tidak ingin ada yang namanya basa-basi lagi. Kalau dia sampai datang ke sini, pasti ada yang dia inginkan dan mungkin, ada saja ulah yang akan dia lakukan.
"Kenapa ketus begitu, Nay? Ayo sini, duduk dulu sayang. Kita ngobrol-ngobrol dulu sebentar," ucap Meisya sembari menepuk-nepuk kursi yang ada di sebelahnya.
Nayanika sudah ingin sekali mengusir wanita ini pergi dari rumahnya ini. Tapi bila ingat, rumah inipun dibeli menggunakan uangnya, ia coba tahan-tahan amarahnya dulu dan menarik kursi itu lalu duduk dengan agak berjauhan dari Meisya.
"Kenapa? Ada apa lagi??" tanya Nayanika dengan cukup ketus. Apa lagi lirikan matanya, sudah cukup mencerminkan, bila ia tidak suka Meisya berada di sini lama-lama.
"Kenapa sih? Kita ini teman kan?? Kita, udah sahabatan dari mulai kelas satu SMA. Tapi kok, kamu malah ketus begitu sama sahabat sendiri," ucap Meisya sembari tersenyum tapi malah membuat Nayanika muak melihat acting-nya itu.
"Langsung ke intinya aja gimana?? Aku capek. Seharian ini cari-cari kerjaan. Semua itu juga gara-gara kamu kan?? Kamu sengaja berbuat begitu, supaya aku dipecat dari pekerjaanku," ultimatum yang Nayanika sebutkan tanpa ampun. Karena memang sudah sangat lelah, dengan kelakuan sahabatnya ini.
Oh, bukan lagi sahabat. Karena, sahabat mana, yang tega menjerumuskan sahabatnya sendiri, ke dalam jurang masalah. Dia bukan dengan sepenuh hati menolong, dengan mengulurkan tangannya kepadanya yang sedang berada di tepi jurang. Tetapi, dia malah hanya melemparkan tali dan menyuruhnya untuk berusaha sendiri.
"Nay... Nay... Makanya, kalau nggak mau capek itu nurut. Sok-sokan nggak mau terima uang dari aku sih. Coba kalau kamu terima, ya ceritanya pasti beda. Salah kamu sendiri. Karena kamu nggak mau menuruti keinginanku. Padahal gampang banget lho itu. Nggak perlu susah payah banting tulang, buat besarin anak. Cuma tinggal hidup enak terima uang. Lagian kamu juga, udah punya dua tanggungan hidup. Tapi masih mau nambah satu lagi. Emangnya, kamu pikir, kamu itu siapa?? Anak orang kaya?? Udah bukan lagi kan sekarang?? Lagian dulu, kaya juga karena hasil korup. Pantesan, hartanya banyak. Nggak taunya, maling uang orang."
"Cukup, Mei! Jangan kamu jelek-jelekkan Papaku! Bagaimanapun juga, Papa adalah seorang pekerja keras. Dia itu cuma lagi salah jalan. Makanya jadi begitu," ucap Nayanika, memang mengenal sang ayah, sebagai seorang pria yang begitu menyayangi keluarganya.
"Oh ya?? Salahnya sampai nggak tanggung-tanggung ya? Sampai masuk ke penjara," ucap Meisya sembari geleng-geleng kepala.
"Kayaknya, lebih baik kamu pergi sekarang, Mei. Aku bener-bener capek. Aku mau istirahat!" ketus Nayanika.
"Nay, aku nggak akan kemana-mana, sampai kamu setuju buat aborsi," ucap Meisya dengan pelan. Tapi Nayanika pun malah panik dan menoleh ke belakang, karena takut didengar sang adik maupun ibunya juga.
"Kenapa kamu ngotot banget sih, Mei?? Kamu takut suami kamu tahu?? Tenang. Aku nggak akan pernah bilang ke dia. Sampai kapanpun, aku akan jaga rahasia kita!" cetus Nayanika, yang sudah sangat muak, saat diganggu terus menerus oleh Meisya. Tanpa diganggu pun, hidupnya sudah terasa berat. Apa lagi, ia diganggu terus menerus seperti ini. Capek!
"Kamu yakin?? Apa jaminannya, kalau kamu nggak akan pernah katakan apapun ke Mas Abi, tentang kamu dan tentang anak itu!" ucap Meisya dengan suara yang masih pelan juga. Bukan tidak berani berteriak di sini. Tapi, di skandal Nayanika, terselip skandalnya tersendiri.
"Ya, aku emang nggak punya jaminan apa-apa. Tapi kamu bisa pegang kata-kataku ini. Sampai kapanpun, aku akan pegang rahasia. Aku nggak akan katakan ke siapa-siapa. Tapi please. Aku harap kamu nggak ganggu hidup aku lagi dan aku pastikan, suami kamu itu nggak akan pernah tahu apa-apa. Dia nggak akan pernah tahu tentangku dan juga tentang yang ini," ucap Nayanika sembari memegangi perutnya sendiri.
Nayanika terlihat serius dari kata-kata maupun raut wajahnya. Sepertinya, Meisya bisa sedikit bernafas dengan lebih lega. Karena rahasianya, akan tetap terjaga.
"Ok. Aku pegang kata-kata kamu. Tapi, kalau kamu sampai ingkar janji. Aku bersumpah, nggak pernah lepaskan kamu sampai kapanpun itu. Aku akan buat hidup kamu kayak di neraka. Aku akan buat kamu mati segan dan hidup juga nggak mau! Ingat kata-kataku ini, Nay!" tegas Meisya.
"Iya. Ok. Aku akan ingat itu. Kamu nggak perlu khawatir. Aku juga, sama sekali nggak tertarik sama suami orang!" tegas Nayanika.
"Baguslah. Emang begitu harusnya. Ya udah. Aku pulang sekarang. Aku ada party malam ini. Aku mau nikmati hidup, yang cuma sekali ini. Bye sayang," ucap Meisya, yang sudah merasa menang dan langsung melenggang pergi, dari hadapan sahabatnya sendiri.
Mobil yang Meisya kemudikan sendiri telah pergi. Sementara Nayanika, masih terdiam di kursi, dengan tangan yang berada di atas permukaan perutnya ini.
Ia termenung dan tengah merenung. Sampai seumur hidupnya dan bahkan, sampai anaknya dewasa nanti, dia tidak akan pernah tahu siapa ayahnya kan??
Kedengarannya sangat jahat memang. Tapi dengan begitu juga, ia bisa mempertahankannya dan membesarkannya, biarpun hanya seorang diri.
"Maaf ya sayang. Mulai hari ini, kamu cuma punya Mama. Cuma mama," ucap Nayanika sembari dengan tersenyum getir.
"Kak?? Kak ngomong sama siapa??" tanya Mentari, yang tiba-tiba muncul dari belakang, sampai Nayanika gelagapan dan cepat-cepat menurunkan tangannya dari atas perut.
"Ha?? Nggak ngomong sama siapa-siapa kok. Em, Mama mana??" tanya Nayanika.
"Ada di dalam Kak. Tadi habis Mentari ajak ngobrol."
"Oh iya, bagus. Emang harus sering-sering diajak ngobrol. Siapa tahu, Mama bisa cepat bicara lagi. Em, kakak mau mandi dulu deh. Udah gelap," ucap Nayanika yang segera masuk ke dalam rumah. Ia taruh tasnya di dalam kamar dan ia hendak keluar, untuk pergi ke kamar mandi. Tetapi, saat Nayanika hendak menutup pintu kamarnya, suara dentingan yang berasal dari dalam tasnya, membuat Nayanika berhenti dan kemudian kembali lagi.
Nayanika berdiri di sisi tempat tidur dan membuat resleting tasnya. Selanjutnya, ia ambil ponselnya dari dalam tasnya tersebut dan melihat, serta membaca sebuah pesan singkat yang masuk.
Mas Abiyaksa: [Saya mau mengabarkan sedikit perubahan waktu. Besok, saya akan tetap datang. Tapi kemungkinan, bukan jam 11 tapi jam 10. Sedikit lebih pagi, karena saya tidak ada jadwal pagi di rumah sakit besok. Bagaimana?]
Nayanika : [Iya, dok. Nggak apa-apa. Saya ada kok di rumah.]
Mas Abiyaksa : [Ok baiklah kalau begitu]
Pesan terakhir tidak lagi Nayanika balas. Cukup berkomunikasi sewajarnya dan juga seperlunya saja. Tidak perlu terlalu intens. Tidak perlu terlalu dekat juga. Harus jaga jarak. Agar Meisya tidak lagi membayangi kehidupannya.