Arshan berdiri dengan sorot mata sendu, tangannya meraih foto itu dari genggaman Sanvi lalu menatapnya sebentar sebelum meletakkannya kembali di atas lemari. Wajahnya menegang, seperti menahan sesuatu yang sejak lama ingin diungkapkan. “Dia adikku, Kevin,” ucap Arshan pelan, napasnya berat. “Dia meninggal sepuluh tahun lalu, saat masih SMA. Waktu itu dia akan bertanding basket, tapi… kecelakaan merenggutnya. Tabrak lari.” Sanvi terdiam, menatapnya dengan rasa bersalah bercampur iba. “Maaf, aku tidak tahu. Aku tidak bermaksud—” Arshan menggeleng, memotong lembut. “Tidak apa-apa, kamu tidak salah. Aku hanya masih sulit melupakan. Dia seharusnya punya masa depan besar, tapi semua itu hancur sekejap.” Matanya berkaca-kaca, namun bukan tangis yang keluar, melainkan sorot keteguhan. Hati San