Karena hari ini libur, aku berencana untuk pergi ke Padepokan sebentar pulang sekolah nanti.
"Tumben udah pada dateng?" tanya ku pada Haikal dan Radi yang sudah tiba lebih dulu di kelas. Dua anak itu kan selalu datang lima menit sebelum bel.
"Gue bangun kepagian." jawab Radi.
"Kalau gw berhubung motor gw d bajak abang gw, jadi nebeng sama bokap."
Aku duduk di sebelah Haikal yang sudah membuka ciki yang di bawanya.
"Pulang nanti gw nebeng ya, Jun? kata Radi kalian ga ada latihan kan?"
"Gak ada. Tapi pulang nanti gw mau liat padepokan, lo mau ikut?"
"Boleh lah, gw juga lagi males balik ke rumah."
Kami mengobrol sambil menunggu bel jam pelajaran pertama berbunyi.
"Latihan kemarin gimana?" tanya Haikal yang habis kembali dari membuang sampah di depan kelas.
"Seru. Selama gw gabung baru kali ini gw ngerasa asik main sepak takraw. Gw sama Radi juga udah dapet posisi." jawab ku dengan seru.
"Lo dapet posisi apaan?"
"Feeder, kalau Radi Killer dan Genta Tekong." jawab ku lagi.
"Itu nama-nama posisi di sepak takraw? unik juga ya namanya."
"Eh, Jun. Padepokan lo jauh dari sini?" kali ini Radi yang bertanya, ia sudah menghentikan permainan di ponselnya.
"Yah lumayan sih, ada kali dua puluh menitan mah. Lo mau ikut?" tawar ku.
"Gak deh. Gw kira deket. Gimana kalau minggu kita main bareng? sama Genta juga." usul Radi sambil melihat ku dan Haikal dengan semangat.
"Gw sih hayu aja. Jam berapa?"
"Jam 11an gimana?" tanya Radi lagi.
"Emang mau main kemana?" tanya Haikal.
Radi mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja terlihat berpikir.
"Main di game centre asik kayaknya ya?"
"Oke." jawab ku dan Haikal berbarengan.
Bel masuk pun berbunyi, tidak lama Pak Eko pun memasuki kelas dengan wajah galaknya.
"Tutup buku kalian. Hari ini kita ulangan."
"Eeeehhhhhhhhh?!" keluh kami semua serempak.
Kenapa di dunia ini harus ada ulangan dadakan sih?!
*
Saat jam istirahat, aku dan Haikal langsung pergi ke kantin untuk mengisi perut yang sudah berdemo agar segera di isi. Sedangkan Radi pergi ke kelas Genta, Radi bilang dia bakal nyusul sama Genta nanti.
Aku membawa semangkuk bakso dan es jeruk ke salah satu meja yang masih kosong. Tidak lama Haikal pun datang dengan sepiring siomay di tangannya.
"Lo gak beli minum?" tanya ku karena tidak melihat Haikal membawa minuman.
"Gw udah pesen, katanya nanti di anterin aja soalnya es nya kosong, lagi di beli dulu." jawabnya.
Tanpa menunggu lagi kami segera menyantap makanan yang kami beli sambil mengobrol.
Beberapa saat kemudian Genta dan Radi pun datang bergabung dengan makanan masing-masing dan mereka pun langsung memakannya karena pasti sudah lapar.
"Terus kata gw-"
"Jun, gw boleh gabung?"
Aku menghentikan obrolan ku dan menoleh ke samping, dimana Riri berdiri sambil membawa nampan berisi makanan juga minumnya.
"Boleh-boleh. Duduk aja, Ri." jawab ku sambil menggeser duduk ku dan memberikan tempat untuk Riri duduk.
"Thanks. Gw udah khawatir banget gak dapet bangku kosong, bisa-bisa gw gak makan nanti."
Kami tertawa pelan mendengar perkataan Riri.
"Tumben sendiri? biasanya kan lo rombongan sama temen-temen cewek lo yang rame. Rio sama Kak Haqi mana?" tanya Radi sambil menyeruput teh manisnya.
"Teman-teman gw masih ngerjain tugas Bu Sri, jadi gw kesini duluan karena udah laper banget." jawabnya.
Gadis itu segera memakan soto nya dengan lahap, benar-benar terlihat sangat lapar.
"Kalau Kak Rio sama Kak Haqi ga tau kemana, gw kan bukan emak mereka." lanjutnya.
"Yeee, tapi kan lo adeknya Rio." kata Radi lagi.
Riri hanya mengangkat pundak nya, ia tidak menjawab lagi perkataan Radi.
"Eh, Jun. Lo kenal sama yang namanya Sania?" tanya Riri.
"Sania dari klub basket putri?" tanya ku balik yang langsung di angguki Riri.
"Kenal, kenapa emang?"
"Dia titip salam buat lo."
Dan bergema lah kata 'cie' dari para anak bujang di meja ini.
"Dia sekelas sama lo?" tanya ku setelah mendiamkan mulut-mulut calon penggosip.
Riri kembali mengangguk, "Dia bilang mau kenalan sama lo, dia sempet minta nomor lo sih tapi gak gw kasih karena gw belum ijin sama lo."
"Udah rahasia umum kok si Sania naksir Juna, tapi anak ini aja yang bebel banget, ga peka nih anaknya." ucap Haikal sambil memainkan alisnya.
Aku hanya memutar bola mata ku melihat tingkah teman-teman ku ini.
"Gimana, Jun? gw boleh kasih nomor lo ke Sania?" tanya Riri lagi sambil nyengir.
"Boleh aja. Tapi kayaknya maksud dia minta nomor HP gw biar gampang kalau nanya-nanya deh, soalnya adeknya dia itu mau masuk ke SMP gw dulu. Jadi bukan berarti dia naksir gw kan?" kata ku santai.
"Tuh kan, Ri. Gw bilang juga apa." Kekeh Haikal.
"Oke, kalau gitu nanti gw kasih nomor lo ke dia. Lo sendiri lagi gak naksir cewek?"
Bukannya segera menjawab pertanyaan Riri, aku menatapnya sebentar. "Lo mau nyomblangin gw sama Sania?"
Riri kembali mengangkat bahunya, "Ya siapa tahu kalian bisa jadian kan?"
Aku memainkan gelas ku yang isinya tinggal setengah, "Gw emang pengen punya pacar sih. Tapi gw gak mau buru-buru juga." kata ku yang membuat semua teman-teman ku kecuali Riri mendengus mendengar perkataan ku.
"Heleh lambe mu." kata Haikal.
"Jadi gak ada cewek yang lo taksir?" tanya Riri lagi untuk memastikan.
Aku menggelengkan kepala ku, "Untuk saat ini belum ada sih, gak tau kalau besok." jawab ku setengah bercanda.
"Oke, nanti gw kasih tau kabar ini ke Sania."
"Lo sendiri, Ri?" kali ini Genta yang bertanya. Melihat gelagat Genta sejak pertama kali dia liat Riri, aku yakin kalau Genta naksir sama Riri tapi gak berani maju.
Riri tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya, "Gw belum punya cowok yang gw taksir sih tapi kalau kecengan ada banyak kali." jawabnya sambil nyengir.
Salah satu yang aku suka dari sifat Riri adalah dia tidak jaim saat sedang kumpul bersama kami. Dia selalu bisa mengobrol apa adanya pada kami tanpa harus canggung dan juga tidak mudah tersinggung dengan celetuk dan candaan kami yang kadang sedikit agak melenceng.
"Kalau gitu gw boleh daftar dong?"
Ow ow ow, apakah Genta kita sedang berusaha untuk maju ke medan pertempuran?
Aku, Radi dan Haikal tertawa terbahak-bahak saat Riri menggeleng dan menjawab 'Nope!' dengan cepat tanpa berpikir lagi.
Radi yang duduk di samping Genta menepuk-nepuk bahu Genta, "Sabar ya bro."
*
"Jun, gw ke toilet dulu ya. Lo tungguin depan gerbang aja." teriak Haikal yang langsung ngibrit keluar kelas begitu bel pelajaran terakhir berbunyi.
"Lo sama Haikal jadi ke padepokan lo dulu?"
"Yoi, gw udah ngomong juga sama orang sana kalau gw mau mampir."
Aku dan Radi berjalan bersama hingga kami berpisah di tempat parkir. Aku menunggu di depan gerbang sambil memainkan ponsel ku.
"Hai, Jun. Lo lagi nunggu siapa?"
Aku mengalihkan pandangan ku dari layar ponsel ke depan dimana Sania sedang berdiri sambil tersenyum kecil ke arah ku.
Gw yang salah liat atau pipi Sania merah?
"Oh, hai, San. Gw lagi nunggu Haikal, biasa anak itu minta nebeng."
Sania hanya menjawab 'oh' sambil mengangguk-angguk kecil.
"Makasih ya udah bolehin aku save nomor kamu." katanya lagi setelah diam beberapa detik.
"Santai aja, San. Ngomong-ngomong lo gak apa?" tanya ku.
Sania menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan menatap ku, "Emang gw kenapa?"
"Pipi lo merah gitu. Lo kepanasan?"
Sania dengan cepat menggelengkan kepalanya, "Eum, gw gak apa-apa kok. Gw gak kepanasan. Ya udah, gw duluan, Jun. Daah." pamitnya sambil melambaikan tangannya dan pergi dengan buru-buru.
"Kepanasan kali ya? pulangnya semangat gitu." kata ku.
"Siapa yang kepanasan?"
Aku menoleh ke samping yang ternyata sudah ada Haikal.
"Itu si Sania, kasian kepanasan sampai pipinya merah." kata ku sambil menyalakan motor kesayangan ku.
"Ohh. Ya udah yuk cabut."
*