Haris duduk terpaku di kursinya, bahunya terasa berat seolah menanggung beban besar yang tak bisa ia lepaskan. Tatapannya kosong menembus layar tablet yang menampilkan wajah Mila saat konferensi pers, tapi pikirannya melayang jauh. “Mila…aku tidak tahu, apakah dengan konferensi pers itu benar-benar bisa memulihkan nama baik keluarga kita,” gumamnya lirih. Ada secercah harapan, namun lebih banyak keraguan yang mencengkeram dadanya. Ia menutup mata sebentar, mencoba mengatur napas, sebelum akhirnya membalik tablet itu ketika ponselnya berdering. “Halo, Pak?” ucapnya dengan suara tenang, bibir melengkung tipis membentuk senyum formal meski lawan bicaranya tak bisa melihat. Namun senyum itu sirna saat mendengar jawaban klien yang menunda keputusan kerja sama mereka. Haris mereguk saliva,

