Tiga Puluh Lima

1137 Kata
*Author Pov* Sore itu saat mereka sedang melakukan pemanasan sebelum mulai berlatih, Pak Rizal datang ke ruangan olahraga dengan membawa selembar kertas di tangannya. Wajahnya terlihat berseri saat memasuki ruangan itu, lalu senyumnya kian mereka saat ia melihat anggota tim yang ada di sana. "Semuanya dengarkan. Bapak baru saja menerima pesan jika tim kita lolos seleksi! Itu artinya kita akan bermain di pertandingan nasional nanti!" ucapnya memberikan pengumuman itu dengan semangat yang menggebu-gebu. Semangat itu pun menular pada kami semua, Radi dan Rio bahkan sampai melompat-lompat kegirangan. "Karena kita sudah mengetahui hal ini, kalau begitu kita akan memperketat latihan." Pak Alvan yang sedang berbicara terhenti saat melihat Genta menaikan tangannya. "Ya?" "Apa kita bisa tahu siapa saja yang lolos seleksi ini?" tanyanya. Mereka kembali menatap Pak Ridwan. Beliau pun menjawab dengan menganggukkan kepalanya. "Kebetulan Bapak juga sudah membawa nama-nama siapa saja yang lolos dalam seleksi ini." Suasana kembali hening, mereka pun memasang telinga baik-baik. "Tim yang lolos seleksi selain kita adalah, White Lily, Tiger, Singa Jambrong, dan lawan yang paling kuat untuk kita, Bulan Biru." "Sebenarnya masih ada beberapa lagi, tapi mungkin klub-klub itulah yang lebih harus kita waspadai." lanjut Pak Ridwan. Haqi melirik Rio yang sedang mengepalkan tangannya cukup kencang, ia tahu jika temannya itu sedang menahan amarah saat Pak Ridwan menyebut nama klub Bulan Biru. Bukan tanpa alasan Rio bersikap seperti itu, ia justru sangat tahu alasan di balik sikap Rio saat mendengar nama klub itu. Setelah menyampaikan beberapa hal lagi, Pak Ridwan pun pamit dan menyerahkan latihan kembali pada Pak Alvan. Seperti yang di ucapkan Pak Alvan sebelum nya, ia pun mulai melatih kami dengan lebih ketat. Selain berlatih dengan cara membuat grup dan bermain dua set seperti latihan yang biasa, Pak Alvan pun membuat kami berlari beberapa keliling di lapangan olahraga terbuka. Kami merebahkan diri atas tanah setelah selesai berlari mengelilingi lapangan sepuluh kali. "Kaki gw lemes coy." kata Genta yang di angguki setuju oleh kami semua, bahkan Rio dan Kak Haqi pun ikut mengangguk setuju. Pak Alvan membiarkan kami istirahat selama beberapa menit sebelum meminta kami untuk kembali ke ruangan olahraga indoor. "Kira-kira kita bisa menang babak penyisihan gak ya?" tanya Juna tiba-tiba saat ia sedang melihat awan yang bergerak pelan di atas langit sana. "Bisa, kita pasti bisa. Gw yakin." jawab Rio optimis. Juna bangun dan duduk sambil menghadap ke arah Rio yang masih berbaring menghadap langit, "Kok lo bisa yakin banget?" tanya Juna penasaran. Rio mengalihkan pandangan nya dari awan dan menatap Juna. "Karena gw punya tim yang hebat seperti kalian." jawabnya sambil tertawa lebar. "Gw harap, gw bisa bermain sebaik mungkin di pertandingan nanti. Gw gak mau mengacaukan tim, gw gak mau mengecewakan kalian." kata Juna sembari menatap teman-teman nya. Radi yang sedari tadi duduk di samping Juna, Menepuk-nepuk punggung Juna memberikan kepercayaan juga semangat pada Juna. "Hoi! mau sampai kapan kalian berbaring seperti itu? kembali ke ruang olahraga indoor sekarang!" kata Pak Alvan sambil berteriak pada mereka. ** Juna memarkirkan motornya di halaman parkir sekolah, ia berjalan ke kelasnya sambil bersiul kecil. "Hai Jun, baru dateng lo?" sapa Sania saat melihat Juna berjalan di depan kelasnya. "Yo, San. Yoi, gw hampir telat gara-gara isi bensin dulu. Tumben lo di luar kelas gini? biasanya lo lagi ngerumpi bareng Riri." tanya Juna sambil terkekeh pada Sania. "Gw lagi cari angin aja." jawabnya simple. Tentu saja itu bohong, sejujurnya saat Sania kembali dari toilet dan melihat Juna sedang berjalan ke kelasnya yang berada di samping kelas Sania. Gadis itu pun mengurungkan niatnya untuk masuk kedalam, ia sengaja duduk di luar agar bisa menyapa Juna atau pun hanya sekedar mengobrol ringan seperti ini. "Oh. Eh gw denger klub voli cewek juga lolos seleksi pertandingan nasional ya?" tanya Juna lagi. Sania mengangguk kecil, "Iya, ketua kami sudah menyuruh kami untuk latihan lebih intens dari sebelumnya. Apalagi gw juga yang entah kenapa di angkat jadi calon Ace berikut nya." Juna bersiul kagum, "Keren dong. Gw yakin itu karena lo berbakat. Kapan-kapan gw pasti lihat pertandingan lo." kata Juna yang membuat pipi Sania kembali memerah karena malu. "Ya udah gw masuk kelas dulu ya." "Oke." Sania melihat Juna yang mulai berjalan pergi ke kelasnya lalu ia pun menghembuskan napasnya. Sania memegang kedua pipinya yang memanas selama percakapan mereka. Riri yang melihat semua itu dari dalam kelas hanya menggeleng kan kepalanya, ia pun mendekat Sania yang masih berdiri di depan kelas. "Juna nya udah pergi kali, sampai kapan lo mau berdiri di sini?" tanya Riri sambil menepuk pundak Sania. "Duh, ngagetin aja." "Lah? hayooo... lo lagi mikirin apaan nih?" "Ih, apa sih, Ri!" Riri pun terrawa melihat temannya yang panik. Ia menggamit lengan Sania dan menariknya pelan untuk segera masuk ke dalam kelas karena jam pelajaran pertama akan segera berbunyi. "Lo benar-benar suka sama Juna ya?" tanya Riri begitu mereka sudah duduk di bangku. "Juna itu keren. Dia gak kayak kebanyakan anak-anak cowok yang gw kenal." "Masa? menurut gw sama aja kok, apalagi kalau udah bareng Radi sama Genta. Ribut banget mereka." Sania tertawa pelan, "Tapi dia gak pernah godain cewek atau ngomong sembarangan sama cewek." Riri mengangguk setuju, ia memang tidak pernah melihat Juna bercanda yang keterlaluan, pemuda itu juga selalu meminta maaf langsung jika ia sudah merasa keterlaluan. "Kalau menurut lo, Kak Haqi gimana? bukannya dia juga sama kaya Juna?" tanya Riri tiba-tiba. "Kak Haqi? hmmm... memang sih tapi menurut gw Kak Haqi terlalu pendiam, terkadang auranya juga terkesan mengintimidasi." Lagi-lagi Riri tertawa sambil mengangguk. Lalu Sania menolehkan kepalanya dan menatap Riri. "Ri, lo naksir Kak Haqi?" "Hah? kaga, gw gak naksir Kak Haqi." jawabnya. "Lo gak naksir Juna kan?! please jangan bilang lo naksir Juna!" tanya Sania kemudian dengan cepat. Mendengar pertanyaan itu membuat Riri terbatuk dan menatap Sania kaget. "Apa sih?! gw gak naksir Juna. Gw gak lagi naksir siapa-siapa!" "Serius?" "Serius." "Pokoknya lo gak boleh naksir Juna ya, Ri." Riri menatap Sania sesaat lalu ia menghembuskan napasnya pelan, "Iya, lo tenang aja. Gw lagi gak naksir siapa-siapa kok saat ini. Gw juga gak bakal naksir Juna, pokoknya lo tenang aja." jawab Riri tersenyum pada teman dekatnya itu. * Riri berjalan menuju ruang tempat menyimpan boneka peraga untuk pelajaran Biologi. Dengan susah payah Riri berusaha membawa dua boneka peraga dan beberapa buku cetak. "Ngapain lo Ri?" tanya Juna yang datang tiba-tiba dari belakang nya. "Astaga Juna! lo ngagetin gw! Juna terkekeh sambil meminta maaf, lalu dengan cepat ia mengambil kedua boneka peraga dari tangan Riri. " Eh, Jun, kok lo yang bawa? itu mau gw pake di kelas gw loh. Kalau lo butuh, lo ambil sendiri aja." "Ini gw bawain buat lo. Kelas gw lagi jam kosong. Udah buruan jalan, kelas Biologi lo yang ngajar Pak Eko kan? beliau rese kalau kita terlalu lama ngambil perlatan." ucapnya. Pemuda itu berjalan lebih dulu di depan Riri, Riri menatap sejenak punggung Juna lalu ikut berjalan di samping nya. Gw gak boleh naksir Juna! *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN