12. Berdamai dengan Perbedaan

1763 Kata
Author’s POV Dera menghentikan mobilnya di halaman rumah kakaknya. Suasana terlihat sepi dari luar, tapi Derra berharap kakaknya sudah pulang kerja. Kakak iparnya pasti ada di rumah karena dia masih cuti seusai melahirkan. Derra keluar dari mobil dan bergegas memasuki teras rumah. Derra menekan bel. Sesaat kemudian asisten rumahtangga kakaknya membukakan pintu. “Eh non Derra ayo masuk.” Derra melangkah masuk ke dalam. Kakaknya dan kakak iparnya sedang bersantai di ruang tengah. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Jawab Giandra dan Keyra serempak. “Eh Derra lagi nggak ada syuting? Tumben nggak ngabari dulu kalau mau kesini.” Giandra menyapa ramah adiknya dan mengulas senyum. Derra mendekat ke arah Keyra yang tengah menggendong ponakannya. “Iya kak lagi nggak ada syuting.” Derra membelai pipi ponakan gantengnya dan tersenyum lebar pada bayi yang tengah anteng itu. “Hai ponakan aunty yang ganteng dan nggemesin, udah bobo belum?” Baby Ardan hanya membulatkan matanya memandangi tante cantiknya. Dia mengulas senyuum tipis. “Baru aja bangun Der. Bobo lumayan lama tadi, dua jam.” Ucap Keyra sambil mengamati bayinya yang tampak senang dengan kedatangan tantenya. “Wah puas banget bobonya.” Tiba-tiba tangis melengking dari bibir Ardan. “Kayaknya dia minta nyusu.” Keyra duduk di sofa dan memangku Ardan lalu menyusuinya. Derra duduk di sebelah Giandra yang terlihat serius memnbaca buku. “Baca buku apaan sih kak?” Derra melirik cover buku yang tengah dipegang kakaknya. “Buku bisnis Der.” Jawab Giandra sembari mengamati ekspresi wajah adik satu-satunya yang terlihat lebih muram. “Kok kamu kelihatan murung. Ada masalah?” Tanya Giandra penuh selidik. Derra menghela napas sejenak. Dia ingin meluapkan segala yang mengganjal hatinya, tapi bingung mulai dari mana. Keyra tahu benar, dari ekspresi wajah Derra, dia bisa menebak bahwa Derra datang ke rumah untuk bicara sesuatu yang penting dengan Giandra. “Der, Gi, aku ke atas dulu ya, mau menyusui Ardan sambil tiduran.” Keyra menatap adik ipar dan suaminya bergantian. Derra membalas dengan senyum tipis, “iya kak.” Giandra kembali mengamati ekspresi wajah adiknya yang terlihat datar namun seperti menyimpan masalah. “Ada masalah Der? Raut wajahmu nggak bisa bohong.” Derra mengangguk pelan. “Masalah kerjaan atau...... masalah dengan Bagas?” Giandra menelisik wajah adiknya dan menduga-duga, Derra sepertinya tengah bermasalah dengan Bagas. “Dengan mas Bagas kak. Kayaknya prinsip hidup kita beda banget dan susah disatuin.” Derra menunduk lalu tatapannya menerawang ke sesuatu yang tak berujung. “Prinsip hidup yang seperti apa Der? Setahu kakak, namanya manusia itu pasti punya perbedaan prinsip, pola pikir, dan yang namanya menikah itu harus bijak menanggapi perbedaan ini. Sampai kapanpun dua individu itu tak akan pernah cocok. Namanya dua kepala isinya pasti beda kan?” Derra mengangguk, “iya Derra tahu, tapi prinsip ini rasanya tak bisa disatukan. Setiap berbeda pandangan kita selalu cekcok. Derra capek mesti bertengkar setiap berselisih pendapat.” Derra mengerucutkan bibirnya. “Kakak boleh tahu nggak, perbedaan prinsip yang kamu maksud perbedaan yang bagaimana?” Derra menatap Giandra yang tampak sekali begitu berharap Derra akan berbagi semua masalahnya. Derra pernah berprinsip untuk tidak bercerita apapun jika rumahtangganya bermasalah entah pada keluarganya, Mimi atau teman baiknya. Ia akan menanggungnya sendiri. Namun rupanya dia merasakan beban yang teramat berat jika ia memikulnya sendirian. “Sebenarnya menurut Derra hal-hal kayak gini nggak seharusnya dipermasalahin. Kayak cipika-cipiki. Kemarin di acara talk show, Alfaz cipika-cipiki ke Derra, mas Bagas nggak suka lihatnya.” Giandra menghembuskan napas, “Bagas itu orangnya emang alim. Wajar kalau dia nggak bisa terima. Sentuhan ama non mahram kan emang tidak diperbolehkan.” “Ya Derra tahu, tapi Derra juga ngrasa nggak enak juga kalau ngomong langsung ke Alfaz. Akhirnya Derra kirim WA ke Alfaz, bilang kalau lain kali jangan cipika-cipiki lagi karena mas Bagas nggak suka. Derra juga bilang kalau Derra dan Alfaz bukan mahram. Eh tadi ada telpon dari PH, Derra dicoret jadi pemain film yang rencananya syuting lima bulan lagi. Jadi Alfaz mengundurkan diri karena takut bikin mas Bagas salah paham, kan ada adegan Derra dan Alfaz genggam tangan. Nah mereka lebih memilih mempertahankan Alfaz, nama Derra yang dicoret. Bayangkan kak, nilai kontraknya itu fantastis banget. Dan film ini pasti bakal meledak karena sutradaranya aja sutradara terbaik, pemain-pemainnya juga punya kemampuan akting yang berkualitas. Mas Bagas nggak pernah benar-benar dukung karir Derra kak. Dia mematikan pelan-pelan.” Giandra tersenyum, “mungkin film itu emang belum rezekinya Derra. Anggap saja dengan dibatalkannya keikutsertaan Derra di film itu, Derra jadi terhindar dari genggaman tangan dengan non mahram. Sekarang kakak nanya, lebih penting mana keutuhan rumahtangga atau karir?” Derra terdiam sejenak. “Kenapa kak Gian sama aja kayak mas Bagas? Sama-sama nggak bisa memahami perasaan Derra. Akting itu udah jadi hidup Derra kak. Kehilangan kesempatan besar itu rasanya berat banget. Mas Bagas tuh nggak bisa memahami soal ini.” “Der, kakak nggak bisa nyalahin Bagas karena apa yang dia lakukan semata untuk menjaga Derra. Kenapa Derra nggak mikir resiko dari adegan yang bersentuhan dengan non mahram itu. Untuk berkarya atau bekerja itu nggak harus mengorbankan prinsip kan?” Derra tercenung. Sikap kakaknya sudah mirip Bagas saja. “Kakak bukan ahli agama ya, tapi setahu kakak, istri mau keluar rumah pun harus minta izin suami. Jangankan keluar rumah, puasa sunah pun harus bilang ke suami. Apalagi soal kerjaan. Kalau suami nggak ridho mending nggak usah diambil. Apalagi Bagas punya alasan yang benar, dia ingin Derra lebih terjaga. Larangan Bagas itu terkait aturan agama Derra. Coba pikirkan baik-baik.” Derra terpekur dan mencerna baik-baik perkataan kakaknya. “Apa itu artinya kak Gian menyalahkan Derra?” Giandra tertawa kecil, “bukan begitu Derra. Kalau kak Gian nggak sependapat ama kamu, bukan berarti kakak nyalahin kamu. Mungkin Bagas belum tahu benar bagaimana cara meyakinkan kamu agar kamu mau menerima nasihatnya. Bagaimanapun juga yang namanya pernikahan itu kan seperti masa adaptasi antar suami istri untuk belajar saling memahami dan menghargai, saling mengenal karakter masing-masing. Derra juga masih pakai emosi saat Bagas menasehati, akhirnya kalian cekcok.” “Okey, maksud mas Bagas memang baik, tapi kenapa dia nggak bisa kayak Dion kak? Dion dukung banget karir Marsha. Sekarang banyak PH yang berebut Marsha. Kesuksesan seseorang itu ada andil dari support orang-orang terdekatnya. Dion nggak melarang Marsha beradegan genggaman tangan atau pelukan, bahkan ciuman juga diperbolehkan, yang penting bukan adegan v****r. Kadang kita dituntut untuk profesional kak. Dan sejak Derra menikah, Derra memang membatasi untuk nggak melakoni peran yang menuntut adegan macam-macam. Dan ternyata itu susah banget kak. Derra merasa nggak bisa total terjun di dunia akting. Padahal akting itu udah jadi hidup Derra sejak SMA, meski dulu berawal dari peran-peran kecil.” Giandra menatap adiknya lembut, “Derra pingin Bagas seperti Dion, yang bisa tenang meski istrinya beradegan mesra dengan laki-laki lain? Mungkin Derra bakal menyangkal, namanya juga akting, hanya untuk profesionalisme pekerjaan. Tapi saat melakoni adegannya, itu beneran kan? Pegangan beneran? Pelukan beneran? Bahkan juga ciuman beneran? Derra mau, Bagas membebaskan Derra untuk beradegan seperti itu? Harusnya Derra berterimakasih, Bagas selalu ngingetin Derra dan membimbing Derra untuk tetap berjalan di jalur yang benar. Kenikmatan dunia hanya sementara Derra. Ketenaran di dunia itu nggak akan abadi. Uang yang kamu dapet juga nggak akan abadi. Di akhirat nanti bakal ditanya, darimana Derra memperoleh harta dan digunakan untuk apa. Kira-kira apa jawaban Derra nanti tentang uang yang diperoleh dengan jalan yang melanggar syariat? Berpelukan atau berciuman dengan non mahram atas nama profesionalisme?” Derra membisu. Hatinya tercekat. Selama ini dia memang menghindari adegan seperti itu, terutama sejak menikah. Sebelum menikah dia pernah beberapa melakoni adegan pelukan. Sedang adegan ciuman memang dia sudah menghindarinya sejak dulu. Dalam hati, Derra membenarkan ucapan kakaknya. “Derra juga membandingkan Bagas dengan Dion. Kakak bilangin, laki-laki itu tidak suka dibanding-bandingin Derra. Nggak ada suami yang senang dibanding-bandingin. Derra kalau dibanding-bandingin juga bete kan? Sekarang kakak tanya, apa Bagas pernah membandingkan Derra dengan wanita lain? Dengan istri orang lain?” Tatapan Giandra begitu menghujam dan Derra pun semakin tercekat. Selama ini Bagas tak pernah membandingkannya dengan wanita lain. Sedikitpun tak pernah, bahkan Bagas kesal saat Derra membawa-bawa nama Laras. Derra menggeleng. “Apa Bagas pernah berkata kasar atau nyakitin Derra secara fisik?” Giandra bertanya lagi. Derra menggeleng kembali. “Bagas itu suami yang baik Derra. Kamu harusnya bersyukur memiliki suami sepertinya. Tadi kamu kesini pamitan ama Bagas nggak?” Derra mendongakkan wajahnya dan menatap kakaknya tanpa berani bersuara. Dia tahu dia bersalah karena tak berpamitan dengan Bagas dan pergi begitu saja meski Bagas sudah mencegahnya. “Kamu nggak pamitan ya ama dia?” Giandra sudah menebak adiknya datang ke rumahnya dalam keadaan emosi karena sedang bertengkar dengan Bagas. Derra mengangguk. “Sebaiknya kamu pulang, minta maaf pada Bagas.” Derra melirik kakaknya, “minta maaf? Derra yang minta maaf?” Giandra menggeleng, “minta maaf lebih dulu bukan berarti salah Der, tapi dalam upaya memperbaiki hubungan. Menurut kakak, kalian harus intropeksi lagi. Masing-masing kalian memiliki kesalahan, harus saling minta maaf dan memaafkan.” Derra tahu, dia juga bersalah. Tapi dia selalu gengsi untuk minta maaf lebih dulu. Derra menyanggupi nasihat kakaknya. Dia berencana untuk segera pulang dan minta maaf pada Bagas. ****** Derra melajukan mobil, masuk ke halaman rumahnya. Derra turun dari mobilnya dan matanya menyisir pada mobil Bagas yang masih terparkir di garasi, itu artinya Bagas tidak keluar rumah. Derra mengucap salam dan terdengar balasan salam dari dalam. Derra melangkah menuju sumber suara, di dapur. Ia melihat suaminya sedang mengiris bawang merah. Mata mereka beradu sejenak. Tak ada kata terucap. Derra melangkah mendekat. Mereka saling menatap. Bagas menghentikan aktivitasnya. Derra menghambur ke d**a bidang Bagas dan melingkarkan tangannya di pinggang Bagas. Kepalanya terbenam pada d**a suaminya. Bagas terkesiap. “Maafin Derra mas.” Ucap Derra lirih masih sambil menyandarkan kepalanya di d**a Bagas. Bagas mengusap kepala istrinya dengan lembut. “Nggak apa-apa Der. Mas juga salah. Mungkin mas terlalu maksain kehendak mas tanpa memahami perasaan Derra.” “Derra juga salah karena egois, merasa benar sendiri. Derra sadar, mas Bagas hanya melakukan tugas mas sebagai suami untuk membimbing Derra. Terimakasih udah ngingetin Derra mas dan udah bersabar menghadapi Derra.” Bagas mengangkat dagu istrinya. Senyum terlukis dari bibirnya. “Mas nggak akan nyerah untuk bimbing kamu. Mas juga pingin Derra nggak nyerah ngadepin mas yang mungkin suka nyebelin dan nggak bisa ngertiin Derra. Mas akan berusaha untuk lebih memahami Derra.” Derra tersenyum. Bagas mengecup kening Derra begitu dalam. Derra memejamkan matanya. Hatinya bergetar seakan teraliri rambatan cinta yang begitu besar dari suaminya. Bagas kembali merengkuh Derra dalam pelukannya. ”Mas sayang Derra...” Ucap Bagas mengeratkan pelukannya. Segaris senyum melengkung ke atas, “Derra juga sayang mas..” ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN