Suara jerit alarm tanda pukul 6 pagi terdengar nyaring di samping tempat tidur ku. Dengan mata masih terpejam aku meraba nakas meja yang tidak begitu jauh dari jangkauan tangan ku untuk mematikan alarm yang masih terus menjerit itu. Alih-alih aku menemukan alarm itu, sebuah tangan mengeplak kepalaku dan bertengger di sana.
Bangke banget nih bocah satu.
Radi yang kemarin main ke rumah memilih untuk menginap dan akhirnya tertidur di kamar ku karena ke asik kan bermain PS.
"Junnaaaaa! Radiiii! Sudah pagi! kalian mau sekolah tidak sih???!!" teriak ibunda ratu ku tercinta. Kalau ibu-ibu lain memperlakukan anaknya dengan manis di depan teman anaknya, tidak dengan ibu ku yang cantik itu. Dia akan tetap mengomel bahkan jika ada teman ku di sana.
Dengan kekuatan yang tidak penuh aku menggeser tangan Radi dari kepalaku dan bergegas bangun sebelum nyonya rumah kembali berteriak. Lagipula ini kesempatan ku untuk mandi lebih dulu dari pada Radi. Walaupun laki-laki entah kenapa jika sudah berhubungan dengan mandi, Radi bisa sangat lama. Entah apa yang di lakukan nya di dalam sana.
Aku mengambil handuk lalu berjalan gontai ke arah kamar mandi, begitu air dingin mulai membasahi ku. Rasa segar langsung terasa hingga nyawaku penuh kembali. Tidak butuh waktu lama untuk mandi dan mengenakan pakaian seragam ku. Aku berdecak saat melihat Radi masih mengorok di atas tempat tidur. Kalau dia tidak di bangunkan sekarang, dia bisa telat ke sekolahnya karena sekolah Radi dari rumah ku terbilang cukup jauh.
"Rad! Radi! bangun woi. Udah pagi ini. Lu mau bolos? Woi! ah elah kebluk banget lu kaya kebo!" aku mengguncangkan tubuh Radi lebih kencang lagi.
"Apa sih mih! masih ngantuk niiih."
"Gue bukan emak lu, nyet! Bangun woi! Radi!"
Karena kesal aku memilih meninggalkan Radi yang masih tertidur. Biar saja dia terlambat toh dari tadi sudah di bangunkan. Aku berjalan santai menuju ruang makan yang berada di lantai satu dengan tas yang sudah bertengger di bahu ku.
"Pagi wahai penghuni rumah ku tercinta!" sapa ku pada orang tua ku.
"Mana kakak?" tanya ku karena tidak melihat kakak perempuan ku di sana.
"Dia sudah pergi pagi-pagi tadi. Katanya ada urusan. Mana Radi? kenapa tidak turun bareng?" mamah cantik ku bertanya sambil memberikan segelas s**u untuk yang tidak pernah ia lewatkan.
"Masih molor. Susah banget tuh anak di bangunin. Kaya kebo banget kalau udah tidur." adu ku lalu meminum segelas s**u yang di berikan mamah.
"Yaa ampuun! Sudah jam berapa ini? dia bisa telat. Biar mamah yang bangunin."
Setelah berkata seperti itu beliau langsung pergi ke kamar ku dimana Radi masih tertidur.
Aku hanya terkekeh sambil mengambil nasi goreng yang sudah di siapkan mamah dan Mbok Nem.
"Minggu nanti kamu ke padepokan?" tanya Papah sambil menyendok kan nasi goreng ke mulutnya.
"Juna usahain Pah. Juna baru gabung ke ekskul jadi kalau gak ada latihan, Juna mampir ke sana. Sekalian ngomong sama staff sana kalau Juna mungkin bakal nyerahin kepengurusan sama Mas Satria." jawab ku sambil ikut melahap nasi goreng bikinan mamah dengan lahap.
"Ekskul? kamu ikut ekskul apa di sekolah? pencak silat juga?"
Walaupun papah bukan tipe orang tua yang dingin terhadap anaknya namun karena pekerjaannya beliau jarang berinteraksi dengan putranya yang tidak lain adalah aku. Papah hanya tahu informasi tentang ku dari cerita mamah, aku bukannya tidak ingin dekat dengan papah tapi seperti yang ku bilang tadi papah lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor dan kalau libur beliau memilih istirahat, dan aku tidak terlalu memikirkannya karena yang penting aku tahu ayah ku ini menyayangi keluarga nya, menyayangi aku, kakakku dan mamah dengan caranya.
Aku menggeleng menjawab pertanyaan papah, "Juna udah bertekad untuk tidak ikut ekskul beladiri Pah, bosen."
Papah sedikit terkekeh mendengar jawaban ku. "Terus jadi kamu ikut ekskul apa? dan kamu yakin mau menyerahkan kepengurusan sama Satria?" tanya papah lagi.
Kali ini aku mengangguk, "Aku yakin Pah, lagian dengan aku masuk SMA pasti tugas sekolah ku lebih banyak. Belum lagi bukan kah aku juga sudah harus memikirkan dimana aku akan kuliah nanti?"
Papah menghabiskan segelas air putihnya sebelum menjawab ku. "Kau benar, utamakan dulu tugas sekolah mu dan mengenai kuliah, pikirkan saja pelan-pelan, kau kan baru saja masuk SMA, nikmatilah dulu masa SMA mu. Kau juga belum menjawab pertanyaan papah, kau masuk ekskul apa?"
"Ekskul sepak takraw." jawabku sambil memasukan sendok terakhir nasi goreng dari piring ku.
"Sepak takraw? memang kau tahu olahraga itu??" tanya papah tidak percaya. Jangankan Juna, ia sendiri tidak terlalu tahu jenis permainan olahraga tersebut.
Aku menggelengkan kepalaku sambil meminum segelas air putih yang sudah ada di samping piring ku.
"Juna saja baru tahu kok. Juna di pak- uhum! maksud Juna, Juna di ajak bergabung karena klub mereka lagi kekurangan anggota gitu deh dan terancam untuk di bubarkan sama pihak sekolah karena tidak memiliki cukup banyak anggota. Tadinya Juna juga udah nolak kok tapi kakak kelas juna ini keras kepala sampai bikin Juna kesel. Terus akhirnya beberapa hari lalu Juna di ajak ke salah satu pertandingan Sepak takraw di daerah mana gitu Juna lupa ternyata cukup menarik. Jadi yah Juna coba aja gabung, gak ada salahnya juga kan nyoba hal baru yang belum pernah kita coba bahkan baru tahu." jawab ku panjang lebar.
Papah hanya mengangguk. "Lalu seperti apa permainannya? yang papah tahu permainan itu hanya menggunakan kaki."
"Hanya menggunakan kaki dan bolanya terbuat dari rotan, mungkin hanya sebesar bola tenis tapi lebih besar sedikit."
"Sepertinya memang menarik. Melihat mu bercerita seperti ini mengingat papah saat kau juga pertama kali tertarik dengan pencak silat karena menganggap kalau kakek mu keren." ujar papah sambil tertawa mengingat hal tersebut.
"Lakukan apa yang membuat mu tertarik Juna, apapun itu. Selama hal itu tidak merugikan dirimu atau orang banyak, papah pasti akan selalu mendukung mu."
Aku mengangguk mantap sambil tersenyum lebar, dan tepat saat itu juga akhirnya Radi turun dengan wajah bantalnya walaupun sudah mengenakan seragam.
Mamah berjalan di belakang Radi sambil mengomel panjang lebar, inilah nyonya cantik di rumah ini tidak pandang bulu siapa yang di omelinya.
Papah berdiri dan menepuk pundak ku sebelum berjalan ke arah mamah untuk pamit lebih dulu karena sudah waktunya pergi ke kantor.
Aku pun ikut bergegas bangun saat melihat jam tangan ku sudah menyentuh pukul setengah tujuh pagi. Aku pun berjalan menghampiri mamah untuk pamit.
"Mah, Juna pamit sekolah dulu." ucap ku sambil mencium tangan mamah.
"Hati-hati jangan mengebut di jalan."
"Oke! Buruan lu Rad, ntar guru killer lu ngamuk!" teriak ku pada Radi yang hanya di balas dengan jari tengah tentu saja mamah langsung menjewer kuping Radi karena tingkahnya itu.
"Aduh... aduuuh.. maaf tante!"
Radi mengaduh kesakitan saat mendapatkan jeweran dari Mamah.
"Jangan ulangi lagi. Gak baik." tegur Mamah.
"Oke, siap, Tan!"
Setelah berkata seperti itu, Radi pun ikut mencium tangan Mamah, lalu aku juga Radi langsung bergegas untuk segera pergi ke sekolah.
*