Dua Puluh Enam

1236 Kata
Selama di perjalanan menuju padepokan, aku menyempatkan diri untuk mengisi bensin motor ku dulu di salah satu pom bensin terdekat. Karena antrian cukup panjang dan kebetulan di pom itu terdapat warung kecil, Haikal memutuskan untuk menunggu di warung kecil itu, apalagi kalau bukan sekalian untuk jajan. Karena cuaca juga cukup panas, aku minta di pesan kan es teh dengan es yang banyak. "Selamat siang siang kak, mau ngisi yang berapa?" "20ribu aja." jawab ku sambil membuka tutup tangki. "Baik, di mulai dari nol ya kak." Gila, gw bisa gosong nih. Begitu bensin terisi penuh, aku bergegas menyusul Haikal di warung. Rasanya tenggorokan ku sudah sangat kering minta di lumasi dengan air dingin. "Gilaaa panas banget, ini kita lagi di oven apa gimana dah?" gerutu ku saat masuk ke dalam warung dan menghampiri Haikal yang duduk di kursi dekat Kipas angin. "Ini es gw?" tanyaku menunjuk gelas berisi es teh dengan banyak es. Haikal mengangguk. "Haaaaa. Akhirnya tenggorokan gw terselamatkan." "Padepokan lo masih jauh?" tanya Haikal. "Bentar lagi kok, paling sepuluh menit lagi dari sini. Ini kipas angin gak niat muter apa ya?" Kami berdua duduk di warung beberapa saat sambil menunggu setidaknya tidak terlalu panas lagi. Oh, dan sampai cemilan Haikal habis. Begitu minuman dingin kami habis, aku dan Haikal kembali melanjutkan perjalanan menuju padepokan yang sudah tidak terlalu jauh. Haaa... aku ingin cepat sampai dan ngadem. Aku melajukan kendaraan ku cukup cepat agar cepat sampai, hampir saja kami melanggar lampu merah. Sesampainya di padepokan dan memarkirkan motor ku di tempat biasa, kami berdua segera masuk ke sana. Rasa dingin dari AC langsung menghujan tubuh ku yang panas, rasanya benar-benar menyejukkan. Mas Satria yang baru saja kembali dari dalam ruangan staff langsung tersenyum saat melihat ku yang sudah datang. "Akhirnya datang juga. Kok lama, Jun?" "Tadi ngadem dulu mas di warung dekat pom bensin, panas banget soalnya." jawab ku sambil duduk di sofa panjang tempat biasanya orang tua menunggu anak-anaknya selesai latihan. "Teman kamu?" tanya Mas Satria kembali saat melihat Haikal yang sedang melihat-lihat poto yang di pajang di dinding-dinding ruang lobi. Aku mengangguk, "Iya, namanya Haikal." "Temen kamu mau daftar pencak silat?" "Dia? kaga. Dia cuma mau liat orang-orang yang latihan di sini." "Ohh." Tidak lama Haikal menghampiri kami dan memperkenalkan dirinya segera langsung pada Mas Satria. "Kita mau liat-liat latihan boleh kan, Mas?" tanya ku meminta ijin. "Boleh dong, kan ini padepokan keluarga kamu." jawabnya sambil tertawa. "Yeee, tapi kan pengelola nya sekarang Mas Satria." jawab ku sambil memutar bola mata ku. "Untuk dua bulan ini kita ada peningkatan dari pada bulan-bulan lalu. Bulan lalu paling banyak kita mendapatkan murid 10, dua bulan ini kita dapat murid lebih dari 20 orang." Aku bersiul nyaring, "Wah! lumayan banget tuh." Kami melihat-lihat para murid yang sedang latihan, bahkan saat kami melihat anak-anaknya di bawah sepuluh tahun sedang berlatih, Haikal ingin mencoba melakukan gerakan pencak silat yang paling dasar. Bukannya tertarik, ia bahkan langsung menyerah saat anak yang lebih kecil darinya bisa mengalahkan Haikal. Puas melihat-lihat dan mendengarkan laporan singkat dari Mas Satria. Aku, Haikal dan Mas Satria kembali lagi ke lobi sambil mengobrol. "Gimana kabar kakak kamu?" Mulai, mulai. "Baik." "Padahal aku udah berharap banget bisa ketemu mbak mu setiap hari loh." Aku menatap jengkel pada Mas Satria, "Ya ngapain berharap? lagian ya, mbak Ina itu lebih sibuk dari pada Juna." "Abisnya mbak kami ngangenin. Pasti nama belakang nya rindu ya? karena aku selalu merindukan mbak mu setiap waktu." keluar sudah jurus menggombal Mas Satria yang bikin bulu kuduk ku meremang geli. "Apa sih, Mas! cringe tahu. Lagian kalau gombal itu di depan orangnya langsung, bukan di depan Juna!" protes ku, sedangkan Haikal masih tertawa terpingkal mendengar gombal receh dari Mas Satria. Baru saja Mas Satria melanjutkan pembicaraan, datang seseorang dengan membawa anak kecil laki-laki. "Selamat datang." mode kerja Mas Satria langsung aktif seketika. Pemuda yang datang bersama anak kecil laki-laki yang di gandengnya pun duduk di kursi di depan meja Mas Satria. Kayaknya gw pernah liat nih orang deh, tapi dimana ya? "Maaf saya mau tanya, saya mau mendaftarkan adik saya untuk ikut latihan pencak silat. Kira-kira rincian biaya sama pembelajaran nya bagaimana ya?" Mas Satria pun menjelaskan dengan ramah dan lengkap pada pemuda di depannya, baik pemuda dan anak kecil itu mendengarkan dengan serius. Sesekali pemuda itu juga menanyakan beberapa hal pada Mas Satria. Sumpah, kayaknya gw pernah liat nih orang. Tapi dimana ya? Aku yang sejak tadi memperhatikan pemuda itu membuat Haikal menaikan alisnya bingung, "Lo liatin apaan dah? liatin cowok itu?" tanya nya sambil ikut memperhatikan pemuda itu. "Kayak nya gw pernah liat dia deh, tapi gw lupa dimana." Haikal menatap ku lalu menatap pemuda itu lagi, "Lo... normal kan?" Aku langsung menengok ke arah Haikal dengan sebal, "Iya lah gw normal!" jawab ku tegas. "Yaa siapa tahu? terus lo udah inget pernah ketemu tuh orang dimana?" Aku menghembuskan napas ku dan menggeleng tidak yakin. "Jun, lo bisa tolong anterin Kakak dan adiknya ini ke kelas junior buat liat-liat?" tanya Mas Satria tiba-tiba yang membuat pemuda itu juga menatap ke arah ku. "Eh? Oh, boleh-boleh. Mari saya antar." jawab mu dengan cepat dan segera berdiri untuk mengantarkan mereka berdua ke kelas yang di maksud. Dengan pelan aku membuka pintu kelas junior yang dimana isinya adalah anak-anak yang masih kecil berlatih, tempat di kalahkan nya Haikal oleh bocah kecil. "Nah, ini kelas untuk pemula junior. Pelatih kita selain profesional dalam pencak silat juga mampu membuat anak-anak belajar dan paham lebih cepat." kata ku dan membiarkan kedua orang itu untuk masuk melihat-lihat. "Apa pelatih nya juga menyukai anak-anak? di tempat sebelumnya walaupun pelatihnya profesional tapi karena terlalu keras dalam mengajar malah akhirnya membuat adik saya tidak betah." Aku tersenyum ramah dan kembali menjelaskan, "Tentu saja, selain profesional dalam bela diri ini, syarat utama lain nya adalah mereka harus menyukai anak-anak agar tidak membebani kedua belah pihak." Aku menjelaskan beberapa hal lagi pada pemuda itu sebelum akhirnya kami berjalan menuju lobi kembali. "Btw lo salah satu teman Haqi kan?" tanyanya tiba-tiba. Langkah ku terhenti dan menatap laki-laki di depan ku. "Gw dari tadi merasa familiar banget sama lo. Kok lo bisa tahu gw kenal Kak Haqi? gw adik kelasnya Kak Haqi." Pemuda itu terkekeh pelan, "Kita pernah ketemu waktu lo jalan bareng sama temen-temen lo dan Haqi." Begitu mengingat pemuda di depan ku ini, aku langsung menjentikkan jari ku. "Ah! Yang waktu itu berantem sama Kak Haqi. Haaa, pantes gw ngerasa pernah ngeliat muka lo, ternyata lo temen nya Kak Haqi waktu itu." Sepintas aku melihat pemuda itu tersenyum sedih saat aku mengatakan 'teman Kak Haqi'. "Gw bersyukur kalau Haqi masih nganggep gw temennya. Tapi kayaknya itu gak mungkin deh. Berarti lo juga kenal sama Rio?" tanya nya lagi. "Kenal lah, dimana ada Kak Haqi di situ ada Rio." kata ku santai. Lagi pemuda itu tertawa, "Ternyata gak berubah ya. Mereka selalu bareng kemana-mana. Oh, btw. Nama gw Putra, lo?" tanya Putra sambil mengulurkan tangan nya pada ku. "Juna. Gw boleh nanya satu hal sama lo?" tanya ku ragu-ragu. "Tanya apa?" "Lo ada masalah apa sama mereka berdua?" Putra tidak langsung menjawab pertanyaan ku, pemuda itu terlihat berpikir lalu menggelengkan kepalanya. "Sori, gw gak bisa cerita." jawabnya kemudian. "Oke gak masalah, sori kau gw nanya hal yang gak penting." Putra kembali tersenyum, "Santai. Terus apa sekarang mereka masih main sepak takraw?" Aku mengangguk, "Masih, klub kami baru aja kebentuk belum lama. Dan dua hari kemarin kami baru mendapatkan pelatih." "Pelatih?" "Iya, namanya Pak Alvan." *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN