"Iya," jawab Nayanika singkat, sambil terus menghitung belanjaan milik pria di depannya.
"Pulang jam berapa??" tanya Abiyaksa lagi disela Nayanika, yang tengah memasukkan belanjaan Abiyaksa ke dalam sebuah paper bag.
"Sebentar lagi. Jam sembilan," jawab Nayanika sembari menyerahkan belanjaan milik Abiyaksa.
"Sendiri??" tanya Abiyaksa lagi.
"Iya. Ini totalnya jadi seratus tujuh puluh dua ribu," ucap Nayanika sembari melirik sekilas kepada pria di hadapannya ini.
Abiyaksa memberikan uang pecahan seratus ribu sebanyak dua lembar. Kemudian, Nayanika memberikan struk beserta dengan uang kembaliannya juga.
"Ini, terima kasih," ucap Nayanika dan bukannya segera pergi setelah belanjaan maupun uang kembalian diserahkan. Abiyaksa malah berdiri di depannya saja dan juga mengajaknya mengobrol.
"Ini sudah malam. Berbahaya, kalau pulang sendirian. Mau saya antar?" tanya Abiyaksa dan Nayanika malah tersenyum masam padanya.
"Saya bawa motor sendiri. Lagian, saya juga udah terbiasa pulang jam segini sendirian," ucap Nayanika.
"Oh. Ya sudah. Baiklah. Kalau begitu, saya duluan," ucap Abiyaksa, yang akhirnya bergeser serta pergi juga dari sana.
Nayanika menghela napas. Aman dan sudah mulai sepi. Yang tadi adalah pengunjung yang terakhir juga. Sekarang, ia hanya tinggal bersiap-siap untuk pulang, karena jam kerjanya sudah mau habis.
Sementara Abiyaksa sudah berada di dalam mobilnya dan sedang dalam perjalanan pulang. Dia, melihat dari kaca mobilnya yang gelap, segerombolan anak jalanan, yang sedang berkumpul dan juga, terlihat sedang mabuk-mabukan.
Mobil Abiyaksa sudah melewati kumpulan orang-orang itu. Tetapi, dia malah berhenti di tengah jalan dan hanya berpikir sebentar, untuk memutuskan putar balik dan kembali ke tempat asalnya tadi.
Abiyaksa, menghentikan mobilnya di depan supermarket tempat Nayanika bekerja dan melihat wanita itu, yang sedang mengenakan helm- nya, lalu kemudian menyalakan mesin motor dan melaju juga dengan motornya tersebut. Sedangkan Abiyaksa sendiri, kini mulai mengikuti Nayanika dari belakang. Berjalan dengan pelan, mengimbangi gerakan motor Nayanika yang juga perlahan. Memantau terus dan memastikan, bila wanita itu tiba di rumahnya dengan aman dan selamat.
Motor Nayanika melihat dari kaca spion motornya, mobil yang seperti sedang membuntuti dirinya ini dan ketika sudah berhenti di depan gerbang rumahnya, ia baru melihat, ternyata Abiyaksa lah, yang sudah membuntutinya sampai di rumah.
Kaca mobil terbuka saat sudah berada sejajar dengan Nayanika yang sedang berdiri sekarang ini. Kemudian, Abiyaksa pun muncul dari kaca mobilnya yang terbuka itu.
"Cepat masuk dan langsung istirahat," ucap Abiyaksa, yang setelah mengatakan kalimat itu, malah langsung pergi begitu saja, meninggalkan Nayanika, yang malah tertegun di depan pagar.
Perhatian.
Satu kata itu yang terlintas di dalam kepalanya sekarang. Diam-diam, padahal sudah mengatakan untuk tidak usah diantar. Tapi, ia malah diantar juga sampai ke rumah, biarpun dengan menggunakan kendaraan masing-masing.
Nayanika menghela napas serta mengerjap sekali. Tidak boleh tersanjung. Apa lagi sampai merasa besar kepala. Ingat. Biarpun sedang mengandung anaknya sekalipun, tetap saja dia itu milik orang lain. Tidak boleh memikirkan apa yang bukan menjadi miliknya. Apa lagi, sampai berani-beraninya menyimpan harapan semu semacam itu.
Jangan sampai, ia menjadi perusak rumah tangga orang lain. Harus tahu diri. Lagi pula, sudah cukup berat masalah hidupnya. Sudah cukup banyak yang harus ia pikirkan sekarang, daripada hanya sekedar memikirkan suami orang.
Nayanika membuka pintu pagar dan mendorong motornya hingga ke teras rumah. Lalu, ia ketuk-ketuk pintunya dulu sampai dibukakan oleh sang adik dan kemudian memasukkan motornya itu ke dalam rumah.
Abiyaksa pun tiba di rumah dan cepat-cepat naik ke lantai atas. Ia melihat sang istri, yang lagi-lagi sibuk dengan gadgetnya. Sempat menyapa dan juga memeluknya. Ia juga memberikan camilan yang dibelikannya, saat di jalan tadi. Tetapi setelah itu, Meisya malah kembali disibukan dengan aktifitasnya sendiri. Posting endorse dan apalah itu namanya. Satu bulan lebih menjadi suami istri, rasanya agak hampa. Apa karena belum memiliki anak, jadi rasanya seperti ini?? Mungkin, kalau sudah punya anak, akan berbeda kondisi maupun suasana di rumah.
Abiyaksa pergi mandi dengan terburu-buru. Lalu, ia pun naik ke atas tempat tidur dan mendekati Meisya, yang sedang mengetik caption, untuk setiap postingannya di media sosial.
Tangan Abiyaksa langsung mendekap begitu saja, wanita yang malahan nampak risih sekali itu. Bahkan secara terang-terangan, tubuhnya malah didorong untuk menjauh.
"Mas sana ah! Aku lagi kerja nih!" seru Meisya kalap.
Abiyaksa menelan salivanya sendiri. Padahal ingin anak. Tapi baru akan diajak membuat, malah sudah ditolak mentah-mentah.
"Apa kamu nggak bisa berhenti?" tanya Abiyaksa sampai Meisya malah mengerutkan keningnya.
"Berhenti apa??" tanya Meisya menantang sekali.
"Berhenti melakukan pekerjaan di malam hari. Malam itu waktunya istirahat. Lagian, aku rasa kamu nggak perlu bekerja terlalu keras. Ada aku, suami kamu yang mencukupi segala kebutuhan kamu. Kamu nggak akan kekurangan, biar hanya mengandalkan aku saja," bujuk Abiyaksa dan respon Meisya, malah tersenyum remeh.
"Emangnya berapa berapa sih yang bisa Mas kasih hm?? Aku bukannya mau meremehkan. Tapi penghasilan aku itu nggak main-main lho, Mas. Bukan cuma recehan. Ratusan bahkan sampai miliaran, Mas! Apa nggak sayang lepas semua itu???" ucap Meisya dan pria yang merasa tidak ada harga dirinya sebagai seorang suami ini, malah terdiam. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Karena memang, uang sebanyak itu tidaklah bisa ia hasilkan maupun berikan dalam waktu yang cepat. Dalam satu bulan, tidak sampai ratusan juta yang ia raup. Jadi sudah jelas, ia kalah dalam penghasilan.
"Ya sudah. Jangan tidur malam-malam," ucap Abiyaksa, yang akhirnya malah memilih untuk tidur saja.
Mungkin memang belum saatnya. Kalau sudah waktunya pun, ia pasti akan memiliki anak juga dan rumah mereka ini, pasti tidak akan sepi lagi. Memang, adakalanya, memiliki banyak uang, tapi terasa hampa dan memiliki sedikit uang, hidup malah lebih berwarna. Namun yang ia sadari, harus sekali merasa bersyukur dengan apa yang dipunyai. Karena yang ada di luar sana, harus mati-matian bekerja, untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau bahkan ibu dan adiknya juga, seperti Nayanika.
Dia yang seperti belum siap untuk memiliki anak. Tapi malah hamil. Sementara ia yang kedua-duanya cukup secara finansial, malah sulit sekali memiliki anak. Memang, sepertinya ia harus lebih saling mengenal dulu mungkin. Baru nanti akan ada seorang anak yang hadir di tengah-tengah mereka berdua
Keesokan harinya.
Abiyaksa kembali ke supermarket itu lagi. Tidak untuk membeli air mineral. Hanya membelikan camilan saja, untuk istrinya di rumah. Sementara yang berdiri di depan mesin kasir dan melihat Abiyaksa yang datang kepadanya, sudah terlihat malas dan menghela napas.
"Kenapa lemas sekali??" tanya Abiyaksa seraya meletakkan buah, cake dan es krim di atas meja kasir.
"Ngantuk," jawab Nayanika seraya mengambil satu persatu produk yang dibeli Abiyaksa tadi dan men-scan di mesin kasirnya.
"Kalau begitu, jangan mengendarai motor sendiri dalam kondisi mengantuk. Itu...,"
"Bahaya?? Iya saya tahu. Saya juga pasti hati-hati. Nggak mungkin saya bawa motor sambil tidur juga," ketus Nayanika.
"Ini, totalnya seratus empat puluh," ucap Nayanika dan langsung dibayar oleh Abiyaksa.
"Terima kasih. Saya jalan dulu," ucap Abiyaksa, yang Nayanika kira, akan benar-benar pergi.
Tetapi, ia malah lagi-lagi dibuntuti, tanpa Nayanika sadari. Motor yang sedang Nayanika kendarai kini, tiba-tiba saja oleng, hingga ia terpaksa menepi dan mencari penyebab motornya tidak enak saat berjalan.
"Ck! Yah! Kena paku!" cetus Nayanika, yang kelihatan sangat frustasi sambil menekan-nekan ban motornya yang kempes. Sudah malam. Tidak tahu dimana tukang tambal bannya juga.
Terpaksa harus ia dorong motornya ini, sambil mencari-cari bengkel yang masih buka. Tapi, baru beberapa langkah ia berjalan kaki, suara klakson mobil di belakangnya, membuat Nayanika berhenti sesaat.
Nayanika tengok ke belakang dan menyipitkan mata, saat melihat sinar lampu mobil yang cukup menyilaukan mata. Dia kemudian melihat seseorang turun dari sana dan mendatangi dirinya.
"Kenapa kamu jalan kaki??" tanya laki-laki, yang tadi ia layani di supermarket.
"Bocor. Kena paku," jawab Nayanika jutek.
"Oh ya?? Ya udah. Kalau begitu, aku antar kamu pulang saja. Ayo naik ke mobil," ajak Abiyaksa.
"Terus motornya gimana?? Aku tinggal di sini sampai dibawa orang?? Aku cuma punya kendaraan itu buat bolak balik kerja!" omel Nayanika.
Abiyaksa terdiam sesaat dan setelahnya, nampak menghubungi seseorang melalui ponselnya.
"Tunggu di sini, aku sudah menghubungi keponakanku dan menyuruh dia datang ke sini. Nanti, dia yang akan bawa motor kamu ke bengkel. Kebetulan, dia ada disekitar sini. Sedang nongkrong dengan teman-temannya," ucap Abiyaksa dan Nayanika terpaksa menunggu juga. Tidak ada pilihan lain. Kalau pergi sendiri, tidak tahu sampai atau tidak ke bengkel nanti.
Hanya butuh lima menit saja, sebuah motor sport datang, dengan membawa yang katanya keponakan di jok belakang.
"Iya, Om. Ada apa?" tanya sang keponakan.
"Tolong bawa motor itu ke bengkel ya? Bannya bocor. Ditambal dulu," ucap Abiyaksa sembari memberikan sejumlah uang kepada orang tersebut.
"Oh iya, Om. Siap."
"Kalau udah beres. Kamu hubungi Om, ya??"
"Siap, om. Beres pokoknya," ucap sang keponakan.
"Ayo, ikut saya," ajak Abiyaksa, tapi Nayanika malah terlihat ragu, untuk memenuhi ajakannya.
"Saya pesen ojol aja deh," ucap Nayanika.
"Kenapa harus pesen ojol?? Sudah ayo naik. Ini sudah malam. Rawan juga. Ayo naik," ajak Abiyaksa dan sepertinya, Nayanika tidak ada pilihan lain, selain mengikuti saja ajakan dari ayah anak dalam kandungannya ini
"Ya udah deh," ucap Nayanika, seraya berjalan masuk ke dalam mobil bercat hitam milik Abiyaksa ini.