Mila duduk di kursi ruang makan dengan wajah gusar. Ia menyendokkan nasi ke piring tanpa semangat, lalu meletakkan sendok dengan suara cukup keras. “Bu, kenapa anak itu belum pulang juga?” tanyanya dengan nada kesal, matanya melirik ke arah Wina yang tengah menata lauk di meja. “Sanvi maksud kamu?” balas Wina datar, seolah sudah tahu arah pertanyaan itu. “Ya, siapa lagi kalau bukan dia?” sahut Mila cepat. Suaranya penuh ketidaksabaran. Sejak tadi ia tampak tidak tenang, bibirnya bergetar menahan kekesalan. Wina berhenti sejenak, lalu tersenyum sinis. “Kalau Ibu malah senang sekali dia tidak ada di rumah ini. Kalau bisa, selamanya saja dia pergi dari sini. Tidak ada lagi yang merebut perhatian atau membuat suasana kacau.” Mila memicingkan mata, lalu mencondongkan tubuh. “Tapi kata Ibu,