Ruang kerja Ferdi telah beralih rupa menjadi lanskap senyap yang seolah lupa pada waktu. Malam menempel di jendela kaca seperti embun hitam yang jatuh perlahan dari langit. Di tengah ruangan, Ferdi duduk bekerja. Matanya menatap layar laptop tanpa benar-benar melihat, seolah pikiran dan tubuhnya telah lama bercerai jalan. Andini masuk. Gaun tidur satin berwarna biru kabut. Rambutnya digelung malas, seolah ia baru bangun dari mimpi dan langsung melangkah masuk ke dalam dunia Ferdi tanpa transit. Di tangannya, nampan perak kecil berkilau di bawah cahaya lampu, membawa teh melati yang hangat dan dua potong cake mungil—manis, sederhana, penuh kasih. “Kamu belum tidur,” ucapnya, suaranya seperti melodi malam yang sedang menyisir dedaunan. Ferdi menoleh, senyum tipis. “Menunggu satu alas

