Sanvi berdiri tegak di depan barisan, suaranya lantang, penuh wibawa seperti biasa saat memimpin apel pagi. Matahari yang baru naik menyinari lapangan, membuat seragamnya semakin gagah. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Para anggota yang biasanya fokus pada setiap instruksinya, justru tampak mencuri pandang ke arah tangan kirinya. Tepatnya ke jari manis, di mana sebuah cincin berkilau memantulkan cahaya, seolah menjadi pusat perhatian pagi itu. Sanvi sadar dari tadi tatapan mereka terasa aneh, tapi ia mencoba mengabaikannya demi menjaga wibawa. Ia tetap melanjutkan laporan singkat, memberikan arahan tugas untuk hari itu. Hingga akhirnya, dengan suara tegas, ia mengakhiri, “Apel pagi hari ini selesai. Bubar!” Biasanya, begitu kata itu terucap, barisan langsung mencair. Namun kal