Sanvi menerima tisu dari tangan Arshan dengan tangan yang bergetar. “Terima kasih.” Suaranya hampir tak terdengar, lirih dan penuh sesak. Ia buru-buru mengusap pipinya yang basah, tapi air matanya terus mengalir, seperti sungai yang tak bisa dibendung lagi. Napasnya terengah-engah, tubuhnya masih bergetar hebat. Arshan duduk di sampingnya tanpa banyak bicara, hanya menatap dengan mata penuh rasa khawatir. Ia tidak terbiasa melihat Sanvi seperti ini—terluka, rapuh, dan seakan kehilangan pegangan. “San, kalau memang aku salah bicara, maafkan aku…aku tidak bermaksud melukai kamu,” ucapnya perlahan, suaranya serius sekaligus lembut. Sanvi menggeleng, matanya masih merah. “Bukan, bukan salah kamu. Aku hanya… aku lelah menyimpan semua ini sendiri,” jawabnya tersendat di sela tangisnya. Ada