Sanvi berdiri kaku di tengah ruangan itu, menahan napas sebelum akhirnya berkata dengan datar namun tajam, “Aku baru dari rumah sakit.”
Haris mengernyit. Matanya sempat membulat, namun bukan karena khawatir, melainkan curiga. “Rumah sakit? Kamu sakit apa?” tanyanya cepat, matanya menyapu tubuh Sanvi dari atas ke bawah. “Ayah lihat kamu baik-baik saja. Tidak tergores sedikit pun.”
Perkataan itu menusuk. Sanvi meremas jemarinya sendiri, menahan desakan amarah yang mulai naik ke da-da. Ingin sekali dia berteriak, 'Luka itu bukan fisik, Ayah! Luka itu ada di hati, dan jauh lebih menyakitkan dari sekadar goresan kulit.' Tapi ia hanya diam, dadanya bergemuruh.
Lalu dengan suara serak ia bertanya, “Di mana Mila?” Pandangannya bergerak ke arah kamar gadis itu yang pintunya terbuka. Kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Haris menjawab dengan ringan, “Mila sudah berpamitan. Katanya ingin menginap di rumah temannya.” Ia mendesah, lalu menatap Sanvi kembali dengan tatapan menghakimi. “Tapi kamu? Pulang larut malam tanpa kabar, bilang dari rumah sakit? Ayah rasa kamu bohong, Sanvi.”
Dan di sanalah titik pecahnya. Sanvi merasa dunia benar-benar tak berpihak. Tidak satu pun. Bahkan rumahnya sendiri, ayahnya sendiri.
“Ayah selalu saja berpikiran negatif padaku,” katanya dengan suara bergetar. “Tidak pernah sekalipun Ayah percaya pada ucapanku. Tapi untuk Mila—anak tiri Ayah itu—dia selalu dapat kepercayaan, kasih sayang, pembelaan. Aku anak kandung Ayah! Tapi justru aku yang diperlakukan seperti anak tiri di rumah ini.”
Wajah Haris mulai mengeras, tapi tidak ada sepatah pun kata keluar darinya.
“Andai saja Ibu masih hidup, aku tidak akan tinggal di sini. Aku akan ikut Ibu…tidak akan tinggal bersama Ayah dan mereka!” Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Sanvi, tapi dia menahannya.
“Kapan Ayah akan percaya bahwa aku sakit? Bahwa aku pergi ke rumah sakit untuk menemui psikiater? Bahwa aku butuh bantuan karena Mila—Putri kesayangan Ayah itu—telah menyakitiku jauh lebih dari yang bisa Ayah bayangkan?”
Tatapan Sanvi tajam, tajam sekali, menusuk ke dalam batin Haris. Tapi pria itu hanya diam. Tidak menjawab. Tidak menatap. Tidak menyangkal.
Keheningan itu lebih menyakitkan daripada makian.
Sanvi menghela napas panjang, bergetar karena luka yang makin dalam. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik, melangkah cepat ke arah kamarnya. Suara langkahnya berat, dan ketika dia sampai di depan pintu, dia membantingnya keras hingga seluruh rumah bergema.
Di dalam kamar, Sanvi jatuh terduduk di lantai, air matanya tumpah tak tertahan. Tangisnya mengguncang seluruh tubuhnya. Satu-satunya tempat yang dia kira bisa menjadi pelindung ternyata adalah sumber luka paling dalam. Dan kini, ia sendirian. Lagi.
Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Sanvi perlahan-lahan merosot ke bawah. Punggungnya bersandar pada daun pintu yang dingin, seolah menyerap panas dari tubuhnya yang mendidih karena amarah dan luka hati. Lantai yang dingin menyambut tubuhnya yang kini terduduk lemas, tanpa daya. Tangannya gemetar, dan bibirnya bergetar tanpa suara, hanya napas berat dan sesenggukan tertahan yang terdengar samar.
Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Mengalir deras, menelusuri pipinya yang pucat dan basah. Ia menunduk, bahunya bergetar pelan. Di tengah kesunyian yang menusuk, suaranya keluar lirih, nyaris tak terdengar, “Ibu…tolong aku…aku sendiri di dunia ini.”
Kalimat itu membuat isaknya semakin kencang. Ia merasa seperti anak kecil yang tersesat, memanggil-manggil ibunya di tengah keramaian yang tak peduli. Tak ada jawaban, tak ada pelukan hangat, hanya dinding bisu dan malam yang gelap.
“Bahkan satu-satunya orang yang aku percaya, yang aku harap bisa melindungiku…Hedy, dia pun menghianatiku…,” katanya sambil memejamkan mata, mencoba menahan gambaran menyakitkan itu kembali muncul. “Dia menikamku dari belakang…”
Suara itu menggantung di udara, membekas seperti luka terbuka. Nama Hedy saja sudah cukup untuk membuat dadanya kembali sesak. Tunangan yang ia pikir akan menjadi tempat berlabuh, ternyata hanya pelabuhan sementara sebelum berpindah ke kapal lain—ke adik tirinya sendiri, Mila.
Sanvi mengangkat wajahnya sedikit, menatap langit-langit kamar yang temaram, lalu berkata lagi dalam gumaman pedih, “Selama 24 tahun aku hidup…tak ada satu pun di dunia ini yang benar-benar membuatku tersenyum.”
Namun di akhir kalimatnya, senyum tipis justru muncul. Senyum yang penuh luka. Senyum yang terbentuk dari sisa-sisa harapan dan keputusasaan. Senyum getir seorang perempuan yang terlalu sering memendam rasa, terlalu lama menjadi kuat sendirian.
Tangannya terangkat, meraup wajah yang basah oleh air mata. Lalu ia memeluk lututnya, menunduk dan membenamkan wajah di sana. Bahunya bergetar keras saat tangisnya meledak tanpa bisa ditahan lagi. Tangisan yang selama ini tertahan. Tangisan yang mengalir karena beban hidup yang tak lagi mampu dia pikul seorang diri.
“Kenapa hidupku berat sekali?” bisiknya di antara tangis. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi beban dari kata-kata itu begitu nyata.
Kamar itu hening, hanya dihiasi oleh isakan dan suara napas yang terputus-putus. Sanvi merasa seperti tenggelam dalam ruang kosong. Ia menutup matanya, memeluk dirinya erat-erat, seolah hanya itu yang bisa memberinya sedikit kehangatan. Sedikit ketenangan.
Tapi tak ada. Yang ada hanya sepi dan luka. Yang ada hanya ruang gelap dan kenangan pahit. Yang ada hanya seorang gadis muda yang terlalu lelah menghadapi dunia, namun tetap bertahan karena tak ada pilihan lain.
**
Esok paginya, rumah itu kembali terisi suara—namun bukan suara yang menghibur, melainkan menyayat. Mila datang dengan langkah ringan dan suara riang, seolah dunia tengah berpihak padanya. “Pagi semuanya!” serunya ceria, sambil menggantungkan tas kecil di kursi ruang tamu.
Di meja makan, Sanvi duduk bersama Haris dan Wina. Kepalanya tertunduk, sendok di tangan tak bergerak, nasi di piring bahkan belum disentuh. Wajahnya pucat, matanya sembab, tapi tak ada yang benar-benar peduli. Haris hanya duduk diam dengan tatapan datar, dan Wina menyesap kopi sambil membaca ponsel.
Ketika Mila mendekat dan mencium pipi Wina serta Haris, lalu duduk dengan senyum merekah, Sanvi mengangkat wajahnya sekilas—hanya untuk dihantam rasa sakit yang dalam. Senyum Mila terasa seperti pisau yang menggores luka basah. Seolah-olah Mila sengaja bersikap begitu bahagia, membuat luka di hati Sanvi semakin robek, terbuka, dan perih.
Dadanya terasa diremas. Ada rasa sesak yang mendesak naik ke tenggorokan, ingin meluap sebagai jeritan atau tangis, tapi tak bisa. Sanvi hanya menggenggam erat sendoknya—berusaha tidak meledak, berusaha tetap duduk tegak, meski hatinya nyaris runtuh.
“Ayah, Ibu...aku punya pengumuman penting,” ucap Mila masih tersenyum lebar sambil melirkik Sanvi dengan ekor matanya.