Andini melangkah masuk ke gedung pusat Martenez Corp. Hari Senin pagi, dia mulai bekerja. Ferdi memberinya posisi.
Andini senang. Meski dia dulunya karyawan, sekarang dia kembali dengan tampilan dan status yang berbeda. Rambut disanggul rapi, setelan blazer putih gading, tas tangan hitam elegan, dan langkah yang tidak terlalu cepat, tapi pasti.
Di belakangnya, seorang asisten pribadi yang baru ditunjuk oleh Ferdi mengikuti. Namanya Nabila, seorang gadis pendiam yang tajam dan teliti.
“Selamat pagi, Ibu Wakil,” bisik Nabila sebelum pintu lift tertutup.
Andini hanya menjawab dengan senyum tipis.
Ia tidak butuh denting sepatu hak tinggi untuk mengumumkan kekuatannya. Keheningannya sudah cukup untuk membuat ruang rapat jadi panik.
Ruang Rapat Eksekutif diadakan di lantai 8. Terdapat dua belas kursi utama. Sebelas sudah terisi. Di antara mereka ada Farhat, Jihan, dan Maura (yang kini jadi asisten direktur marketing), serta dua komisaris luar negeri yang baru kembali dari Jepang dan Belgia.
Roy? Masih ada di kursi direktur senior, tapi matanya kuyu. Dia terlihat seperti pria yang tidak tahu apakah ini mimpi buruk atau sindiran halus semesta bahwa kesialan selalu datang tanpa permisi.
Ketika Andini masuk, semua mata menoleh. Beberapa tersentak. Farhat berdehem.
“Maaf, ruang ini hanya untuk rapat Direksi dan Wakil Pemilik Saham. Karyawan biasa atau wanita yang baru dinikahi, tidak layak di sini.”
Andini duduk dengan tenang. Dia meletakkan tasnya lalu menatapnya.
“Halo, aku adalah Wakil Ketua Dewan, serta istri dari pemilik utama saham.”
Jihan menyela, dingin. “Pernikahan dadakan tak membuatmu jadi ahli strategi, Nona.”
Andini tersenyum kecil, lalu mengeluarkan dokumen.
“Benar, tapi menyelesaikan puluhan tugas strategi Roy selama dua tahun terakhir mungkin cukup jadi dasar.”
Semua menoleh ke Roy. Andini tetap bicara.
“Dua tahun juga aku menyusun laporan analisis pasar regional dan menulis ulang proposal ekspansi cabang Bandung, Surabaya, dan Jogja, karena Roy terlalu sibuk, dengan gadis yang akan segera dia nikahi.”
Semua orang diam. Roy mengepalkan tangan, tapi seperti tidak memiliki nyali untuk membantah. Sebab, apa yang Andini katakan adalah kebenaran dan meluapkan amarahnya hanya akan membuat semua terasa benar.
“Aku juga rajin membaca buku-buku kebijakan dan pasar, mengikuti seminar daring atas nama Roy, mengerjakan semua catatan mentoring Pak Yugo dari divisi perencanaan. Karena Roy bilang... ‘yang penting naik jabatan dulu, nanti kamu aku ajak’. Ternyata yang diajak justru, anak dari teman ayahnya.”
Maura mengetuk meja, suara keras.
“Cukup! Ini bukan tempat drama percintaan! Dendam lama harusnya diselesaikan di luar.”
Andini menoleh. Lembut tapi tegas.
“Benar. Ini tempat kerja. Maka mari kita bahas angka, bukan ego.”
Ia membentangkan proyektor dari tabletnya.
Grafik. Angka. Tren pasar. Risiko investasi. Saran strategi pengurangan kerugian Q4.
Andini menjelaskan semuanya dengan suara tenang.
“Aku nggak punya gelar dari luar negeri, tapi aku punya kemampuan yang bahkan orang yang sudah sarjana nggak punya.”
Suasana ruang rapat berubah. Komisaris Belgia mengangguk kecil.Komisaris Jepang mencatat sesuatu. Farhat… diam. Karena angka tak bisa dibantah.
Roy? Kepalanya tertunduk. Rasa malu membuatnya diam.
Setelah rapat selesai, Andini berdiri. Mengancingkan kembali jasnya. Semua orang masih memandangnya dengan mata meremehkan, bahkan bila dia sudah memberikan langkah berani, manusia tidak mudah mengubah wataknya. Andini tahu itu.
“Aku bukan ancaman, tapi juga bukan istri yang duduk manis di rumah menunggu diberi uang. Meski menyenangkan jadi istri yang hanya perlu diam dan belanja, aku ingin melakukan apa yang aku bisa selagi suamiku punya segalanya.”
Ia berbalik. Langkahnya anggun dan Nabila membisik kagum, “Bu… mereka semua diam.”
Andini tersenyum.
“Karena mereka tahu siapa dibelakangku. Ini menyenangkan.”
***
Sore itu, di ruang baca pribadi Ferdi. Langit Jakarta merona oranye, menyorot bayangan panjang ke dalam ruangan yang penuh buku dan aroma kulit tua. Ferdi duduk di kursi kayu mahoni, mengenakan kemeja linen abu dan celana santai. Secangkir teh melati masih mengepul di tangan kirinya.
Andini berdiri di dekat jendela, menyentuh kaca, memperhatikan taman yang tenang. Bajunya kasual tapi mahal—hasil kerja asisten pribadi yang kini tahu seleranya tanpa harus bertanya.
Ferdi menurunkan buku yang tadi dibacanya.
“My loved,” ujarnya pelan, nada suara seperti tawa yang disimpan.
“Adikku bilang... dia mencintaimu.”
Andini tidak menoleh.
Ia hanya menatap langit yang memudar.
“Aku nggak tertarik pada pria beristri.”
Ferdi mengangkat alis.
“Herdi masih bujangan.”
Andini perlahan menoleh. Senyumnya kecil—nyaris manis, tapi juga beracun bagi yang tak siap.
“Aku sudah mendapatkan kakaknya. Untuk apa menerima adiknya yang genit?”
Ferdi tertawa, dalam dan lama. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengangguk.
“Tahu nggak? Plot twistnya, dari semua keluarga, yang genit itu yang paling setia.”
Andini melangkah perlahan, menghampirinya.
Kakinya tidak mengeluarkan suara, tapi keberadaannya membuat ruangan jadi penuh.
“Setia padamu, bukan padaku.”
Ferdi menatapnya. Matanya gelap tapi tenang.
Andini tidak mundur. Justru mendekat.
“Kamu punya banyak orang yang setia pada namamu, tapi aku adalah satu-satunya yang memilihmu, bahkan saat nama itu belum jadi apa-apa bagiku.”
Ferdi menatap wajahnya—lama, nyaris terlalu lama kemudian berkata,
“Kamu tahu, saat aku mengiyakan pernikahan ini… aku kira kalau aku sedang menyelamatkanmu.”
Andini tersenyum, duduk di lengan kursi Ferdi.
“Mungkin, tapi siapa sangka... sekarang giliranku yang menyelamatkanmu dari keluargamu sendiri sebanyak dua kali. Mungkin nambah nanti.”
Ferdi tertawa kecil. “Adikku yang paling setia, sekarang iri pada kakaknya sendiri.”
“Kalau dia menginginkanku maka dia harus belajar satu hal penting.”
“Apa itu?”
Andini menatap mata Ferdi dalam-dalam. Ferdi menatapnya, seperti menunggu.
Andini mencondongkan tubuh, suaranya turun satu oktaf—dingin dan manis:
“Kalau nggak semua keinginan bisa didapatkan. Sekalipun dia merengek, memohon, bahkan berguling di lantai yang dingin.”
Ferdi tak bisa menahan tawa—bukan karena lucu, tapi karena ia tahu bahwa ia sedang duduk serumah dengan bencana paling anggun yang pernah diciptakan dunia.
"Kamu mematikan, My loved."
Andini tersenyum, "bagi orang lain, bagimu nggak."
Ferdi tergelak, "Kamu benar, My loved. Kamu pahlawanku."
Andini tersenyum tipis, rambutnya bergerak terkena angin. Namun Ferdi tetap menatapnya, dengan sorot penuh kekaguman seolah wanita muda di depannya adalah sebuah potret indah yang layak dipandang berjam-jam tanpa merasa bosan.