Rio Pov
"Gue denger dari Jojo kalau lo tertarik sama klub gw, jadi gw mau ajak lo untuk gabung. Gimana?" tanya Gw semangat.
"Gue emang tertarik sih sama klub sepak takraw tapi gw kan belum tentu cocok juga sama olahraga nya."
"Lo boleh coba gabung dulu selama seminggu atau dua minggu. Kalau lo semakin tertarik, lo boleh banget langsung gabung permanen tapi kalau menurut lo gak sesuai sama ekspetasi lo, lo boleh keluar saat itu juga. Gimana? tertarik untuk gabung?" tanya gw lagi.
Gw harus bisa narik dia ke klub!
Genta mengangguk, "Oke lah, gw coba gabung."
"Klub sepak takraw latihan hampir setiap hari, kecuali minggu sih. Untuk sabtu kadang kita latihan kadang libur."
Gw pun mulai menjelaskan kegiatan sepak takraw pada Genta dengan berapi-api hingga Juna datang bergabung bersama kami.
"Jadi ini anggota tim baru kita? Kenalin, gw Juna. Gw temen sekelasnya Radi."
"Genta."
"Oh iya ngomong-ngomong selesai latihan nanti kita ke tempat Alvan dulu. Gw mau ngasih lembar print out latihan kita ke dia sekalian kenalin anggota baru kita juga." ucap gw.
"Oke."
*
"Oke, untuk latihan hari ini cukup sampai di sini aja. Genta, kalau lo ngerasa kesulitan, lo boleh banget minta tolong ke gw atau Haqi atau juga ke Juna dan Radi."
"Untuk sekarang gw masih bisa ngikutin."
"Sip. Kalau gitu kita ganti baju terus kita ke tempat Alvan."
-Rio Pov end-
*
-Juna Pov-
Selesai berganti baju, mendadak Rio tidak bisa ikut pergi bersama. Si Rio bilang kalau dia nyusul nanti setelah urusannya selesai, entah urusan apa.
Kami semua pun pergi menuju tempat Pak Alvan bersama, untung nya Kak Haqi tidak ikut pergi kalau tidak kami pasti bakal canggung untuk pergi ke tempat Pak Alvan tanpa Rio atau Kak Haqi.
Saat di pertengahan jalan, tiba-tiba Kak Haqi berhenti. Tentu saja hal itu juga membuat kami semua berhenti, aku mengerutkan kening ku melihat Kak Haqi berhenti mendadak.
Aku melihat ke depan, ada tiga orang yang juga sedang memperhatikan kami. Dari seragam sekolahnya, aku bisa memastikan jika itu seragam sekolah elit yang tidak jauh dari sini.
Kenapa mereka ngeliatin begitu ya?
"Yo Qi, lama gak ketemu." sapa salah satu dari ketiga orang itu yang mendekati kami lebih dulu.
Entah kenapa Kak Haqi tidak membalas sapaan itu, tatapan Kak Haqi justru terus tertuju pada pemuda yang berdiri di tengah.
"Masih sinis aja lo. Gimana nih, Putra? temen lo masih aja sombongnya." ejek pemuda itu lagi.
"Qi, lama gak ketemu. Tumben lo gak sama Rio?" tanya pemuda yang di tengah itu.
"Gak usah lo cari-cari lo. Pengkhianat." jawab Kak Haqi dingin.
"Ya ampun, Qi. Lo masih marah sama gw cuma karena hal sepele itu?" tanya nya tidak mengerti.
"Sepele? kalau bukan karena lo, Rio pasti sudah jadi pemain nasional!"
"Lo masih nyalahin gw tentang hal itu?! hal konyol kaya gitu?!" pemuda itu balik bertanya tidak kalah dinginnya dengan Kak Haqi.
"Lo bilang hal konyol?! yang bener aja lah!" maki Haqi pada Putra dengan penuh kekesalan.
Aku, Genta dan Radi hanya bisa saling tatap tanpa bisa berbuat apapun. Pasalnya mereka sendiri pun tidak tahu masalah apa yang tengah berada di antara mereka.
"Dengerin gue dulu, Qi!" ucap Putra mencoba menahan diri.
"Hmm... gimana kalau kita bicara di tempat lain?" tanya Rad memberanikan diri.
"Nggak, gue mau pulang. Dan lu Putra, jangan sekali-kali lu nongol di depan Rio, kasih tahu juga tuh temen lu yang b*ng*at itu."
Wow aku cuma bisa ngomong wow karena baru kali ini melihat Kak Haqi berkata seperti itu, yang aku tahu semarah dan segalak apapun Kak Haqi, dia nggak akan mengeluarkan kata u*****n seperti itu depan orangnya langsung.
Dan setelah berkata seperti itu Kak Haqi benar-benar pergi meninggalkan mereka juga kami. Kami bertiga pun kembali saling berpandangan dan menatap Putra yang melihat sosok Kak Haqi yang semakin menjauh dengan sedih.
"Kak... sebenarnya ada apa ya?" tanya ku dengan hati-hati. Walaupun penasaran dengan masalah mereka tetapi aku juga tidak ingin terlihat kepo.
Kak Putra hanya tersenyum sedih lalu menepuk punggung Radi yang berdiri di sebelahnya.
"Kalian bertiga nggak perlu tahu. Sorry ya bikin gaduh, gue cabut dulu." lalu Kak Putra bersama teman-teman nya pun pergi dengan lesu.
"Menurut kalian mereka ada masalah apa ya?"
"Cinta segitiga kali." jawab Radi asal.
"Hah?"
"Kalian tahu kan seberapa deket Kak Haqi sama Kak Rio, dan kalian tadi denger sendiri kalau Kak Putra nggak boleh ketemu Kak Rio."
Aku dan Genta terdiam yang justru membuat Radi panik, "Gue cuma becanda elah!"
Sementara Genta menggeplak kepala Radi, aku melihat jalan yang tadi di lalui Kak Haqi.
Sebenarnya ada apa ya?
"Emmm... Gaes, jadi kita gak ketempat Pak Alvan nih?"
*
"Hooaaaammm. A*u gue masih ngantuk." aku kembali menguap sambil berjalan menuju gerbang sekolah yang mulai ramai dengan siswa-siswa yang datang.
"Juna!"
Aku berhenti berjalan dan menengok kebelakang mendengar Kak Haqi memanggil namanya.
"Pagi Kak." sapa ku.
"Pagi. Jun, gue mau minta tolong."
"Hm? minta tolong apa kak?"
"Tolong lu jangan kasih tahu Rio kalau kemarin kita ketemu Putra."
"Kenapa?"
Kak Haqi tidak menjawab pertanyaan Juna karena tiba-tiba Rio sudah menubruk dan melingkarkan tanganya di bahu Haqi dan Juna.
"Yo! Pagi kalian berdua. Kalian tega kemarin gak dateng ke tempat Alvan! Gw kena semprot niihh."
"Hm." jawab Kak Haqi.
Aku menatap Kak Haqi sebagai tanda meminta jawaban yang sebelumnya tetapi sepertinya kakak kelas ku yang satu itu tidak ingin menjawabnya.
"Lu kenapa, Jun? mules?"
"Hah?"
"Itu kenapa lu diem aja? seenggaknya jawab kek kaya Haqi."
"Emang tadi kak Haqi jawab?"
"Jawab."
"'Hm' tadi itu jawaban?"
"Iya. Itu jawaban terbaik dari seorang Haqi. Betul begitu sodara Haqi?"
"Hm."
Aku menatap terperangah pada kedua kakak kelas ku yang absurd ini.
"Serah dah."
Kami pun berjalan menuju gedung sekolah, dan berpisah di koridor. Dimana kelas Kak Haqi dan Rio di atas sedangkan kelas Juna di lantai satu.
Aku berjalan menyusuri lorong yang ramai menuju kelasku, begitu memasuki kelas rupanya Radi sudah datang lebih dahulu.
"Tumben kalian berdua sudah dateng."
"Gue belum bikin PR matematika, nyong. Makanya mau nyontek."
"Dih, kirain insaf lu pada."
Aku menaruh tas ku di kursi dan duduk menghadap ke belakang dimana Haikal dan Radi tengah serius menyalin PR dari Diki.
"Eh tadi gue ketemu Kak Haqi di gerbang."
"Ya ketemulah, orang kita satu sekolah." jawab Radi asal.
Dengan kesal aku memukul kepala Radi dengan buku yang ada di sebelahku.
"Diem dulu ngapa, gue mau cerita nih."
"Lanjut."
Aku memutar mataku jengah, nih anak nggak bisa di ajak ngobrol serius apa?
"Tadi gue ketemu kak Haqi kan tuh di gerbang, trus masa tadi dia bilang 'Jun, tolong jangan kasih tahu Rio kalau kemarin kita ketemu Putra ya', gitu." kataku sambil menirukan ucapan kak Haqi tadi.
"Hah? kenapa?" kali ini Haikal yang bertanya dengan heran.
Aku hanya mengedikan bahu ku, "enggak tahu, waktu gue tanya kenapa malah gak di jawab terus si Rio keburu dateng dan ya udah."
"Kok semakin mencurigakan ya?"
"Gue juga nggak ngerti."
"Kira-kira Pak Alvan tahu nggak ya permasalah ini?" tanya Radi kembali.
Dan lagi aku hanya menggelengkan kepala ku sebagai jawaban tidak tahu.
"Gimana kalau kita tanya Pak Alvan begitu doi masuk?"
"Setuju." jawab Rendi singkat.
Selama pelajaran aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi karena memikirkan permasalahan kemarin. Aku mengetuk-ngetuk pulpen yang sedang ku pegang sambil melamun hingga tiba-tiba...,
"Juna, maju ke depan dan kerjakan soal nomor 5."
Mampus gue!
*
"Juun! ada yang nyariin lo!"
"Juna budeg! ada yang nyariin lu!" teriak Saipul dari pintu kelas.
"Ya yang jelas su! Arjun juga panggilannya jun!" jawab ku kesal.
"Makanya punya nama jangan pasaran."
"Bangke!"
Aku mendekat ke arah pintu dan melihat Sania tengah berdiri sambil membawa sesuatu, "Kenapa, San?"
"Ini print out yang kemarin lu minta." Sania menyerahkan beberapa lembar print out pada ku.
"Wiihh, ini yang kisi-kisi ujian itu kan? Thanks banget San!"
"Ngomong-ngomong katanya klub sepak takraw udah punya pelatih ya?"
"Yoi, soalnya gue sama anak-anak mau coba ikut turnamen sepak takraw jadi ketua klub gw getol banget nyari pelatih. Klub basket putri juga bakal ikut pertandingan kan?"
Sania mengangguk semangat, "Iya dong, dan kita optimis banget buat menang."
"Harus dong itu."
"Ya udah, gue cuma mau nyerahin itu aja. Gue balik kelas dulu ya, dah!"
Aku kembali masuk dan duduk di bangku ku, "Sania ngasih apaan?" tanya Radi.
"Kisi-kisi soal?"
"Kisi-kisi soal apa? soal perasaan?" celetuk Radi.
"Bukan lah, kisi-kisi soal ujian."
"Kita baru aja kelas satu dan lu udah mikir soal ujian? bukan maen."
"Kantin yuk? laper nih." ajak Radi yang tentu saja aku angguki.
"Wah, si ku*yuk udah ada di kantin aja." ucap Radi saat melihat Haikal sedang duduk manis menyantap bakso. Kami berdua pun menghampiri Haikal dan duduk di bangku depannya yang kosong.
"Parah lu nggak ngajak-ngajak."
"Sorry, gue laper banget soalnya."
"Lu mau pesen apa, Di?" tanya ku pada Radi sambil mengusap perutku yang sudah berbunyi minta di beri makan.
"Tolong pesenin gue baso dong, minumnya air putih dinginnya."
Aku mengangguk dan berdiri dari sana untuk memesan pesanan Radi pada bibi penjual baso, sedangkan aku memilih membeli satu porsi ketoprak. Satu hal yang aku syukuri masuk ke sekolah ini adalah kantinnya yang super lengkap dengan jajanan apapun, dari makanan ringan hingga berat, belum lagi harganya yang memang murah khusus pelajar.
"Yo, Jun!" panggil Rio pada ku, di tanganya ia memegang nampan berisi soto dan jus jeruk.
"Gue gabung di meja lu ya?"
"Boleh, tuh meja gue di sana. Pak, nanti tolong anter ke meja sana ya?" pesan ku pada penjual ketoprak itu yang kemudian di angguki oleh beliau.
"Loh, gak sama kak Haqi?" tanya Radi pada Rio begitu kami kembali bergabung di meja.
"Haqi ada urusan di kantor OSIS, gue laper jadi gue duluan ke sini."
Aku, Radi juga Haikal hanya berooh ria mendengar jawaban Rio.
*