11. Cekcok

1615 Kata
Bagas’s POV Sebelum tidur, aku dan Derra terbiasa untuk pillow talk terlebih dulu, membicarakan apa saja. Dan rasanya sekarang saat yang tepat untuk membicarakan soal cipika-cipiki itu. Aku berpikir sejenak, bagaimana memulai pembicaraan ini. Aku takut Derra bakal tersinggung. Kami saling menatap. Derra memerhatikan wajahku lekat, seakan tengah berusaha membaca ekspresi wajahku. “Ada apa mas? Ada yang pingin disampein?” Aku menghela napas sejenak, “iya Der. Ini soal penampilan Derra di acara talk show gosip itu.” “Ada yang salah dengan penampilan Derra?” Derra menyipitkan matanya. Aku menggeleng, “hmm...Mas ingin komentar soal Alfaz.” “Ada apa dengan Alfaz mas?” Raut wajah Derra tidak seramah tadi. Dia juga terlihat begitu penasaran. “Mas nggak suka cara dia menjabat tangan Derra. Dia cipika-cipiki. Mas rasanya keberatan. Mas nggak suka lihatnya.” Derra menghembuskan napas perlahan, “Derra juga nggak nyangka dia cipika-cipiki. Kan yang penting bukan Derra yang memulai. Lagipula ini hal biasa mas. Kecuali kalau pelukan, ciuman, itu baru masalah.” Ada sesuatu yang membakar perasaanku kala kudengar dengan gampangnya Derra mengatakan hal ini sebagai hal yang biasa. “Hal yang biasa? Bagaimana mungkin Derra memandang hal ini adalah hal biasa? Kalian bukan mahram, sentuh-sentuhan dengan mudahnya. Mas dulu waktu belum nikahi Derra, meski mas cinta banget sama Derra tapi mas bisa nahan diri buat nggak nyium Derra, termasuk cipika-cipiki. Waktu awal nikah, kita pernah membicarakan soal ini. Kamu sepakat untuk nggak cipika cipiki ama non mahram.” “Mas, Derra juga nggak pingin cipika-cipiki ama Alfaz. Tadi itu siaran live mas. Masa iya Derra tiba-tiba nolak atau minta dia buat nggak cipika cipiki. Kenapa sih hal seperti ini saja dipermasalahkan?” Nada bicara Derra sudah terdengar tidak mengenakkan. “Mas rasa penting untuk dibicarakan Der. Okey waktu on air, Derra nggak berani nolak, takut menyinggung, tapi di off air kan bisa dibicarain. Mas rasa Alfaz pasti bisa ngerti. Semua bisa dibicarain baik-baik kok. Misal Derra bilang ke Alfaz, Alfaz maaf banget ya, cipika-cipiki yang tadi jangan diulang lagi ya, soalnya kita kan bukan mahram. Pasti dia ngerti kok.” Derra mengusap wajahnya. Aku bisa melihat kekesalan di wajahnya. “Kenapa sih mas ribet banget? Mas terlalu posesif. Hal kayak gini aja bisa bikin mas cemburu.” “Wajar kalau mas cemburu. Mas rasa nggak ada satupun suami yang rela istrinya disentuh cowok lain, dicium pipinya.” Derra beranjak dan menatapku dengan tatapan penuh amarah. “Dicium gimana mas? Orang cuma nempelin pipi. Bener-bener mas Bagas keterlaluan banget.” Derra mengambil layar smartphonenya. Dia sibuk memainkan smartphonenya, entah sedang apa. Sesaat kemudian Derra menjatuhkan smartphonenya di ranjang. “Silakan dibaca mas. Derra udah kirim WA ke Alfaz.” Derra melangkah keluar. Aku terpekur. Kuambil smartphonenya dan k****a pesan WA-nya untuk Alfaz. Maaf Alfaz, aku mau ngomong sesuatu. Lain kali jangan cipika-cipiki lagi ya kalau ketemu aku. Suamiku nggak suka lihatnya. Kita kan bukan mahram. Moga kamu nggak tersinggung dan bisa ngerti. Aku keluar kamar. Kulihat Derra duduk di sofa sambil mengganti-ganti channel televisi. Aku duduk di sebelahnya, agak jauh darinya. Derra tak bergeming dan tak menolehku. “Der, ini semua demi kebaikanmu juga. Mas punya tanggungjawab buat membimbing kamu.” Derra menatapku tajam. Tatapannya begitu menghujam. Aku masih melihat raut kekecewaan di wajahnya. “Mas, temen Derra banyak yang punya affair dengan rekan satu profesi, ada yang sama produser, sutradara. Banyak yang habis syuting itu nggak langsung pulang, tapi clubbing dulu. Atau ada pula yang janjian nginep di hotel bareng, di apartemen. Sedang Derra, Derra berusaha banget untuk menjaga batasan. Derra belum berhijab tapi selalu berusaha pakai baju yang sopan. Derra nggak punya affair dengan siapapun, Derra berusaha menjaga hati buat mas Bagas. Kenapa kok semua yang Derra lakuin itu selalu saja salah dan kurang di mata mas Bagas. Derra bukan orang yang sempurna mas. Mas juga udah paham banget kerjaan Derra kayak gimana sejak sebelum nikah. Dan rasanya aneh, mas Bagas baru komplain ini itu setelah kita nikah.” Aku melihat mata Derra berkaca. Malam ini seakan dia meluapkan semua yang mengganjal hatinya. “Dulu mas belum jadi suami Derra, gimana mau komplain. Mas nggak punya hak buat menyampuri urusan Derra. Setelah nikah, mas punya kewajiban buat bimbing Derra.” “Selalu saja seperti itu alasannya. Seolah mas memanfaatkan pernikahan ini untuk mengatur ini itu, membatasi ruang gerak Derra.” Mendengar tuduhan Derra bahwa aku memanfaatkan pernikahan untuk mengaturya, rasanya aku tak bisa terima. “Der, kok bicaramu semakin melantur. Mas nggak pernah memanfaatkan pernikahan untuk mengatur atau membatasimu. Mas rasa Derra paham bagaimana kewajiban dan hak suami istri dalam pernikahan. Kenapa Derra seolah-olah nggak terima dikasih tahu yang bener ama mas?” Derra beranjak dan berdiri. Dia menatapku dengan tampang kesalnya. “Mas selalu merasa benar dan Derra selalu saja mas nilai salah. Kalau mas berharap istri yang sempurna, itu nggak ada di Derra mas.” Aku ikut berdiri akhirnya, atmosfer terasa semakin panas. Derra belum juga mengerti dan salah mengartikan sikapku. “Mas nggak nuntut kamu untuk jadi sempurna kok. Mas juga bukan suami yang sempurna. Tapi suami istri itu harus saling mengingatkan kan? Kita sama-sama memperbaiki diri, saling mengingatkan dan belajar bareng. Bukan soal tentang sempurna, siapa yang salah dan siapa yang benar. Dari awal mas cuma ngomongin masalah cipika-cipiki kenapa pembahasan ini jadi melantur begini?” Derra menggeleng, “mas yang mancing pembicaraan ini jadi melantur. Derra mesti gimana? Apa yang Derra lakuin selalu saja salah di mata mas.” Kutarik napas perlahan dan kuhembuskan pelan-pelan, “mas udah bilang ini bukan tentang siapa yang salah dan benar Der. Coba Derra mau dengerin mas dari awal, belajar istiqomah berhijab, mas yakin orang akan lebih menghormati Derra. Cowok-cowok bakal pikir ribuan kali untuk cipika-cipiki sama Derra.” “Oh jadi inti permasalahannya karena Derra belum berhijab kan? Ini yang selalu memicu keributan kita. Kalau memang mas pingin istri berhijab, kenapa mas Bagas nggak nikahin Laras aja waktu itu.” Aku tersentak mendengarnya. Dia seolah lupa, dia yang datang menangis saat tahu aku akan melamar Laras. Dia yang menjadi alasanku membatalkan lamaranku. Sekarang dia malah mengungkit kejadian itu dan mempertanyakan kenapa aku tidak menikahi Laras waktu itu. Ini benar-benar aneh. “Tuh kan, kebiasaan Derra memanjangkan masalah dengan membahas hal lain. Jangan ungkit hal yang telah berlalu Der. Apalagi bawa-bawa pihak lain dalam pembicaraan kita.” Intonasi suaraku sudah meninggi. Aku tak suka Derra membahas soal ini. Derra terdiam. Dia kembali menatapku tajam. “Wajar kalau akhirnya Derra bahas soal yang lalu. Mas Bagas selalu bahas-bahas hijab. Wajar kalau Derra akhirnya inget ama sosok Laras. Mas mungkin nyesel karena nggak jadi nikahin dia.” “Astaghfirullah...” Aku cuma beristighfar. Bisa-bisanya Derra berpikir kalau aku menyesal nggak jadi menikah dengan Laras. “Mas itu menikahimu karena mas emang memilihmu Der. Mas nggak suka kamu bawa-bawa Laras dalam masalah kita. Dia nggak ada hubungannya ama yang sedang kita bicarakan. Tolong jangan ngelantur kemana-mana. Mas nggak pernah menyesali pernikahan kita, nggak menyesali kenapa nggak nikahin orang lain. Jangan-jangan Derra yang menyesal nikah ama mas. Menyesal karena mendapat suami yang menurut Derra suka ngatur nggak support Derra.” “Mas kok malah jadi balik nuduh Derra yang menyesal. Udahlah Derra capek mas. Setiap pulang kerja selalu saja cekcok. Derra pingin istirahat. Seenggaknya hargai Derra. Derra nggak mau ribut-ribut sepulang kerja.” Derra masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Aku tertegun. Kembali kuucap istighfar dan duduk. Selalu saja setiap kali mengingatkan Derra selalu saja disalahartikan. Kalau aku tidak ingat bahwa pernikahan ini adalah sarana ibadah, mungkin aku memilih menyerah dan membiarkan Derra melakukan apa yang dia suka. Tapi aku tak bisa lepas tangan begitu aja. Aku mencintai Derra dan aku tak bisa membiarkannya melangkah di jalan yang benar. ****** Derra tampak mondar-mandir sembari mengangkat telpon. “Apa? Baik, saya sebenarnya kecewa, tapi saya bisa apa.” Derra menatapku masih dengan raut wajah juteknya. “Lihat mas, PH membatalkan memasang namaku di film terbaru mereka karena mereka lebih mempertahankan Alfaz. Mereka berencana memasangkan Derra dan Alfaz di film terbaru. Syutingnya insya Allah baru dilaksanakan lima bulan lagi. Derra bahkan udah dapet naskah skenarionya mas. Dan gara-gara WA Derra ke Alfaz tadi malam, Alfaz mengundurkan diri karena nggak mau dipasangkan ama Derra. Alfaz takut mas Bagas nggak terima karena ada adegan genggaman tangan. Akhinya PH meminta Alfaz buat nggak mundur, dan mereka menyoret nama Derra. Peran Derra bakal digantiin ama Marsha. Puas kan mas? Mungkin setelah ini, PH lain bakal pikir-pikir lagi minta Derra main di film mereka karena Derra punya suami yang posesif.” Setiap kata yang meluncur dari bibir Derra terdengar begitu pedas dan terdengar seperti menyalahkanku atas pembatalan kontraknya. “Kamu nyalahin mas Der? Mungkin peran ini emang nggak baik buat kamu karena ada adegan genggaman tangan. Kenapa nggak melihat ini dari sisi positifnya.” Derra membulatkan matanya, “sisi positif apa mas? Nilai kontrak film ini fantastis. Disutradari oleh sutradara terbaik dan artis-artis pendukungnya juga rata-rata memiliki kualitas akting yang bagus. Mas sadar nggak sih? Ma pelan-pelan udah membunuh karir istri sendiri.” Derra mengambil tas selempang dan kunci mobil. “Mau kemana Der? Kita belum selesai bicara.” Aku setengah berteriak padanya. Derra tak bergeming. Dia melangkah menuju pintu. “Derra mau ke rumah kak Gian.” Aku mencoba mengejar. “Der mas mohon kita bicara lagi.” Derra tak menjawab. Dia masuk ke dalam mobilnya dan melaju meninggalkan pelataran rumah. Kuusap wajahku dan beristighfar berkali-kali.. Ya Allah kenapa jadi runyam begini. Sekarang dia ke rumah kakaknya, mungkin mau mengadu. Diantara kakak-kakaknya yang lain, Derra paling dekat dengan kak Giandra. Beri hamba kesabaran ya Allah dan bukalah hati istri hamba untuk kembali memikirkan semuanya dan memilih jalan yang benar. Jauhkan dia dari kemaksiatan. Ketika lisanku tak lagi didengarkan, doa menjadi kekuatan terakhir untuk menjaganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN