Angan-angan yang Semu

1152 Kata
Nayanika duduk dengan sedikit tegang di sisi Abiyaksa. Biasanya, kursi ini pasti Meisya yang mendudukinya. Tapi malam ini, malah ia yang ambil alih. Kalau dia tahu, pasti dia akan mengamuk kan nantinya?? "Em, tolong jangan bilang ke Meisya, kalau saya ikut di sini," pinta Nayanika, yang tak mau ada perang berkelanjutan, setelah sempat melakukan gencatan senjata. "Kenapa? Apa kalian berdua sedang ada masalah??" tanya Abiyaksa. "Em, nggak ada. Cuma nggak enak aja, kalau pergi berduaan sama suaminya," ucap Nayanika. "Oh begitu. Iya. Tenang aja. Kamu nggak perlu khawatir," jawab Abiyaksa yang terus melaju dengan mobilnya, tetapi malah sangatlah pelan begini. "Motor saya gimana ya nanti??" tanya Nayanika, karena tunggangan yang satu itu penting sekali, untuk ia wara wiri dan pergi bekerja di esok harinya. "Kamu tenang aja. Nanti kalau udah selesai. Saya akan suruh keponakan saya, untuk segera antarkan ke rumah kamu. Ya paling lambat nanti pagi," jawab Abiyaksa. "Oh iya. Em, jadi berapa semuanya tadi??" tanya Nayanika lagi. "Motornya baru juga akan masuk bengkel. Jadi masih belum tahu. Lagian, tidak usahlah. Paling-paling cuma berapa," ucap Abiyaksa dengan sangat entengnya. "Jangan begitu, dok. Saya nggak mau ada hutang budi," ucap Nayanika. "Bukan masalah hutang budi. Saya cuma nggak mau menyulitkan orang lain. Kalau bisa saya bantu, ya malah akan saya bantu. Saya tidak setega itu, melihat orang yang sedang kesusahan. Apa lagi itu perempuan. Jadi kalau saya bilang nggak usah, ya berarti saya ikhlas dan nggak akan menghitung-hitung balas budi. Kamu juga, jangan jadi orang yang terlalu nggak enakan. Santai saja. Saya bantu juga, bukan karena ada maksud yang lain. Murni kemanusiaan dan karena kamu juga sahabatnya istri saya. Jadi bukan seperti kepada orang lain lagi. Jangan sungkan-sungkan. Ok??" ucap Abiyaksa, yang gemas sekali dengan setiap penolakan Nayanika, atas segala niatan baiknya. "Iya, dok. Terima kasih." "Jangan panggil begitu juga. Saya nggak sedang praktek di sini juga kan?" ucap Abiyaksa dan Nayanika menelan salivanya dulu, baru bicara lagi padanya. "Iya, Mas. Terima kasih banyak untuk bantuannya. Kalau saya sedang ada rejeki berlebih atau mungkin lagi dapat rejeki yang nggak terduga. Pasti saya ingat dan balas kok," ucap Nayanika dan Abiyaksa malah tersenyum saja. Dibilang jangan jadi orang yang merasa tidak enakan. Masih basah juga mulutnya ini, tapi tetap sama saja hasilnya. Mobil Abiyaksa akhirnya berhenti di depan rumah yang minimalis ini. Nayanika pun sudah mengambil ancang-ancang untuk keluar. Tapi sebelum itu, ia ungkapkan dulu, rasa terima kasihnya kepada pria yang satu ini. "Sekali lagi, terima kasih ya, Mas? Terima kasih juga udah dianterin sampe rumah," ucap Nayanika sambil memegang pintu mobil yang sudah terbuka. "Iya sama-sama. Hati-hati turunnya," ucap Abiyaksa dan Nayanika pun mengangguk sambil bergeser dan turun dari mobil Abiyaksa ini. Setelah itu, ia tutup kembali pintunya dan melihat mobil ini berputar. Tidak lupa juga, sebuah kata terakhir seperti kemarin, lagi-lagi diucapkan oleh pria itu padanya. "Sudah masuk. Sudah malam. Istirahat," pesan Abiyaksa sebelum akhirnya melaju lagi dan pergi dari hadapan Nayanika. Nayanika diam termenung. Sungguh baik. Sungguh dewasa dan juga perhatiannya. Dimana ia bisa mendapatkan laki-laki yang seperti itu juga?? Tapi kalau ingat dengan yang ada di dalam perut. Rasa-rasanya jadi seperti mustahil. Apa ada, yang mau dengan perempuan satu anak, dengan status yang tidaklah jelas. Bukan seorang perawan dan bukan juga seorang janda. Sepertinya biar adapun, orang tuanya belum tentu setuju. Dan laki-laki itu juga, pasti akan berpikir sampai ribuan kali. Ah sudahlah. Hentikan semua mimpi gila ini. Jangan mengharapkan hal-hal yang mustahil ia dapatkan. Hanya orang-orang yang beruntung saja, yang bisa merasakannya. Jangan menunggu di bahagiakan oleh orang lain. Cukup mencari kebahagiaan diri sendiri saja. Atau minimal, ia bisa membahagiakan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Jadi berhenti berharap. Berhenti melakukan sebuah angan-angan yang semu. Karena semua itu, malah membuatnya merasa kecewa sendiri dan membuatnya menjadi sedih. Esok harinya. Motor milik Nayanika akhirnya kembali juga. Diantar langsung oleh keponakan dari Abiyaksa sampai di depan rumahnya ini. "Ini kuncinya ya, Mbak?" ucap pria yang berusia masih belasan tahun itu dan kisaran usianya adalah enam belas tahun. "Iya. Terima kasih ya? Oh iya, jadi berapa semuanya ini??" tanya Nayanika. "Nggak tahu, Mbak. Saya pamit dulu ya? Mau masuk sekolah sebentar lagi." "Oh iya. Terima kasih sekali lagi ya?" ucap Nayanika. "Iya, Mbak. Sama-sama," ucap pemuda tersebut yang langsung naik ke atas motor temannya dan pergi dari sana. "Dek, ayo, kakak anter kamu sampai sekolah," ucap Nayanika. "Iya, Kak. Sebentar, Mentari pakai sepatunya dulu," ucap sang adik, yang kemudian memakai sepatunya dengan terburu-buru dan menghampiri kakaknya tersebut, yang sudah menunggangi motornya. Mentari naik ke atas motor dan berpegangan pada pinggang sang kakak. "Udah??" tanya Nayanika. "Iya, kak. Udah kok ini." "Ya udah. Kita jalan sekarang ya?" ucap Nayanika yang segera melaju dan mengantarkan sang adik hingga ke sekolahnya. "Udah ya, Dek? Kasihan Mama sendirian di rumah," ucap Nayanika sesaat kakinya sudah menyentuh aspal dan sang adik turun dari motornya. "Iya, Kak. Kakak hati-hati di jalan," ucap Mentari. "Iya. Ya udah. Kakak jalan sekarang," ucap Nayanika yang sudah meluncur kembali dan pulang ke rumahnya lagi. Sementara itu di tempat yang lain. Sesaat setelah Abiyaksa pergi sarapan bersama sang istri. Dia pun kembali ke kamar lagi. Karena melihat sang istri yang naik ke lantai atas dan mengikutinya hingga ke kamar. "Kamu sedang apa??" tanya Abiyaksa, ketika melihat Meisya, yang baru saja membuka koper, yang ia letakkan di atas tempat tidur. "Packing, Mas. Aku mau ke Bali hari ini," ucap Meisya seraya berjalan ke arah lemari pakaiannya. "Ke Bali?? Untuk apa kamu ke sana???" tanya Abiyaksa. "Ya kerja. Mau launching produk terbaruku," ucap Meisya sambil menaruh tumpukan pakaiannya ke dalam koper. "Berapa lama??" tanya Abiyaksa. "Ya dua sampai tiga hari lah." "Kenapa?? Aku boleh pergi kan??" tanya Meisya. "Iya. Mau bagaimana lagi. Sudah bagian dari pekerjaan kamu juga kan?" ucap Abiyaksa. "Iya. Yang pasti ini penting banget sih, Mas," ucap Meisya dan Abiyaksa melihat ponselnya yang tengah bergetar maupun berbunyi juga. "Iya. Ya sudah. Yang penting kamu hati-hati," ucap Abiyaksa yang memegangi ponselnya yang sudah tidak lagi berbunyi dan pergi ke balkon, sambil menutup pintu balkonnya lagi. "Iya. Ada apa Naya?? Tumben kamu menelepon saya," tanya Abiyaksa sembari melirik ke arah pintu kaca balkon. "Mas, bisa dateng ke sini sekarang nggak?? Tadi Mama jatuh kayanya, Mas. Terus pingsan!" "Oh iya iya, tunggu, saya ke sana sekarang!" Abiyaksa cepat-cepat mengakhiri panggilan teleponnya dan memasukkan ponselnya lagi ke dalam kantong celananya. "Aku pergi dulu ya??" ucap Abiyaksa yang menghampiri Meisya dan mencium dahinya lebih dulu. "Mas mau pergi kemana???" tanya Meisya. "Ada pasien yang harus ditangani sekarang juga. Ya sudah ya??" ucap Abiyaksa yang lalu pergi dengan terburu-buru. 'Tumben. Pagi-pagi begini, udah ditelepon. Bukannya jam praktek mulai jam sembilan.' batin Meisya. Sementara itu di rumah Nayanika. Dia , sedang berusaha keras untuk mengangkat tubuh ibunya yang berada di lantai. Ia seret dengan sekuat tenaga yang ia miliki dan akhirnya berhasil, tapi, ada rasa yang tak nyaman, yang kini ia rasakan pada perut bagian bawahnya sekarang. "Aduhh... Ssstt...," ringis Nayanika, seraya memegangi perutnya sendiri, yang terasa sakit ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN