Nayanika membekap wajahnya sendiri. Ia sedang berusaha keras, untuk menghentikan aliran air yang mengalir deras dari kedua matanya ini. Terlalu sering menahan, sekalinya air itu keluar, malah tidak mau berhenti juga sedari tadi.
"Nggak apa-apa. Aku bisa. Aku kuat kok," ucap Nayanika, kepada dirinya sendiri. Tidak ada yang memberikannya support. Maka, dirinya sendirilah yang akan melakukannya.
Nayanika terus menerus menarik dan mengembuskan nafas. Ia tenangkan dirinya yang penuh dengan kekalutan. Ia usap lagi pipinya yang basah dan kemudian, ia berjalan pulang kembali ke rumahnya.
Setibanya Nayanika di rumah. Dia bergegas masuk ke dalam rumahnya lagi. Dia pergi ke dalam kamar dan melepaskan jaketnya di sana, lalu naik ke atas tempat tidur dan meringkuk di atas ranjangnya itu.
Rasa laparnya belum hilang. Keinginannya pun masih belum padam dan sekarang, malah ditambah dengan mood yang hancur habis-habisan. Harusnya tadi, ia tidak perlu keluar. Tidak perlu memaksakan diri, untuk mencari hal yang sia-sia. Hanya dapat lelahnya saja. Tapi tak menghilangkan kegelisahannya sama sekali. Malah, ia semakin merasa pikirannya tidak keruan. Ia sudah mencoba untuk kuat. Tapi akhirnya ia malah merasa sangat sangat lelah. Padahal, ini belumlah apa-apa. Perjalanannya masihlah panjang. Masih banyak hal yang harus ia lalui. Tapi rasanya, bila dilalui sendirian, malah terasa amat menyiksa.
Berat. Ia membutuhkan pundak. Membutuhkan seseorang yang bisa menenangkan. Tetapi sayangnya malah tidak ada. Tidak ada siapapun itu, yang mau sekedar meminjam bahu untuknya. Padahal, ia sangat membutuhkannya untuk kali ini saja. Sangat sangat butuh dan sangat ingin seseorang mendengarkan keluh kesahnya.
Nayanika mencoba memejamkan mata. Biarpun sulit sekali untuk kembali terlelap. Pikirannya tidak bisa berhenti untuk memikirkan banyak hal, perutnya pun masih keroncongan.
Nayanika buka matanya lagi dan menapakkan kakinya di lantai. Ia bertumpu pada sisi ranjang dengan kedua tangannya, lalu bangun dan pergi ke dapur, untuk mencari apapun itu yang ada di sana.
Nayanika membuka kulkas. Tetapi tidak ada satupun yang membuatnya tergugah. Karena ia ya sedang inginnya semangkuk soto panas, dengan perasaan jeruk nipis. Sedang ingin sekali. Tetapi malah tidak dapat, karena harus mengalah, dengan seorang suami yang sedang mati-matian mencari makanan, yang diinginkan oleh istrinya yang sedang hamil. Sedangkan ia sendiri?? Ia harus berjuang sendiri, untuk menekan keinginan. Tidak boleh mengikuti keinginan. Tidak boleh merasakan ngidam. Ambil dan makan saja yang ada. Yang penting perutnya terisi penuh dan ia bisa tidur malam ini juga.
Sebungkus mie instan akhirnya Nayanika ambil dari lemari penyimpanan. Ada yang dengan rasa soto. Mirip-mirip lah. Biarpun rasanya jelas jauh berbeda, dengan apa yang sedang diinginkannya. Tapi untuk membungkam cacing-cacing di perutnya yang kelaparan, ia akan menyantap ini saja.
Semangkuk mie instan sudah terhidang di atas meja dan sekarang, sudah berada di hadapan Nayanika juga. Ia seruput perlahan, mie yang masih panas-panasnya. Ia masukkan lagi dan lagi ke dalam mulutnya dengan sangat lahap. Makanan, bisa membuat moodnya sedikit membaik juga. Biarpun hanya alakadarnya saja.
Setelah semangkuk mie itu habis. Nayanika bereskan semua perabotannya dan setelah itu kembali ke kamar dan duduk di atas ranjang, sembari memperhatikan perutnya sendiri.
"Makan itu dulu nggak apa-apa kan?? Besok-besok, baru kita cari makanan yang enak ya?" ucap Nayanika seraya memberikan usapan lembut di atas permukaan perutnya yang masih rata.
Sudah beristirahat sejenak. Nayanika pun merebahkan tubuhnya di atas ranjang lagi dan berusaha untuk terlelap di sana. Ternyata berhasil juga. Ia sudah bisa tidur sekarang. Sudah tidak lagi keroncong dan sudah tidak banyak memikirkan tentang nasibnya sendiri.
Untuk malam ini, ia bisa istirahat sedikit dan besok paginya. Nayanika sudah bangun pagi dan kembali dengan kesibukannya sehari-hari. Memasak, merapikan rumah dan mengurusi ibunya. Setelah sang adik pulang, barulah ia bisa pergi mencari pekerjaan dan menaruh surat lamaran kerja yang ia bawa-bawa.
Namun sayang sekali. Karena sudah siang, semua lowongan yang ia cari dan dapatkan kemarin, malah sudah terisi. Terpaksa, Nayanika berjalan dengan tak pasti arah. Mencari ke setiap tempat yang ada. Menyusuri jalan dan melihat satu persatu tempat, yang kiranya bisa menerima ia sebagai pekerja mereka.
Langit sore sudah hampir berubah gelap. Namun, tak ada satupun tempat pekerjaan yang bisa menerimanya. Nayanika, diam termenung di sisi jalan. Ia melamun dan sedang tenggelam di dasar laut kebingungannya sendiri.
Sulitnya mencari pekerjaan lagi. Lelahnya seharian ini. Rasanya ingin tidur dan istirahat. Tetapi otaknya melarang itu semua. Ia butuh pekerjaan apapun itu. Asalkan digaji. Karena tidak mungkin juga hanya bergantung pada sisa uang yang ada.
Nayanika melaju lagi saja dan berhenti mendadak, saat ada mobil yang menyerobot di depannya. Ia juga berusaha menahan tubuhnya dengan kaki agar tak terjatuh. Namun, ia malah oleng ke samping dan hampir saja tergilas mobil, yang untungnya langsung berhenti sebelum hal itu terjadi.
"Kamu nggak apa-apa??" tanya orang yang baru turun dari mobil dan berusaha untuk membangunkan Nayanika, yang tengah menahan dengan tangan di aspal, agar tubuhnya itu tidak terbentur.
"Nggak apa-apa kok," ucap Nayanika seraya melihat kepada orang yang menolongnya untuk bangun.
"Lho? Nayanika kan??" ucap pria, yang ternyata adalah Bumi, teman satu sekolah Nayanika dulu bersama dengan Meisya juga.
Mobil-mobil di belakang mengklakson dengan kencang. Bumi melihat ke kanan kiri dan membawa Nayanika untuk minggir ke trotoar. Bumi juga membawa sepeda motor Nayanika juga ke sana dan menyuruh Nayanika, untuk menunggunya disitu sambil ia memarkirkan mobilnya terlebih dahulu.
"Tunggu di sini ya?? Jangan pergi kemana-mana," ucap Bumi, yang bergegas ke mobilnya lagi dan melaju serta berbelok, untuk memarkirkan mobilnya di depan jajaran ruko.
Setelah mobilnya Bumi parkirkan. Ia melihat Nayanika, yang sudah akan menaiki motornya lagi saja. Tetapi buru-buru Bumi cegah, dengan memegangi stang motornya.
"Kamu mau kemana??" tanya Bumi, kepada wanita yang buru-buru kabur itu.
"Aku mau pulang," jawab Nayanika.
"Emangnya kamu udah nggak apa-apa?? Ayo sini dulu. Coba lihat, ada yang luka nggak," ucap Bumi yang malah menyuruh Nayanika untuk turun dari motornya, agar ia bisa membawa motor Nayanika dan wanita itupun pasti mengikutinya juga.
"Bumi! Motor aku mau dibawa kemana??" tanya Nayanika yang berjalan di belakang dan benar saja mengikuti kemana motornya dibawa pergi.
Motor Nayanika dibawa hingga ke parkiran juga. Setelah itu, Bumi menatap Nayanika, yang kelihatan lesu dan juga pucat.
"Mau, aku antar ke dokter?? Ke rumah sakit??" tanya Bumi sembari memegangi bahu Nayanika. Namun Nayanika lepaskan sembari dengan menggelengkan kepalanya.
"Nggak usah. Aku nggak apa kok. Mana motorku," pinta Nayanika.
"Tapi kamu pucat banget. Yakin nggak apa-apa?? Kamu jatuh dari motor tadi kan?? Gimana kalau ada luka dalam??" ujar Bumi, tapi Nayanika tetap saja menolak. Takut ketahuan hamil dan takut dicecar dengan pertanyaan yang bukan-bukan.
"Aku baik-baik aja kok. Serius. Aku cuma mau pulang, Bumi," ucap Nayanika dengan sambil memelas.
"Ya udah. Kalau nggak mau ke rumah sakit, gimana kalau minum dulu di sana?? Tadi kamu pasti kaget. Tangan kamu sampai gemetar begitu," ucap Bumi, yang melihat saja, ketika tangan Nayanika yang benar-benar gemetaran. Dia kaget sekali tadi. Takut jatuh. Takut anaknya kenapa-kenapa. Apa lagi, kondisi jalanan sangat ramai sekali tadi.
"Ya udah deh," ucap Nayanika, yang akhirnya setuju juga. Ia pun sepertinya tidak akan sanggup, bila langsung pulang dengan keadaan yang masih shock begini.
"Ya udah ayo," ajak Bumi sembari menggiring Nayanika, ke sebuah tempat makan dan memesan minuman di sana.
"Mau pesan makanan sekalian??" tanya Bumi.
"Iya, boleh," jawab Nayanika, yang memang sudah lapar sekali, setelah seharian bolak balik mencari pekerjaan.
Semangkuk rice bowl Nayanika pesan dan juga segelas jus jeruk. Untung harganya murah juga di sini. Tapi walau begitu, Bumi malah menawarkan untuk mentraktir Nayanika saja.
"Aku aja yang bayar ya??" ucap Bumi yang meminta total pembelian makanan maupun minumannya dengan Nayanika, kemudian melakukan pembayaran.
"Nggak usah, Bumi."
"Nggak apa-apa kok. Sekali-sekali," jawab Bumi.
"Yuk, kita duduk di sana," tunjuk Bumi pada salah satu meja yang kosong dan sekarang ditempati oleh keduanya.
"Gimana kabar kamu??" tanya Bumi, sambil menikmati makanan dan minuman mereka.
"Baik. Kabarku lumayan baik," ucap Nayanika sembari tersenyum paksa.
"Kenapa keluar?? Kamu udah nggak lanjut kuliah lagi??" tanya Bumi.
"Nggak. Udah nggak lanjut. Ibuku sakit kan. Terus, ayahku...," Nayanika terdiam sambil melipat bibir dan Bumi yang akhirnya menyambung kata-kata Nayanika tadi.
"Em, katanya, aku dengar dari kabar burung, ayah kamu masuk bui ya?? Kasus korupsi?" ucap Bumi dengan pelan-pelan, agar tidak menyakiti Nayanika. Tapi tetap saja, terdengar menyakitkan. Seperti sebuah aib saja. Karena kalau dipikir-pikir, kasus itu cukup memalukan. Dia adalah anak dari seorang koruptor. Orang yang mengambil hak milik orang lain dan bergelimang harta, dari apa yang bukan sepenuhnya milik sendiri.
"Iya. Bukan kabar burung kok. Itu kenyataan. Ya tapi mau gimana lagi?? Papa, lagi menjalani hukumannya kan sekarang. Terus semua harta yang ada juga udah disita."
"Terus kamu tinggal dimana sekarang?? Katanya, ibu kamu sedang sakit juga. Sakit apa beliau??" tanya Bumi.
"Aku tinggal nggak jauh dari sini kok. Mama kena stroke. Tapi sekarang, lagi rawat jalan."
"Oh gitu. Em, mudah-mudahan, Mama kamu cepat sehat lagi ya??"
"Iya. Makasih, Bumi."
Nayanika makan dengan sangat lahap. Ia menghela nafas, saat perutnya sudah mulai terasa penuh dan cepat-cepat menghabiskan air minumnya juga.
"Aku pergi ya?? Makasih buat traktirannya," ucap Nayanika.
"Kok buru-buru banget??" ucap Bumi.
"Iya. Udah sore. Udah mau gelap. Aku mau langsung pulang. Kasian Mama dan adikku di rumah," ujar Nayanika.
"Kalau gitu, aku boleh minta nomor kamu??" tanya Bumi.
"Buat apa??" tanya Nayanika sembari mengerutkan keningnya.
"Yaa, mungkin sewaktu-waktu, aku ada perlu dengan kamu atau malah sebaliknya. Jadi nggak usah repot-repot cari kan? Cuma tinggal telepon," ucap Bumi dan Nayanika pun langsung mengeluarkan ponselnya, lalu mengeluarkan barcode yang terhubung ke aplikasi penerimaan dan pengiriman pesan.
Bumi men-scan barcode itu dan menyimpan nomor Nayanika. Setelah itu, Nayanika pun pamit dengan terburu-buru dan pergi dengan sepeda motornya sendiri.
"Aku duluan ya?" ucap Nayanika seraya melaju pergi dari sana.
Setibanya Nayanika di rumah.
Nayanika, melihat sebuah mobil, yang terparkir di depan rumahnya. Rupanya ada tamu. Tamu yang tak pernah diundang dan malah datang ke sini.
"Eh, Kakak. Kakak udah pulang?? Ini, Kak Meisya nunggu kakak di sini dari tadi. Mentari mau telepon, tapi lagi nggak ada kuota. Kata Kak Meisya, mau tunggu kakak aja di sini," ucap sang adik dan Nayanika pun terlihat menghela nafas, sembari memperhatikan wanita, yang melontarkan senyuman licik kepadanya ini.