Sanvi tetap menatap Haris dengan tatapan tenang, senyum tipisnya seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak terguncang oleh kemarahan sang ayah. Mila masih terdiam, kedua tangannya bergetar di bawah meja. Ia tidak menyangka, justru Sanvi—yang selama ini selalu tampak dingin dan acuh padanya—berani angkat suara demi membelanya. Haris mendengus pelan, menahan emosi yang sudah menggelegak sejak awal. “Apa pikiranmu sedang nggak waras?” tanyanya sinis. Sanvi menggeleng pelan, suaranya tegas, “Nggak, Ayah. Pikiranku sangat sehat sekali. Aku hanya mengutarakan apa yang kulihat. Mila memang salah memilih jalannya, tapi tidak bisa diingkari kalau dia punya tekad. Tekad itu jarang dimiliki orang.” Hening menyelimuti ruang makan. Tatapan Haris menusuk tajam, seolah ingin mencari alasan lebih jauh

