Petuah dari Abiyaksa

1207 Kata
"Oh iya sebentar. Saya siapkan minum dulu," ucap Nayanika, yang meninggalkan saja ibunya bersama dokter itu. Daripada, ia yang terus-menerus berpikiran yang melenceng dari apa yang seharusnya. Lebih baik, siapkan jamuan saja. Kasihan, sudah lama menunggu dan sudah datang jauh-jauh juga ke sini. Tapi tidak dijamu dengan sebaik-baiknya. Nayanika kini sudah berada di dapur. Tetapi bingung mau menyiapkan minuman apa. Apa dia suka kopi? Atau mungkin malah tidak suka?? Apa dia suka teh?? Atau malah sebaliknya?? Oh ya ampun. Harusnya, tanyakan langsung tadi. Nayanika kembali lagi ke kamar dan melihat Abiyaksa, yang sedang menggerakkan kaki ibunya di sana. "Dok, mau minum apa?? Apa mau kopi atau mungkin teh??" tanya Nayanika. "Air putih saja," jawab Abiyaksa dan Nayanika tidak langsung pergi dari sana. Rasanya kurang enak, bila hanya menyiapkan air putih. "Dokter tidak suka kopi atau teh??" tanya Nayanika lagi. "Saya emang tidak minum kopi. Teh paling sesekali. Itu juga pakai low sugar." "Oh gitu. Em, ya udah. Saya siapkan air putihnya dulu," ucap Nayanika yang kembali lagi ke belakang. Seorang dokter memang harus menjaga kesehatan. Jadi kira-kira, apa yang harus ia suguhkan jadinya??? Masa hanya segelas air putih?? Ada kue yang manis. Yang jelas pasti akan ditolak. Karena biasanya pakai gula yang low sugar kan?? Bukan yang manisnya luar biasa begini. Nayanika garuk-garuk kepala. Mungkin, hidangkan saja buah-buahan. Sepertinya, akan lebih dimakan. Nayanika mengambil buah jeruk dari dalam lemari pendingin. Tapi kue juga turut ia bawa. Jangan kelihatan sedikit sekali sajiannya. Nayanika menaruh semua yang dibawanya dari dapur ke ruang tamu dan menaruhnya di atas meja. Setelah itu, ia kembali lagi untuk melihat sang ibu, yang sedang menerima pijatan. Abiyaksa nampak tersenyum kepada pasiennya dan sambil dengan berucap juga. "Semoga cepat sehat ya, Bu," ucap Abiyaksa seraya mengusap tangan ibunya Nayanika, lalu merapikan segala macam peralatan untuk terapi yang dibawanya sendiri ke dalam sebuah tas. "Sudah, dok??" tanya Nayanika. "Iya. Sudah," jawab Abiyaksa seraya berjalan keluar kamar. Nayanika mengikuti dari belakang dan mengulurkan tangannya ke arah sofa. "Silahkan duduk dulu, dok," ucap Nayanika. Abiyaksa pun duduk di sana dan tanpa disuruh pun, ia meminum segelas air yang sudah Nayanika sajikan. "Saya minum ya?" izin Abiyaksa, saat gelas baru akan menyentuh bibirnya. "Iya, dok. Silahkan," balas Nayanika. Segelas air ditegur dan nafas dihembuskan dari mulutnya. Abiyaksa akan rehat sebentar di sini, baru nanti langsung pergi ke rumah sakit langsung bekerja tanpa pulang dulu sebelumnya. "Saya makan jeruknya ya?" ucap Abiyaksa lagi, padahal Nayanika baru akan menawarkan juga. "Oh iya, silahkan," ucap Nayanika sembari tersenyum tipis. Abiyaksa sedang memakan buah-buahan, yang telah Nayanika sediakan. Sementara Nayanika, terus menunduk dan enggan untuk menatap pria, yang benar-benar harus ia jauhi ini sebenarnya. "Sepi sekali. Kamu cuma tinggal berdua di sini??" tanya Abiyaksa seraya menatap lawan bicara. Namun, yang diajak bicara menjawab tapi tanpa melihat kepada dirinya sama sekali. "Nggak. Ada adik saya juga. Tapi sedang sekolah. Belum pulang. Mungkin sebentar lagi dia pulang." "Oh begitu. Terus ayah kamu??" tanya Abiyaksa, yang malah jadi penasaran dengan kehidupan wanita, yang sedang ia ajak bicara ini. "Em, Papa... Papa lagi menjalani masa tahanan di penjara," jawab Nayanika sembari tersenyum masam. "Apa?? P-penjara??" ucap Abiyaksa yang lumayan terkejut mendengar penuturan Nayanika kepadanya. "Iya. Kasus korupsi. Jadi sekarang, Papa sedang ditahan di sana. Semua aset juga sudah disita semua. Kami benar-benar dimiskinkan. Tapi ya nggak apa-apa. Hidup nggak selalu harus di atas terus kan? Ada masanya, roda kehidupan berputar. Sekarang harus bisa tahan banting. Nggak boleh lemah. Masih banyak yang lebih susah dari kami. Jadi ya, syukuri aja yang ada sekarang. Yang penting masih sehat. Masih bisa punya tangan dan kaki yang lengkap, untuk berjuang." "Terus, siapa yang mencari nafkah jadinya, kalau ayah kamu nggak bersama kalian???" tanya Abiyaksa, yang rasa penasarannya, malah semakin membumbung tinggi begini. "Ya saya. Saya yang cari. Kemarin sempat kerja di cafe. Tapi malah dipecat. Sekarang, lagi cari kerjaan yang lain. Semoga cepat dapat gantinya. Em, tapi dokter nggak usah khawatir. Saya tetap bisa bayar kok. Saya masih punya simpanan uang. Jadi, pengobatan Mama saya harus tetap berjalan. Saya mau Mama sembuh. Cuma itu," ujar Nayanika dan kerutan yang ada di dahi Abiyaksa pun mulai bermunculan dengan lumayan banyak. Bekerja sendiri untuk menghidupi ibu dan adik. Tapi dalam keadaan hamil juga?? Apa hal itu tidak terlalu membebani?? Biaya hidup tidaklah murah. Kalau pekerjaan yang ditekuni dia, seperti istrinya ya mungkin saja. Tapi, kalau hanya sekedar menjadi pekerja cafe saja ya mana bisa?? "Lalu, bagaimana dengan yang ada di dalam sekarang??" tanya Abiyaksa, yang rasa penasarannya malah jadi semakin membabi buta. Nayanika terpaksa mengangkat kepalanya dan menatap pria, yang bicaranya seperti sudah mulai melampaui batasan. "Maksudnya??" tanya Nayanika. "Ya itu. Di perut," ucap Abiyaksa dan Nayanika langsung menyunggingkan bibirnya. "Dokter, sepertinya, anda sudah mulai kelewatan. Tidak baik, untuk membicarakan masalah pribadi orang lain kan???" ucap Nayanika, yang suara seperti tengah menahan kekesalan. "Maaf. Maaf bila saya lancang dan terkesan jadi terlalu ikut campur. Saya cuma berpikir, bagaimana kamu bisa menjalani semua itu sekaligus sendirian?? Ada baiknya, kamu bicarakan dengan laki-laki itu kan?? Supaya beban kamu bisa lebih ringan. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf. Saya hanya jadi kepikiran. Kamu ini perempuan. Tidak seharusnya, kamu tanggung semuanya seorang diri. Kamu nggak akan sanggup." Nayanika mengembuskan nafas dan kemudian melipat bibirnya dengan kencang. Ia tengah menahan diri. Menahan rasa, yang begitu menyesakkan di dalam dadanya. "Capek ya?" ucap Abiyaksa dengan pelan. Tapi serasa menusuk hingga ke tulang. "Jadi berapa semuanya, dok??" tanya Nayanika yang kedua matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ia bahkan cepat-cepat bangun dan pergi dari sana. Ia masuk ke dalam kamarnya dan mengusap air yang hampir jatuh dari kedua pelupuk matanya itu. Nayanika berdiam diri di dalam kamar dalam beberapa saat. Ia tarik dan hembuskan nafasnya sampai berkali-kali. Ia tenangkan dirinya dulu. Sebelum menemui, pria yang ada di luar sana lagi. Nayanika merasa lemas. Tapi, ia harus menyelesaikan bagian akhir di hari ini. Nayanika usap lagi kedua ujung matanya dan mengambil dompet yang ia simpan di dalam lemari pakaiannya, lalu kemudian keluar dengan sebuah senyuman palsu dan seolah-olah, sedang tidak memiliki masalah. "Jadi berapa semuanya ya, dok??" tanya Nayanika sembari tersenyum. Namun, Abiyaksa malah menatap Nayanika, dengan tatapan kasihan. "Nanti saja. Jangan dibayar sekarang. Kamu boleh membayar, saat ibu kamu sudah benar-benar sembuh," ujar Abiyaksa. "Mana bisa begitu??? Nanti dokter rugi waktu dan tenaga kan?? Udah jauh-jauh datang ke sini. Cuma dikasih suguhan alakadarnya. Harus nunggu orang yang malah tidur juga. Harusnya, dokter kasih harga sekarang. Saya masih punya uang yang lumayan banyak kok," ucap Nayanika, yang malah dengan sengaja mengeluarkan gepokan uang dari dalam tasnya. Abiyaksa tidak tergugah. Bukan karena ia yang memang merasa sudah lebih dari cukup dalam keuangan. Tapi, mau seberapa banyak pun uang yang Nayanika miliki sekarang, tetap saja akan habis juga, bila harus digunakan untuk kebutuhan banyak orang. Belum lagi, dengan kondisinya yang sedang berbadan dua seperti sekarang. "Simpan saja. Saya akan tetap menerima pembayaran, saat ibu kamu sudah benar-benar sembuh. Kalau begitu, saya pamit dulu. Saya akan hubungi kamu lagi seperti biasa, saat jadwal saya sedang kosong. Saya pamit. Saya masih harus pergi ke rumah sakit," ucap Abiyaksa seraya bangkit dari sofa. "Mari. Saya permisi dulu," ucap Abiyaksa lagi sembari keluar dari pintu dan bergegas menuju mobilnya lagi. Sementara Nayanika hanya tertegun saja di sana, sambil melamunkan banyak hal. Termasuk dengan, kata-kata yang pria tadi lontarkan kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN