8. Imam yang Baik

769 Kata
Author’s POV Bagas menilik meja makan yang kosong, tanpa ada lauk. Bahkan magic com-nya juga kosong. Di hari Minggu ini Derra tetap berangkat syuting, berangkatnya pagi buta dan baru akan kembali malam. Derra tak sempat memasak. Bagas memaklumi pekerjaan istrinya yang super sibuk hingga kadang dia tak sempat untuk memasak atau membersihkan rumah. Untungnya Bagas tipikal suami yang mau berbagi tugas. Mereka terbiasa bekerjasama mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Bagas mencuci beras sebelum dimasak di magic com. Selanjutnya ia menggoreng telur dadar. Bagas sedang kurang mood memasak menu yang lengkap. Makan sendiri itu rasanya tak enak. Padahal saat dia masih melajang, tak masalah makan sendiri. Tapi setelah menikah, makan sendiri berasa sepi dan tak enak karena sudah terbiasa makan bersama istri. Seharian di rumah begitu membosankan bagi Bagas. Untuk mengisi hari libur, Bagas lebih banyak bereksperimen dengan bonsainya. Banyak kolektor tanaman bonsai yang menjadi pelanggannya. Omset usaha jual beli bonsai ini cukup besar, bahkan melebihi gaji Bagas sebagai guru. Meski tetaap saja penghasilannya masih di bawah Derra, namun Derra tak pernah mempermasalahkan. Derra baru pulang ke rumah setelah jam delapan malam. Bagas menyiapkan nasi dan capcay serta ayam goreng. Ia sengaja memasak sore untuk menyambut kepulangan Derra, barangkali Derra belum makan. Seusai mandi dan berganti pakaian, Derra duduk-duduk di ruang tengah bersama Bagas. Sebenarnya ia begitu lelah dan ingin tidur, namun rasanya ia ingin meluangkan waktu sekedar berbincang dengan suaminya karena seharian ini mereka tak bisa melewati quality time bersama. Selain itu Derra ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Bagas. “Derra makan dulu ya, mas udah masak capcay dan nasi goreng.” Bagas menatap lembut istrinya. “Derra udah makan di lokasi syuting mas. Kalau makan jam segini ntar gendut.” Ada sedikit nada kecewa di raut wajah Bagas, “padahal mas udah nyiapin semuanya, ya meski menunya sederhana.” Derra merasa bersalah juga jika tak memakan masakan yang sudah dipersiapkan Bagas untuknya. “Okey deh Derra mau makan, tapi mas temeni ya.” Bagas mengulas senyum, “ya mas juga belum makan.” Seusai makan malam, Derra mengajak Bagas berbincang karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. Lidahnya serasa kelu, tapi dia harus mengatakannya juga. “Mas.” “Ya Der ada apa?” “Aku dapat tawaran iklan shampo. Kontraknya untuk dua tahun. Syaratnya nggak boleh pakai hijab. Derra kan belum sepenuhnya pakai hijab, masih belajar, kalau Derra menerima tawaran ini gimana?” Bagas tersentak. Ditatapnya Derra begitu serius. “Dua tahun? Selama dua tahun itu Derra nggak akan pakai hijab? Der, kita nggak akan tahu berapa lama lagi kita hidup kan? Apa Derra bisa menjamin sampai dua tahun ke depan, Derra masih dikasih napas untuk bernapas?” Derra menunduk. Dia tampak menimbang sesuatu. “Toh Derra kan belum full berhijab. Nilai kontraknya besar mas. Kayaknya sayang kalau nggak diambil.” “Lebih besar mana nilai kontraknya, atau pahala setelah berhijab? Hijab itu kewajiban Derra. Namanya kewajiban apabila ditanggalkan akan berdosa. Emang kontrak iklan shampoo bisa dipakai buat bayar dosa?” Derra memijit pelipisnya, “kan maksud Derra menerima tawaran itu sambil menunggu Derra benar-benar mantap untuk berhijab.” Bagas menatap Derra lembut, “emang Derra mantapnya kapan?” “Ya Derra juga nggak tahu.” Bagas menarik napas pelan lalu menghembuskannya. “Kalau mas keberatan gimana? Mas pingin Derra mantepin hati buat berhijab.” Derra terpaku. Dia memang memiliki keinginan berhijab tapi untuk berhijab total rasanya Derra belum siap. “Derra marah ya? Mas punya kewajiban untuk membimbing Derra. Mas cuma mengingatkan.” “Ya tapi kan mas juga mesti ngertiin Derra. Derra belum siap untuk berhijab full karena banyak pekerjaan yang menuntut Derra untuk nggak berhijab.” Bagas membisu. Dia tak akan bisa memaksa Derra meski dalam hati ia sangat ingin melihat Derra mengenakan hijab. “Mas marah ya?” Bagas menggeleng, “mas nggak marah tapi merasa gagal. Selama mas belum bisa melembutkan hati kamu untuk total berhijrah, mas belum tenang. Ini semua mas lakukan karena mas sayang ama Derra. Lagipula namanya pekerjaan atau rizki kan bisa diupayakan tanpa harus melanggar aturan agama. Derra lebih berat memilih pekerjaan diibanding memilih melaksanakan kewajiban sebagai muslimah.” Derra tercenung, “maafin Derra mas. Derra merasa belum benar-benar siap.” Hening... Suasana mood Bagas sedang tidak begitu bagus, begitu juga dengan Derra. Apalagi Derra merasa kelelahan seharian syuting. Jika Derra memaksa untuk bicara lagi dengan Bagas, ia takut emosi yang akan lebih banyak bicara. “Mas, Derra ngantuk banget. Kita bicara lagi besok ya.” Derra beranjak dan melangkah menuju kamar. Bagas sibuk dengan pemikirannya sendiri. Ia tahu, dia dan Derra begitu berbeda dan ia tak akan menyerah untuk membimbing istrinya di jalan yang Allah ridhoi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN