Diurusi Abiyaksa

1311 Kata
Mesin mobil meraung hidup, dan dalam sekejap Abiyaksa melaju menerobos jalanan kota yang sepi. Lampu jalan seolah berkelebat di kaca depan, sementara pikirannya hanya dipenuhi satu hal. Waktu. Setiap detik terasa berarti. Karena kini, sedang ada orang yang sangat membutuhkannya. Tangannya mencengkeram kemudi erat, matanya tajam menatap ke depan, mencari celah di antara kendaraan lain yang sedang berlalu lalang. Sambil mengemudi, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi kegelisahan tak bisa ia sembunyikan. Ia mengenal ibu dari wanita itu tahu riwayat penyakitnya, tahu betapa rapuh kondisi tubuhnya. Belum lagi putrinya yang hanya seorang diri itu, pasti tengah kebingungan sendirian, tanpa ada siapapun yang menolongnya. Klakson sesekali terdengar saat ia melewati perempatan dengan tergesa, tak peduli tatapan heran para pengemudi lain. Waktu terus berdetak. Rumah pasien hanya tinggal beberapa blok lagi. Hatinya berdebar kencang. Ia hanya punya satu harapan, semoga ia belum terlambat datang ke sana. Sementara Nayanika sendiri, memiliki sedikit rasa sesal. Karena tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Ia malah menghubungi laki-laki yang satu itu lagi saja. Mudah-mudahan setelah ini, Meisya tidak benar-benar mengamuk kepadanya. Karena sudah menghubungi suaminya pagi-pagi begini. Setelah ketegangan di jalan tadi. Akhirnya, Abiyaksa pun tiba juga di sana. Dia segera masuk dan melihat Nayanika yang duduk di sisi ibunya, yang berada di atas tempat tidur dan sambil memegangi perutnya sendiri. "Mas, tolong Mama saya!" seru Nayanika, dengan napas yang terengah-engah. Abiyaksa menyentuh di dekat lubang hidung dan juga dipergelangan tangan ibunya Nayanika, lalu kemudian, ia angkat tubuh wanita paruh baya itu dengan sekuat tenaga. "Ayo ke mobil, kita bawa ibu kamu ke rumah sakit," ucap Abiyaksa sambil berjalan lebih dulu ke mobilnya. Nayanika memeluk erat tubuh sang ibu di kursi belakang dan Abiyaksa melaju dengan terburu-buru, tapi tetap sesuai jalur dan mengikuti rambu-rambu yang ada. Hanya butuh waktu belasan menit saja. Mobil yang Abiyaksa kemudikan tiba si rumah sakit. Dia keluar dan meminta brankar. Lalu setelah itu, Abiyaksa dengan dibantu oleh petugas rumah sakit, menggotong tubuh ibunya Nayanika hingga ke atas brankar sana. Brankar didorong setelah sebelumnya Abiyaksa menyuruh mereka membawanya ke unit gawat darurat. Ia lihat Nayanika yang malah diam bersandar di dalam mobilnya ini dan sambil memegangi perutnya sendiri "Kamu kenapa??" tanya Abiyaksa, yang baru akan menyuruh Nayanika untuk ke bagian pendaftaran. Tapi wanita itu, malah kelihatan lemas juga. "Perut saya sakit. Anak saya nggak apa-apa kan?" tanya Nayanika pelan. Abiyaksa pun masuk ke dalam mobilnya dan ikut mengangkat tubuh Nayanika. Dia bawa Nayanika ke dalam unit gawat darurat juga dan menungguinya, yang sedang diperiksa oleh dokter jaga di sini. "Dokter Alana, tolong diperiksa ya?? Dia mengeluhkan sakit perut dan sedang hamil sekarang," ucap Abiyaksa. "Oh iya baik," ucap dokter tersebut yang kini memeriksa keadaan Nayanika juga, sementara Abiyaksa melihat keadaan ibu dari Nayanika ini. "Bagaimana??" tanya Abiyaksa. "Tekanan darahnya tinggi, dok," ucap seorang dokter pria, yang sudah memeriksa keadaan ibunya Nayanika ini. "Tolong stetoskopnya," pinta Abiyaksa dengan tangan yang sudah terulur. Ia ingin mengecek sendiri, keadaan dari pasien yang biasanya ia tangani ini. "Harus siapkan ruang perawatan," ucap Abiyaksa sesaat setelah selesai melakukan pemeriksaan dan segera meminta kantong infus, lalu memasangkannya sendiri. Setelah selesai mengurusi pasiennya ini, Abiyaksa beralih lagi ke bilik lainnya dan melihat kondisi anak dari pasiennya tadi. Beserta dengan calon cucunya itu juga. "Bagaimana??" tanya Abiyaksa. "Serangan panik, dok. Tapi kandungannya tidak apa-apa," ucap dokter yang selesai menangani Nayanika. Abiyaksa mendekati Nayanika. Ia berpegangan pada sisi ranjang dan berbicara sangat dekat dengan Nayanika. "Mas, Mama... Mama baik-baik aja kan??" tanya Nayanika, sambil menatap pria, yang berada di sisinya ini. "Mama kamu harus dirawat di sini. Tapi tenang saja, saya sudah menanganinya tadi. Kamu yang tenang ya?? Jangan terlalu banyak pikiran. Jangan stres. Nanti, kondisi kamu juga malah jadi drop. Tenang ya? Semuanya akan baik-baik saja," ucap Abiyaksa sambil sedikit memberikan belaian di kelapa wanita ini, agar dia bisa mengendalikan emosi, yang bisa berimbas pada dirinya sendiri maupun anaknya juga. "Sudah nggak apa-apa. Tapi malam ini, mama kamu harus menginap dulu di sini. Saya akan siapkan tempat untuk Mama kamu dan juga kamu. Tenang ya?" ucap Abiyaksa yang kembali membelai rambut wanita, yang sangat membutuhkan dorongan ini. Setelah ibu dari Nayanika dipindahkan ke ruang perawatan. Nayanika juga mendapatkan tempat yang sama di sisi ibunya. Dia diberikan ranjang tersendiri, untuknya beristirahat juga. Sementara Abiyaksa yang baru tiba, setelah mengurusi pendaftaran, kini nampak mendorong pintu ruangan dan masuk, lalu berdiri di depan pintu, sambil memperhatikan dua wanita kuat, yang sedang lemah tubuhnya. Ketika ia sedang merasakan kebosanan hidup, karena belum memiliki keturunan, maupun sang istri yang sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Rupa-rupanya, ia malah diberikan kesibukan tersendiri. Waktu luang untuk memikirkan kehampaan hidup tidaklah ada. Yang ada sekarang, bagaimana bisa menyelamatkan dua orang sekaligus, yang sedang ditimpa kemalangan dengan sangat bertubi-tubi ini. Menjadi penolong disaat dua orang yang ada di sana, yang begitu membutuhkan pertolongan. Tidak ada salahnya bekerja demi kemanusiaan. Karena rasanya pun sangat melegakan, saat bisa bermanfaat untuk orang lain dan untuk orang-orang yang memang sang membutuhkan uluran tangan darinya. Nayanika terlihat bangun dari atas ranjang pasien dan Abiyaksa terburu-buru berjalan mendekatinya dan menghalangi, saat Nayanika hendak turun dari atas ranjangnya ini. "Kamu mau kemana??" tanya Abiyaksa, yang menaruh tangan kanan kirinya di sisi ranjang pasien, serta mengapit tubuh Nayanika di tengah. Nayanika terdiam sesaat, ketika melihat pria yang sangat dekat sekali posisinya dari tubuhnya ini , hingga kemudian ia memalingkan muka saja, sambil terlihat sedang mencari-cari sesuatu, di balik tubuh Abiyaksa. "Aku haus. Mau cari minum," ucap Nayanika, dengan bola mata, yang tengah ia edarkan ke sekeliling ruangan. "Ya sudah tunggu. Biar saya ambilkan untuk kamu," ucap Abiyaksa seraya menarik kedua tangannya dari sisi Nayanika dan pergi ke dekat sofa, untuk mengambilkan segelas air hangat dari dari dispenser yang ada dalam ruangan ini. "Ini, ayo minum," ucap Abiyaksa, yang telah kembali, dengan segelas air putih untuk Nayanika. Nayanika ambil gelas tersebut dan melakukan dua tegukan, lalu setelahnya, ia berikan gelasnya ini lagi, kepada Abiyaksa. "Terima kasih, Mas," ucap Nayanika dengan bola mata yang hanya menatap ke bawah saja. "Iya sama-sama," ucap Abiyaksa sembari mengambil gelas dan menaruhnya diatas nakas. Nayanika menoleh ke samping dan menatap sang ibu yang tengah terbaring. Lagi-lagi, ia harus alihkan pikiran maupun perhatiannya, pada seseorang yang lebih penting di hidupnya saat ini. "Tidak apa-apa. Ibu kamu, sudah ditangani dengan baik. Tidak akan kenapa-kenapa juga. Ayo tidur saja. Istirahat. Jangan membebani pikiran kamu terlalu berat. Kamu juga butuh tenang untuk sehat. Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga ibu kamu nanti?? Ayo tidur. Saya ada di sini, kalau kamu membutuhkan apapun itu," ucap Abiyaksa sembari melihat kepada ibunya Nayanika juga dan akhirnya, dia datang ke sofa lalu duduk di sana. Membaca koran maupun majalah, yang memang ada dan disediakan di ruangan ini. Nayanika bernapas dengan sedikit lega. Untunglah, ia tidak salah meminta bantuan kepada siapa. Karena ia malah ditolong dengan sedemikian rupa dan tanpa tanggung-tanggung juga. Sepertinya, memang benar apa yang dia katakan. Ia membutuhkan seseorang. Ia tidak hanya bisa sendirian, apa lagi, ditengah kondisinya sendiri. Orang yang paling tidak mau ia libatkan, malah jauh terlibat, dalam permasalahan hidupnya sekarang. Kalau dipikir-pikir pun, keadaan memang sudah seharusnya begini. Ia diurusi, oleh laki-laki yang telah menanamkan benihnya. Hanya satu hal yang paling Nayanika sayangkan. Dia tidak boleh mengharapkan yang lebih. Ia juga, tidak boleh mengungkapkan, apa yang sebenarnya terjadi. Nayanika memutar kepalanya dan memandangi pria yang ada di sana itu, dengan tatapan mata yang sayu serta murung. Pria penolongnya, yang meski belum mengetahui apa-apa. Tapi datang dan membantunya paling depan. Beruntung sekali Meisya, bisa bersuamikan seorang Abiyaksa. Pria yang sangat baik dan juga perhatian bukan main. Gurat senyuman yang begitu tipis muncul di bibir Nayanika, yang tidak tipis maupun tebal. Anaknya, memiliki ayah yang memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi. Betapa beruntungnya dia, bila seandainya tahu hal itu. Ya walaupun, sepertinya seumur hidup, ia tidak akan mengenali Abiyaksa sebagai ayah, tapi dia harus tahu, bila pria itu selalu ada di saat ia tengah mengandungnya seperti sekarang ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN