Tujuh

1110 Kata
Setelah memikirkan nya seharian, besoknya aku menemui Rio dan Kak Haqi untuk ikut bergabung ke tim sepak takraw mereka. "Baiklah, sesuai dengan apa yang sudah di sepakati. Gue bakal gabung di klub sepak takraw ini, tapi dengan syarat yang sudah di setujui oleh Rio dan Kak Haqi kalau kalian tidak akan memaksa gue untuk bisa menguasai permainan ini dalam waktu dekat." tegas ku sambil melihat Rio, Kak Haqi juga Radi yang duduk di depannya. Saat ini kami sedang berada di ruang klub sepak takraw yang terletak di paling pojok. Rio lalu berdiri dan ikut berbicara di samping ku, "Karena kita sudah mendapatkan dua anggota baru, kita masih memerlukan dua orang lagi agar bisa mengikuti lomba sepak takraw antar sekolah." Aku yang kaget langsung menatap Rio dengan cepat, "Hah? lomba? kapan?" "tiga bulan lagi, tenang saja. Aku akan membuat mu mahir dalam permainan ini hanya dalam waktu tiga minggu." jawab Rio sambil tersenyum lebar dengan entengnya. "Gundul mu! kan gue udah bilang syarat gue mau gabung ke klub ini adalah dengan tidak memaksa gue untuk belajar! kalau gini kan lo udah melanggar apa yang kita sepakati!" "Kapan gue bilang bakal maksa lo? gue kan bilang bakal ngelatih lo, dan dengan kemampuan gue juga Haqi, terutama karena lo juga udah punya skill dalam kelenturan jadi kita pasti bisa bikin lo menguasai permainan ini dengan lebih mudah." "Lu s***p emang, lu pikir gue saitama yang langsung mahir main cuma dalem sebulan? saitama aja butuh latihan berbulan-bulan sampai dia botak." ucap ku dengan sangat kesal. "Lu gak akan botak kok." "Lah ya emang, selain gue ogah jadi botak yang jadi poin gue kan bukan itu, nyuk." Rio mengibaskan tangannya tidak peduli, "Udah lu tenang aja, gue yang akan buat menu latihan, biar lu mahir main sepak takraw." Aku hanya bisa diam tanpa bisa berkata apa-apa lagi dan melihat seniornya pergi keluar dari ruangan klub dengan santai. Aku memikirkan perkataan Rio selama sisa kelas berlangsung, dan benar-benar tidak menyangka jika senior edan nya itu sudah memutuskan untuk mengikutkan serta Juna dalam pertandingan antar sekolah nanti. Ia masih bisa maklum jika dirinya hanya sebagai pemain cadangan dan duduk di bangku mengamati dan mempelajari hal-hal lainnya. Tetapi bermain langsung? hal positif nya adalah ia akan mudah mengerti jika ikut bermain secara langsung, negatif nya dan ia akan mempermalukan dirinya sendiri juga sekolahnya. "Haaaa...." "Lu jangan kaya kakek-kakek yang lagi banyak pikiran gitu lah." ucap sepupu ku Tio yang sedang mampir main ke rumah ku, lebih tepatnya untuk numpang makan siang setiap kali tidak ada orang di rumahnya. "Lu ngapa sih? Ada masalah hidup apa lu sampai ngela napas gitu? percintaan? emang ada yang mau sama lu?" pria itu terkekeh dengan ucapannya sendiri. Aku melemparkan bantal dengan penuh napsu ke arah Tio. "Bangsul! Lagian lu ngapain sih di kamar gue? sana keluar!" usir ku pada sepupu tidak tahu diriku ini. "Dih sensi. Gue kan cuma mau jadi sepupu yang baik buat lu. Kaya berat banget hidup lu sampai ngela napas terus-terusan gitu." "Gue tuh lagi pusing. Gegana, galau dan merana." "Ape sih yang bikin sepupu Tio yang paling jelek eh paling ganteng ini merana? cewek kecengan lu di embat orang?" tanya Tio usil Aku berdecak kesal, isi otak di kepala Tio itu sepertinya hanya masalah cewek, cewek, dan cewek. "Ini bukan karena cewek, nyet. Ini masalah ketua klub gue." "Ketua klub lu? lu ikut ekskul apaan di sekolah? pencak silat juga?" Aku menggeleng pelan, "Gue gabung ke klub sepak takraw." "Sepak takraw? emang lu bisa main sepak takraw?" Aku langsung bangun dari posisi tidur dan duduk di sebelah Tio yang tengah duduk di pinggir kasur sembari memainkan PS 4 milik ku. "Nah! itu dia masalahnya, gue sama sekali gak tahu tentang olahraga itu!" Tio mengerutkan keningnya dan menatap Juna sekilas sebelum kembali berkonsentrasi pada permainan gamenya. "Lah? kalau lu gak ngerti sama sekali ngapain lu ikut gabung?" "Gue udah berkali-kali nolak, tapi kakak kelas gue ini keras kepala banget deh pokoknya." "Kakak kelas lu cewek?" "Cowok." balas ku cepat. Tio menghentikan permainannya sebentar lalu kembali melirik Juna, "Lu... gak belok kan?" tanya takut-takut, dan bukannya tersinggung aku malah langsung memukul kepalanya kembali dengan bantal beberapa kali. "Gue normal, su!" "Ya terus ngapain kakel lu begitu? kakel lu bocah prik?" ucapnya sambil mengatakan kata-kata yang sering di ucapkan orang-orang di internet akhir-akhir ini. "Mungkin." jawab ku malas. Aku kembali membaringkan tubuhku di kasur sambil menatap langit-langit kamar ku yang cukup luas itu. "Lu tau kan kalau di SMA ini gue mau masuk klub yang ga ada hubungannya sama pencak silat ataupun klub bela diri lainnya. Gue mau nyobain ekskul yang lain. Basket kek, musik kek, apa gitu. Tapi nih kakak kelas keukeuh banget buat gue gabung. Lu pasti gak percaya deh, ini nih mereka, kedua kakel gue ini sampai mau bikin proposal tebel untuk memberitahu sebagus apa sepak takraw itu dengan teramat DETAILLLLL." ucap ku penuh dengan penekanan di kalimat terakhir itu, membuat Tio tertawa terpingkal. "Ya Ampun, gue gak tahu masa SMA lu seasik itu. Di sekolah gue malah biasa-biasa aja." "Ini bukan masalah biasa-biasa aja, nyong. Gue akhirnya memutuskan untuk ikut trial sekalian gue nyoba hal baru ya kan, dan lu tau apa yang terjadi setelah gue meng-iyakan keputusan gue buat gabung?" Tio menggelengkan kepalanya, tanpa menjawab apa-apa. "Dia bilang, 'Kita akan ikut perlombaan sepak takraw antar sekolah tiga bulan lagi." ujar ku sambil memperagakan ucapan Rio di sekolah tadi. Tio kembali tertawa kini lebih keras hingga ia harus kembali mem-pause permainannya. "Bukannya itu bagus ya? lu bahkan bisa mengamatinya secara langsung, dan langsung merasakan aura pertandingannya kan?" "Entah lah, Yo. Gue bukannya pesimis kalau gue gak akan bisa, tapi langsung mengikuti pertandingan itu bukannya keputusan yang kurang bijak ya? Bagaimanapun gue benar-benar awam sama permainan ini." "Kalau menurut gue ya, gak mungkin kakel lu asal ngikutin lu di pertandingan kalau merasa lu gak punya potensi apa-apa. Dengan di ikutkan nya lu di pertandingan itu bukankah itu artinya dia memiliki keyakinan untuk bisa menang dengan kemampuan mu? Gue yakin kok keputusan itu pun pasti sudah di pikirkan matang-matang tentang plus dan minusnya. Mau apapun hasilnya bukankah itu hanya bonus?" Aku terdiam sesaat menyesapi perkataan Tio, apa yang di katakan Tio memang ada benarnya, Rio dan Kak Haqi pasti sudah memikirkan ini matang-matang terlebih dahulu. "Gue cuma takut mempermalukan sekolah, Yo. Gue juga gak mau bikin kakel gue itu kecewa juga." Tio kembali menjalankan permainan gamenya, "Yah, itu balik lagi ke lu sih. Lu punya hak untuk menolaknya. Tapi gue yakin sih kalaupun lu ikut dan ternyata hasilnya tidak seperti yang mereka duga, mereka pasti gak akan pernah nyalahin lu. Karena dalam permainan kan cuma ada 2, kalah dan menang. Tinggal lu pilih mau maju atau mundur?" *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN