Sepuluh

1157 Kata
Aku hanya bisa terdiam sambil menganga melihat kertas tebal yang di berikan Rio padaku juga Radi, "Lo gak salah ngasih kertas? ini bukan kertas tugas lo?" tanya ku yang masih berharap kalau Rio salah membawa kertas untuk mereka berdua. Dan harapannya pupus sudah saat melihat Rio menggeleng dengan wajah seriusnya. "Nope, itu adalah hal dasar yang harus kalian pelajari sebelum kita memulai latihan secara langsung besok." jawab Rio sambil meletakkan tangannya di pinggang. "Terutama lo Juna, karena lo benar-benar pemula, kau harus mempelajarinya dengan baik." "Kenapa kita tidak latihan mulai hari ini aja?" tanya Radi sambil melihat-lihat kertas itu tanpa minat sama sekali. Yah lagian siapa juga yang akan minat membaca kertas setebal ini? Rio menggelengkan kepalanya, "Gue masih membujuk seseorang yang akan menjadi pelatih kita. Kalau sampai hari ini gue masih tidak bisa meyakinkannya, kita akan mulai tanpa beliau." "Pelatih? apa pelatihnya bukan salah satu dari guru olahraga kita?" tanya ku penasaran. "Tidak, beberapa olahraga seperti basket juga voli juga memiliki pelatih mereka sendiri di luar guru olahraga sekolah kita. Para guru hanya menjadi penanggung jawab klub sekolah. "Heeee, gue baru tahu. Terus penanggung jawab klub kita siapa?" tanya ku lagi. "Sebelumnya penanggung jawab klub kita pak Idris, tapi karena sampai semester lalu hanya ada aku dan Haqi beliau mengundurkan diri dan meminta klub kami untuk bubar, karena aku bersikeras untuk tidak mau membubarkan klub akhirnya pak Idris memberi syarat beliau akan kembali menjadi penanggung jawab kalau aku berhasil menambah anggota. Kita hanya perlu satu atau dua anggota lagi baru pak Idris akan setuju untuk kembali menjadi penanggung jawab." jelas Rio panjang lebar. "Untuk sementara kita akan latihan dengan formasi yang ada saja. Mulai besok kita akan latihan di aula olahraga, aku sudah meminta sedikit tempat pada klub basket dan voli." lanjut Rio. Karena gedung sekolah hanya memiliki satu aula indoor, jadi biasanya klub olahraga akan bergantian memakainya. Karena klub mereka baru saja terbentuk tentu saja mereka tidak bisa seenaknya memakai gedung olahraga indoor ini semaunya, walaupun tidak ada peraturan seperti itu dari pihak sekolah tapi itu menjadi peraturan tidak tertulis untuk para anggota klub. "Ya udah, gue cuma mau memberikan booklet itu pada kalian. Pelajari lah dasar-dasarnya, baik dari peraturan hingga teknik yang biasanya di gunakan untuk pemula. Nah kita akan bertemu lagi besok sepulang sekolah." Aku berjalan kembali ke kelas dengan membaca tulisan-tulisan yang ada di booklet itu. "Gue gak nyangka bakal setebel ini." ucap Radi yang berjalan di sebelah ku. "Lo aja gak nyangka apalagi gue. Gua aja bahkan masih ragu apakah gue bener-bener mau gabung atau enggak." aku menutup booklet itu. "Gue sih emang tertarik sama sepak takraw cukup lama, tapi baru merasa ingin ikut bermain ya akhir-akhir ini saja. Sama seperti lo, gue juga masih gak terlalu yakin, apalagi waktu Rio bilang kita akan ikut pertandingan antar sekolah. Makin gak yakin gue." lalu pemuda itu memasukan tangannya yang bebas ke dalam kantong celananya. "Tapi waktu gue mau nolak gue mikir lagi, kalau bukan sekarang kayaknya gue gak akan punya kesempatan lagi untuk ikutan." lanjutnya. Aku terus berjalan sambil memikirkannya, benar apa yang di katakan Radi kalau tidak sekarang kapan lagi ia bisa mencoba hal yang baru seperti ini? bukan kah aku yang menginginkan untuk tidak bergabung di klub beladiri mana pun begitu masuk SMA karena ingin mencoba hal yang baru? kenapa sekarang ia harus merasa ragu begitu kesempatan ini datang. "Gue duluan, Jun. Gue mau ke perpustakaan bentar" katanya sambil berbelok ke arah arah yang berlawanan dengan kelas kami. * "Lo mau mampir kemana habis ini?" tanya Haikal sambil memasukan bukunya ke dalam tas. "Gue mau mampir ke toko kue temennya kakak gue, katanya dia udah pesen kue dan minta gue buat ambilin." jawab ku. "Emang Mbak lo belum balik?" "Ada klien dadakan katanya jadi minta tolong gue buat ambil. Lo mau ikut? sekalian mampir ke rumah gue." Haikal menggeleng, "Gak, gue skip deh. Gue ada janji sama senior klub gue." Aku dan Haikal pun hanya berjalan bersama sampai tikungan koridor, Haikal pergi ke kanan sedangkan aku berjalan lurus menuju motor para siswa terparkir. "Tumben lo balik sendiri, Jun." sapa Agnes teman sekelas ku. "Haikal lagi sok sibuk soalnya." jawab ku asal yang membuat gadis itu tertawa. Kami mengobrol sebentar sambil menolongnya mengeluarkan motor miliknya yang tertutup motor lain di belakangnya. "Makasih, Jun. Gue duluan ya!" "Yo! ati-ati lo!" Aku pun segera menaiki motor ku menuju toko kue yang di maksud kakak ku sebelum terlalu sore. Letak toko kue dari sekolah ternyata cukup jauh, butuh tiga puluh menit untuk sampai kemari. Aku memarkirkan motor matic ku di salah satu celah tempat parkir yang tersisa. Melihat banyaknya mobil juga motor yang terparkir sepertinya toko ini menerima makan di tempat. Aku berjalan masuk ke dalam toko tersebut yang ternyata cukup ramai, setelah mengeluarkan kertas bukti pengambilan pesanan yang sudah di kirimkan mbak Nia di w******p tadi, aku segera menuju kasir dimana salah seorang karyawan tokonya berada. Aku pun menunjukkan bukti nota pengambilan padanya. "Pesanannya masih di siapkan, tolong tunggu sebentar." Aku mengangguk sambil tersenyum sopan dan duduk di salah satu barisan kursi yang di sediakan untuk menunggu. "Lo Juna kan?" sapa seseorang. Aku yang merasa nama ku di panggil mengangkat kepalaku dari layar ponsel, seorang pemuda yang seumuran dengan ku namun dengan seragam sekolah yang berbeda tengah menatap ke arah ku dengan senyum tengilnya. Aku langsung mengeluarkan wajah tidak suka ku saat melihat siapa yang menyapanya barusan. "Gue kira siapa yang manggil gue, ternyata lo Dio." "Masih jutek aja lo sama gue." ucapnya sambil terkekeh. Sikapnya yang selalu sombong dan seenaknya sendiri itu selalu berhasil membuat ku kesal setengah mati. Juga perkataannya yang membuat siapapun bisa sakit hati mendengarnya. "Gue kira karena lo jadi juara pertama pertandingan, lo bakal milih sekolah bergengsi. Ternyata lo malah pilih sekolah yang biasa aja." "Mau gue sekolah dimana aja kayanya gak ada urusannya sama lo deh." jawab mu ketus. "Santai men, gue cuma nyayangi aja. Jadi lo masih ikut apa itu namanya? pecel lele?" tanyanya meremehkan. "Pencak silat." jawabku lagi kali ini sambil menahan diri agar tidak membuat keributan di tempat umum seperti ini. Dio menjentikkan tangannya seolah seperti baru mendengar nama tersebut. "Iya, itu maksud gue." Untungnya sebelum si Dio ini membuka mulutnya, penjaga kasir yang tadi menyiapkan kue pesanannya memanggil nama ku untuk menyerahkan kue tersebut dan tanpa berkata apapun, aku segera meninggalkan Dio begitu kuenya sudah aku ambil. Males kali berhubungan lagi sama si kunyuk satu itu. Aku yang hampir saja meninggalkan toko kue tersebut, motor ku di tahan oleh Dio yang sudah berhasil mengejar sampai keluar. "Ck! Lo ngapain nahan-nahan motor gue. Lo mau ribut ama gue?" tanya ku mulai kesal dengan tingkahnya. Lagi-lagi Dio hanya terkekeh. "Gue cuma mau mastiin. Lo kenal sama yang namanya Rio?" "Rio? rio siapa? lo pikir yang namanya Rio cuma satu?" Dio hanya mengangkat bahunya dan tanpa mengatakan apapun lagi, ia melepaskan tangan nya dari motor ku. Karena aku juga tidak mau berada di dekatnya lebih lama lagi, aku segera menjalankan motor ku dan pergi dari sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN