Eps. 6 Meluapkan Amarah

1213 Kata
Pagi itu suasana meja makan yang awalnya sunyi mulai berubah saat Mila tiba-tiba berkata dengan semangat, “Ayah, Ibu…aku punya pengumuman penting.” Wina dan Haris spontan menoleh ke arahnya, menatap penuh tanya. “Pengumuman apa, Nak?” tanya mereka hampir bersamaan, sedikit tersenyum—mengira mungkin kabar gembira soal pekerjaan atau pendidikan. Mila menjeda sebentar, lalu senyum di wajahnya makin lebar, matanya berbinar penuh kemenangan. “Aku ingin menikah sebentar lagi.” Wina dan Haris saling bertatap. Kaget, tentu saja. Mereka tak pernah mendengar Mila dekat dengan siapapun. “Menikah? Dengan siapa?” tanya Haris, curiga namun mencoba tetap netral. Mila menegakkan bahunya. “Dengan Hedy,” katanya, penuh penekanan. Sejenak, keheningan menggantung. Nama itu seperti petir yang menggelegar di tengah ruangan. “Hedy siapa?” tanya Wina, bingung. Haris pun ikut bertanya. “Hedy Pratama, Ayah.” “Maksudmu Hedy…tunangan Sanvi?” Saat itu juga, terdengar suara logam keras—sendok Sanvi menghantam piringnya. Dentingannya menggema, memecah ketegangan menjadi ledakan senyap. Sanvi masih menunduk, namun sorot matanya sudah memanas. Mila meliriknya dengan tatapan licik, lalu menjawab santai, “Ya, Hedy Pratama Arviano. Kami saling mencintai.” Wina langsung terkejut, menatap Haris. Haris yang awalnya tenang kini mulai terlihat bingung dan panik. “Bagaimana bisa kamu mau menikah dengan pria yang sebelumnya tunangan kakakmu sendiri?” tanyanya tak percaya. Namun sebelum Mila bisa membuka suara lagi, Sanvi bangkit dari kursinya. Suaranya terdengar tenang namun dingin, penuh kemarahan yang tertahan. “Aku sudah memutuskan pertunangan itu sejak tahu siapa dia sebenarnya. Aku tidak akan pernah menikahi lelaki yang menusuk dari belakang. Terlebih, dia bekas Mila.” Tatapan Sanvi tajam, matanya mengarah lurus ke Mila yang membalas dengan senyum penuh kemenangan. Haris tak bisa berkata apa-apa. Wina pun bungkam, suasana mendadak menegang dan dingin. Sanvi menarik napas panjang. Tanpa menunggu reaksi siapa pun, dia mengambil tas kecil dan topi dinasnya yang tergantung di sandaran kursi. “Aku berangkat,” katanya datar, lalu melangkah pergi. Suara pintu depan yang tertutup terdengar begitu nyaring dalam keheningan yang mencekam itu. Sarapan pagi yang tersisa di piring dibiarkan begitu saja. Tak ada satu pun yang berani menyusul atau menahan. Sanvi telah cukup terluka, dan pagi itu dia memilih untuk menyelamatkan sisa-sisa martabatnya sendiri. Meninggalkan semua kebisingan penuh dusta dan kepalsuan itu. 🌷🌷 ** Langkah kaki Sanvi terdengar berat saat dia menapakkan kakinya di area parkir kesatuan. Seragam lorengnya rapi seperti biasa, tapi wajahnya terlihat buram, seperti tertutup kabut yang tebal. Meski wajah itu masih menyimpan ketegasan seorang perwira, ada sesuatu yang berbeda pagi ini—auranya dingin dan tajam, namun juga menyimpan luka yang dalam. Beberapa anggota yang lewat menyapanya, “Selamat pagi, Letnan!” Namun Sanvi terus berjalan lurus, seperti tak mendengar satu pun suara. Sorot matanya tajam menatap ke depan, tapi kosong. Pikirannya masih bergulat dengan luka hati semalam yang belum mengering. Para anggota saling berpandangan dan berbisik, “Ada apa dengan Letnan? Kelihatan dingin banget pagi ini.” “Mungkin lagi buru-buru atau ada masalah keluarga,” sahut yang lain, mencoba menebak-nebak. Beberapa menit kemudian, peluit panjang Sanvi terdengar nyaring membelah udara pagi. Semua segera berkumpul di lapangan untuk apel pagi. Sanvi berdiri di depan barisan dengan posisi tegak, suaranya tetap tegas dan jelas memberi instruksi, namun nada bicaranya lebih rendah dari biasanya. Tidak ada teriakan seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada teguran keras. Para anggota bisa merasakan perubahan itu. Letnan Sanvi memang keras dan disiplin, tapi pagi ini dia terlihat seperti sedang menahan sesuatu. Meski mereka penasaran, tak ada satu pun yang berani bertanya atau bicara sembarangan. Mereka hanya diam, mendengarkan perintah, dan menjalankan tugas. Sanvi mengakhiri apel dengan singkat, lalu segera kembali ke ruangannya. Pagi ini, lebih dari sebelumnya, dia benar-benar menyembunyikan badai dalam dirinya. * Setelah selesai memeriksa pekerjaan anggota lain dan memastikan semuanya beres, Sanvi melangkah cepat menuju ruang latihan fisik di pojok markas. Ruangan itu cukup luas, beralaskan matras biru, dengan berbagai alat latihan berat termasuk beberapa samsak yang tergantung kokoh di sudut. Tanpa mengucap sepatah kata pun, Sanvi membuka loker, mengambil sarung tinju merah dan mengenakannya dengan gerakan cepat. Dia berdiri di hadapan samsak besar berisi pasir, menarik napas panjang, lalu mengayunkan tinjunya keras-keras. Duk! Duk! Duk! Setiap pukulan penuh tenaga. Napasnya mulai memburu, tapi dia tak berhenti. Matanya merah, bukan karena kelelahan, tapi karena amarah yang meledak-ledak. Tiba-tiba dia berteriak keras sambil kembali menghantam samsak itu, “Sialan kalian berdua! kamu badjingan, Hedy!” Tangannya terus meninju, mengeluarkan semua emosi yang menyesakkan da-da. “Badjingan! Kalian berdua penghianat!” Suara pukulannya menggema di ruangan kosong itu, bercampur dengan jerit tertahannya yang seakan telah lama mendidih di dalam da-da. Air mata sempat mengambang di matanya, tapi tak sempat jatuh. Dia menahannya—seperti biasa. Yang keluar hanya keringat dan kemarahan yang meledak lewat tinjunya. Sanvi berhenti sejenak, menunduk, menahan napas berat. “Kenapa harus aku?” bisiknya lirih. Tapi tidak ada jawaban. Hanya suara pelan samsak yang masih bergoyang perlahan, menjadi saksi betapa hancurnya hati seorang prajurit pagi itu. ** Pagi itu, ruangan praktik Dokter Arshan Malik di rumah sakit tampak rapi dan tenang seperti biasa. Dindingnya berwarna biru muda menenangkan, dihiasi sertifikat-sertifikat pendidikan dan pelatihan medis yang membanggakan. Sebuah jendela besar di sisi kanan membiarkan cahaya matahari masuk, menyinari meja kerjanya yang tertata rapi. Ada tanaman kecil di sudut ruangan, memberikan kesan hidup di ruangan yang dingin dan formal itu. Arshan baru saja masuk ke ruangannya, melepas jas putihnya sebentar untuk mengganti dengan yang baru dan kemudian duduk perlahan di balik meja. Kursi kulit beroda itu berdecit pelan ketika tubuhnya menyandar. Ia menarik napas panjang, lalu mengambil ponselnya dari saku celana. Tatapannya kosong saat membuka layar dan mengecek notifikasi. Kosong. Tidak ada pesan baru. Tidak ada panggilan. Tidak ada notifikasi dari wanita itu—Sanvi. Arshan menghela napas, wajahnya terlihat gelisah dan murung. Pikirannya kembali terputar pada kejadian kemarin. Tentang Sanvi, wanita yang datang dengan luka tak kasat mata, lalu menuduh dan menuntut tanggung jawab atas tindakan pelecehan dari petugas rumah sakit. Tapi setelah ia menawarkan tanggung jawab, setelah ia sendiri menunjukkan keseriusannya, wanita itu malah menghilang. “Kenapa belum menghubungi juga? Bukankah dia yang memintaku bertanggung jawab?” gumamnya lirih. “Aneh. Wanita itu benar-benar aneh…” Belum sempat Arshan larut lebih jauh dalam lamunannya, telepon meja di sebelah kanan berbunyi nyaring, memecah keheningan. “Ya, halo?” ujarnya singkat setelah mengangkat gagang telepon. “Dok, apakah ruangan Anda sudah dibuka? Sudah ada beberapa pasien yang menunggu untuk konsultasi,” kata suara seorang perawat di ujung sana. Arshan melirik arlojinya sejenak. “Buka lima belas menit lagi. Aku akan ke sana setelah ini.” Klik! Telepon ditutup. Ia bangkit dari kursi, merapikan jas dokternya dan mengambil beberapa berkas rekam medis dari meja. Langkahnya cepat namun pikirannya masih mengambang, tidak sepenuhnya kembali pada tanggung jawab hariannya. Bayangan Sanvi masih membayang di benaknya—wanita tentara itu meninggalkan tanya yang belum terjawab. Dengan satu helaan napas berat, Arshan melangkah keluar dari ruangannya, menuju ruangan konsultasi. Tapi jiwanya belum sepenuhnya ada di sana. Arshan tiba di ruang praktik lewat pintu belakang, menyapa singkat perawat yang sedang merapikan meja. Ia lalu duduk dan menyiapkan berkas pasien di hadapannya, meski pikirannya belum sepenuhnya fokus. Jari-jarinya menyentuh pena, namun tak juga menulis. Ia bergumam pelan, nyaris tak terdengar, “Wanita itu…apa mungkin kami akan bertemu lagi? Entah kenapa aku merasa belum selesai dengannya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN