"Kak?? Kakak kok udah pulang jam segini?? Masih sore lho ini, Kak," tanya Mentari, yang sedang menyuapi sang ibunda di teras rumah.
"Iya. Kakak berhenti, Dek," jawab Nayanika lesu.
"Kenapa berhenti, Kak??" tanya Mentari.
"Ada masalah sedikit di tempat kerja. Jadi harus berhenti. Tapi nanti kakak cari kerjaan yang lain kok. Kamu sekolah aja yang bener ya?? Nggak usah mikir macem-macem. Spp bulan ini udah kan??" tanya Nayanika.
"Iya, Kak. Udah sih, Kak," jawab Mentari yang tetap kelihatan lesu. Ia tidak tahu bagaimana keuangan sang kakak sekarang. Kalau tidak bekerja, siapa yang akan mencari untuk ia dan juga ibu mereka??
"Apa Mentari ikut cari uang aja ya, Kak??" ucap Mentari dan Nayanika malah terlihat membuat senyuman masam.
"Buat apa? Kalau kita kerja semua, nanti siapa yang jagain Mama?? Kamu tinggal belajar aja yang rajin. Masalah kerjaan, biar kakak yang urus. Kakak masih punya pegangan uang lumayan banyak kok. Kamu nggak usah khawatir. Sekarang juga, Kakak mau cari-cari lowongan kerjaan lagi. Oh iya, sini, biar kakak yang suapin Mama," ucap Nayanika yang meminta piring yang tengah Mentari pegang.
"Nggak usah, Kak. Mentari aja. Kakak udah makan belum?? Kakak juga makan dulu gih. Tadi kayaknya, kakak abis mandi langsung berangkat deh. Belum sempet makan, kan??"
"Iya sih. Kakak juga lapar lagi nih. Ya udah. Kalau gitu, kakak mau makan dulu ya??"
"Iya, Kak. Ya udah sana makan dulu," ucap
Nayanika masuk dan langsung berbelok ke dapur. Ia ambil piring dan mengambil nasi serta lauk pauknya juga. Sayuran paling utama, supaya tidak lemas dan juga tetap sehat.
Nayanika taruh piringnya di atas meja dan selanjutnya menarik kursi, lalu menempelkan bokongnya di atas kursi tersebut. Ia makan dengan sangat lahap. Lapar. Perut terasa keroncongan dan pikiran terasa tidak tenang, adalah penyebab ia makan dengan agak kesetanan.
Kalau sudah kenyang. Ia akan cari lowongan pekerjaan secepatnya. Ia butuh banyak uang, sebelum harus terpaksa berhenti, karena kandungannya pasti akan membesar nanti. Akan sulit disembunyikan dan akan sangat melelahkan juga, saat bekerja dengan kondisi berbadan dua.
Makanan telah habis dan piring pun sudah dicuci bersih. Nayanika mengecek keadaan ibunya dulu dan membantu sang ibu untuk naik ke atas tempat tidur. Setelah itu, Nayanika masuk ke dalam kamarnya sendiri, lalu membuka-buka situs lapangan pekerjaan dan juga bertanya kepada teman-temannya.
Hanya saja, sedikit yang membalas, karena sebagian dari mereka malah masih berkuliah. Ia pun tadinya begitu. Tapi tidak dilanjutkan, karena keadaan yang sudah tidak lagi memungkinkan.
Pendidikan sudah bukan lagi prioritasnya sekarang. Ia butuh uang dan pekerjaan. Secepatnya.
Nayanika yang tengah memandangi ponselnya itupun malah terlelap di atas tempat tidur. Lelah dan juga kekenyangan. Atau mungkin karena sedang berbadan dua juga, membuatnya jadi cepat lelah juga mengantuk begini??
Ting!!
Nayanika melonjak kaget dan terbangun dari tidurnya yang singkat. Ia lihat ponsel yang hampir jatuh dari tangannya itu dan mengecek pesan yang masuk, dengan mata yang menyipit.
Sontak, bola mata Nayanika melebar saat melihat nama Abiyaksa yang muncul di ponselnya itu. Nayanika bangun dengan segera dan melihat pesan apa, yang dikirimkan oleh pria itu kepadanya.
Mas Abiyaksa : [Lusa jadwal saya kosong. Kemungkinan, saya akan datang ke sana lusa, kamu sharelok ya? Nanti, saya akan datang sekitar jam 11 siang]
Nayanika : [Iya, dok. Saya ada di rumah kok lusa nanti. Saya sharelok sekarang ya]
Nayanika mengirimkan lokasi tempat tinggalnya yang sekarang dan sesudah itu, Abiyaksa sudah tidak lagi membalas pesannya.
Nayanika sontak melamun di atas tempat tidurnya itu. Ia jadi terpikirkan, bagaimana dengan reaksi Meisya, saat tahu suaminya akan datang ke sini. Apa lagi, hubungan mereka sedang tidak bagus, karena Meisya yang terus menerus mendesak dirinya, untuk menggugurkan anak ini saja.
Tetapi ia tidak mau. Ia tetap tidak mau melakukan hal itu sampai kapanpun juga. Terserah Meisya mau melakukan apa. Ia tidak akan sampai hati, untuk melenyapkan anaknya sendiri.
Dia itu hidup dan bernyawa. Kalau menyingkirkannya, sama saja dengan membunuh kan?? Mana mungkin, ia tega membunuh anak sendiri?? Hanya orang gila saja yang melakukannya. Tetapi ia masih memiliki cukup kewarasan, untuk tidak menuruti perkataan Meisya, yang menurutnya sangatlah salah.
Nayanika kembali meringkuk di atas tempat tidurnya lagi. Tetapi untuk yang kali ini sambil mengelus-elus perutnya sendiri. Sedikit berperilaku seperti bukan orang normal, dengan bicara sendiri, atau bicara pada sesuatu, yang ada di dalam rahimnya itu.
"Kita hadapi semuanya sama-sama ya? Mama akan tetap mempertahankan kamu sampai kapanpun. Kamu anak Mama. Mama yang salah. Bukan kamu. Mama akan melakukan apapun itu, supaya kamu nggak pernah hidup susah. Supaya kamu bahagia, biarpun kita cuma berdua," ucap Nayanika, sembari bangun lagi dari atas tempat tidurnya dan kemudian menatap ponselnya lagi.
Jangan terlalu banyak bermalas-malasan. Ia sedang berpacu dengan waktu. Karena ia berbeda dari yang lain.
Tidak bisa menunggu suami menafkahi, tidak mungkin juga menunggu suami orang untuk melakukan hal itu. Ia harus berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Harus berusaha tanpa lelah dan harus bisa bertahan, ditengah-tengah cobaan hidup, yang selalu datang dengan silih berganti ini.
Sesekali Nayanika terlihat menguap. Ia juga hampir saja kalah dengan rasa kantuknya juga. Tapi ia paksa, kelopak matanya untuk selalu terbuka. Ia cari terus lowongan pekerjaan dan menandainya satu persatu.
Ada tiga lowongan pekerjaan yang ia dapatkan. Semuanya bukan di sebuah perusahaan yang bonafit, hanya kasir toko saja. Tapi lumayan, daripada tidak ada sama sekali.
Nayanika turun dari atas tempat tidur dan membuka laci. Ia mulai mengeluarkan surat-surat, yang akan ia gunakan untuk melamar pekerjaan lagi. Ia buat sampai empat buah lamaran pekerjaan dan akan ia taruh di setiap tempat, yang memang sedang membuka lowongan.
Setelah semua beres. Nayanika pun pergi untuk melihat kondisi ibunya. Menemani, memberikan obat, sampai lupa untuk meminum obat-obatannya sendiri.
Setelah sang ibu pergi tidur. Nayanika keluar dari dalam kamar. Ia bawa-bawa segala macam vitamin, yang akan ia minum sebelum tidur. Ia keluarkan semua satu persatu dan meminum sekaligus.
"Kak?? Kakak lagi apa??" tanya Mentari yang tiba-tiba datang dari kamarnya.
"Nggak lagi apa-apa," jawab Nayanika, sembari mengepal bungkusan obat-obatan miliknya itu.
"Itu obat?? Kakak lagi sakit??" cecar Mentari.
"Nggak. Kakak nggak sakit kok. Kakak sehat," jawab Nayanika dengan agak gugup.
"Tapi kok malah minum obat, Kak??"
"Eum, ini... Ini cuma vitamin. Vitamin buat daya tahan tubuh. Kakak harus sehat terus kan, supaya bisa cari uang banyak-banyak untuk kita," ucap Nayanika sembari menarik obat miliknya dan menyimpannya di balik tubuhnya itu sendiri.
"Kakak ke kamar duluan ya?? Mau tidur. Mau istirahat. Besok mau lamar pekerjaan kan," ucap Nayanika yang segera melengos pergi dari dekat sang adik, yang mulai menaruh curiga, kepada kakaknya sendiri.
Nayanika simpan baik-baik obat-obatan miliknya dan naik ke atas tempat tidurnya itu. Ia langsung merebahkan tubuhnya di sana dan berusaha untuk terlelap.
Namun, tepat di tengah malamnya. Nayanika malah terbangun juga. Padahal, sudah niat untuk tidur sampai pagi. Ia bangun karena merasa lapar. Karena ada suatu makanan, yang sedang ia inginkan detik itu juga.
"Mau soto. Kayaknya makan soto enak ya?" ucap Nayanika sembari mengusap-usap perutnya sendiri.
Nayanika turun dari atas ranjangnya dan mengambil jaket, lalu kunci motornya juga. Tetapi sebelum itu, ia melihat ke kamar sang ibu dulu dan melihat adiknya yang terlelap nyenyak bersama ibu mereka. Tadinya, kalau adiknya itu masih bangun, ia akan bertanya, ingin menitip sesuatu atau tidak. Tapi sepertinya, ia hanya akan membeli makanan, untuk dirinya sendiri. Kasihan juga, kalau adiknya dibangunkan. Besok dia masuk sekolah soalnya.
Nayanika menutup lagi pintu kamar itu. Lalu kemudian keluar dari rumah dan menutup pagar rumah juga. Kemudian, ia pun melaju dengan sepeda motor maticnya itu, di tengah malam yang sepi, tapi demi perut yang terasa sangat keroncong ini, ia terpaksa berkeliaran di luar. Untungnya, daerah ini tidaklah sepi juga. Dekat dari jalan raya dan masih banyak anak-anak muda yang nongkrong, ia jadi merasa aman sampai akhirnya tiba di tempat yang sudah sangat ingin ia tuju.
Dia turun dari motor dan menaruh helmnya, lalu mendekati pedagang soto, yang memang sudah akan merapikan tempat dagangnya.
"Pak, saya pesan...,"
"Pak sotonya satu cepat ya, Pak! Buat istri saya. Lagi ngidam soalnya," ucap seorang pria yang berusia sekitar tiga puluh tahunan itu, yang main menyerobot antrian, padahal Nayanika sedang bicara tadi.
"Wah, sisa semangkok ini. Gimana ya?? Mbaknya ini datang duluan lagi," ucap si pedagang soto itu sambil menunjuk Nayanika dengan menggunakan ibu jarinya.
"Mbak, buat saya ya?? Penting soalnya. Ini buat istri saya. Dia ngerengek terus di rumah. Pingin soto ayam katanya. Saya udah cari keliling-keliling, cuma tinggal ini yang buka. Ngalah ya, Mbak?? Istri saya lagi hamil lho, Mbak," ucap laki-laki itu.
"Tapi, Mas. Saya yang dateng duluan kan tadi," ucap Nayanika, bukan tidak mau kalah. Ia memang sudah datang lebih dulu juga kan.Tapi antriannya malah diserobot.
"Iya saya tahu, memang Mbak dateng duluan. Tapi saya butuh ini. Istri saya lagi nunggu di rumah. Apa Mbak nggak kasian sama istri saya?? Coba Mbak di posisi saya begini. Suami Mbak cari-cari makanan yang lagi Mbak pingin sekali. Tapi malah nggak dapet. Apa Mbak nggak kecewa?? Saya nggak mau buat istri saya kecewa, Mbak. Apa lagi, ini anak pertama kami. Saya cuma mau nyenengin istri, Mbak. Nggak apa-apa ya, Mbak??" bujuk laki-laki itu dengan sedemikian rupa.
Nayanika bergeming dan memperhatikan raut wajah pria, yang kelihatan lelah sekali ini. Dia cuma ingin yang terbaik untuk istrinya kan?
"Iya, Mas. Ya udah. Silahkan. Em, saya nggak jadi ya, Pak??" ucap Nayanika yang kembali ke motornya lagi.
Dia pakai helmnya dan melaju lagi dengan pelan-pelan. Sudah lewat dari tengah malam. Dimana lagi yang buka. Kata mas-mas yang tadi juga, tidak ada lagi tempat soto yang buka. Masa malam ini, ia pulang dengan tangan kosong??
Nayanika memutuskan untuk mencari saja. Penasaran dan rasa inginnya sudah sangat menggebu-gebu sekali. Tapi sedang berputar-putar mencari. Ia malah melihat laki-laki yang tadi, baru saja melewatinya dan berhenti di sebuah rumah, yang ada di depan sana.
Nayanika berhenti dan melihat, saat laki-laki itu turun dari sepeda motornya dan ada seorang wanita, yang sudah menunggu di teras rumah.
"Mas! Ada?? Dapet nggak??" rengek wanita itu.
"Ini, Mas bawa apa ini??" ucap pria yang tadi, yang tersenyum dengan sangat semringah sekali sambil berjalan dan mendatangi wanita itu.
"Dapet ya, Mas??" ucap wanita yang kelihatan sangat semringah itu.
"Iya, dong. Mas cari-cari ke semua tempat dan ini, akhirnya dapet. Demi ngidamnya kamu!" ucap pria itu sambil mengusap-usap perut wanita, yang kelihatan sedikit menonjol itu.
"Ayo, kita masuk. Kamu cepat makan ini. Nanti malah keburu dingin," ucap pria itu, sembari merangkul pinggang wanita yang merupakan istrinya itu dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Pintu rumah tertutup rapat. Nayanika pun melaju lagi dengan sepeda motornya sambil mengingat-ingat lagi, aksi seorang suami, yang sedang berusaha untuk menyenangkan istrinya yang sedang hamil.
Nayanika kembali menepi. Ia tarik dan hembuskan nafas beberapa kali, saat merasakan dadanya sesak dan kedua bola matanya yang terasa panas. Ia usap kedua ujung matanya secara bergantian, saat ada air bening yang malah luruh dari sana secara tiba-tiba, tanpa ia bisa bendung sama sekali dan sebuah isakan malah tak bisa Nayanika elakan.
Tidak mau menangis. Tapi air ini malah tiba-tiba saja turun tak terkendali, ketika ia mengingat-ingat nasibnya sendiri. Semua kepedihan hidup, seakan berputar di dalam kepalanya secara silih berganti. Padahal, ia sudah mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Hanya karena semangkuk soto, ia malah menangis tak keruan di jalan. Atau mungkin juga, bukan hanya sekedar semangkuk soto itu saja, yang ia inginkan??