Bab 7 Panggil aku, Ibu!

1216 Kata
Roy berdiri di ambang pintu dapur, sorot matanya campuran panik, marah, dan ketidakpercayaan. Andini sedang menuang teh ke cangkir porselen, gerakannya terlalu tenang. “Apa yang kamu lakukan sebenarnya?” tanya Roy dengan suara tercekat. “Menjadi istri ayahmu,” jawab Andini tanpa menoleh. “Kamu mengacaukan keluargaku!” “Mengacaukan ya,” gumam Andini sambil meletakkan teko. “Aku nggak nyangka, rencanamu akan berantakan karena aku.” Roy menggertakkan gigi. “Kamu gila. Kamu tidak tahu keluarga ini sangat bahaya.” “Oh ya?” Andini membalik badan, menatap tajam. "Kamu khawatir padaku?” “Jangan main-main, Andini. Selamatkan dirimu selagi bisa!” Andini tertawa pelan, suaranya seperti kaca yang retak di musim dingin. “Manis sekali. Kamu hampir membuatku menangis. Sialnya, kamu yang harus menyelamatkan diri. Balas dendamku baru dimulai.” “Jangan sakiti Melati. Dia calon istriku. Jika ini karena dendam masa lalu, aku minta maaf.” “Maaf nggak akan mengubah bubur jadi nasi.” Andini menatapnya tajam. “Kamu sendiri yang menumpahkan airnya.” Roy terdiam. “Apa maumu?” bisiknya. Andini melangkah mendekat, memiringkan kepala dengan senyum yang menusuk. “Panggil aku, Ibu.” Roy mengejang. Tangannya spontan menangkap pergelangan tangan Andini. “Lepaskan!” seru Andini, berusaha melepaskan diri. “Ibu?” Roy menggeram. “Kita pernah tidur bersama, Andini!” Andini terkekeh, pahit dan indah sekaligus. “Karena saat itu, aku bermimpi menjadi istrimu. Sekarang? Aku kembali sebagai ibu tirimu.” Roy menatapnya seolah tidak percaya. “Aku gak akan melepaskan tanganmu sebelum kamu berhenti. Kau melakukan ini karena marah, kan? Karena aku ninggalin kamu? Kamu masih mau aku, kan?!” Andini berhenti meronta. Tatapannya berubah dingin seperti langit sebelum badai. “Mimpi,” desisnya. “Lepaskan aku, Roy.” “Wah, wah…” Suara Herdi menggema dari balik rak anggur, diikuti tepukan tangan malas. “Ini drama klasik: anak tiri dan ibu tirinya yang nggak akur. Sinetron banget, tapi jujur, aku menikmati ini.” Roy refleks melepas tangan Andini, yang langsung menariknya dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Herdi masih menyeringai. Andini menoleh sesaat, suaranya tenang, tapi menusuk. “Ini baru dimulai, Roy.” Andini pergi, gaunnya berkibar halus, menuju tempat teraman di rumah itu—Ferdi Martenez. Ferdi sedang membaca laporan di ruang kerjanya yang senyap. Jendela besar di belakangnya menampakkan taman malam yang temaram. Pintu terbuka. Andini masuk, langkahnya ringan tapi tidak tergesa. Ia menutup pintu perlahan, lalu duduk di kursi di hadapan suaminya. Ferdi menutup map, menatapnya. Matanya tajam, tapi tenang. “My loved… kamu baik-baik saja?” Andini tersenyum, tapi tidak sampai ke mata. “Ya. Aku nyaris ditangkap anjing.” Alis Ferdi terangkat sedikit. “Roy?” Andini mengangguk. “Dia masih belum bisa membedakan antara rasa bersalah dan rasa memiliki.” Ferdi berdiri, menghampirinya. Tatapannya menuruni lengan Andini yang sedikit memerah, bekas genggaman. “Dia menyakitimu?” “Nggak separah sebelumnya, saat dia membuatku percaya pada mimpi,” bisik Andini. Ferdi diam sejenak, lalu menyentuh dagunya, lembut, tapi tegas. “Kamu sudah bukan gadis yang bisa diganggu, Andini. Kau adalah nyonyaku sekarang. Istriku. Siapa pun yang menyentuhmu sama dengan menyentuh kehormatanku.” Andini mendongak, mata mereka bertemu. “Termasuk anakmu?” Ferdi menatapnya dalam. “Bahkan darahku sendiri tidak lebih tinggi dari wanita yang menyelamatkan hidupku.” Andini tersenyum. Kali ini, tulus. “Kalau begitu… jangan heran kalau aku mulai memperlakukan rumah ini seperti milikku.” “Seharusnya memang begitu,” jawab Ferdi pelan. “Karena mulai malam ini, bukan hanya rumah ini, seluruh keluargaku ada di bawah perlindunganmu.” *** Meja panjang berlapis linen emas. Kristal bersinar dari langit-langit. Di ujung ruangan, berdiri Andini, mengenakan gaun merah marun yang membungkam seluruh komentar pedas dari keluarga Martenez yang tadi pagi nyinyir. Melati duduk di sisi Roy. Lesu. Sorot matanya gelisah. Bekas tamparannya ke pelayan kemarin masih dibahas diam-diam oleh para tante-tante yang menyukai gosip lebih dari dessert mahal. Roy hanya menunduk. Ketika matanya dan mata Andini bertemu, dia seperti anak kecil yang ketahuan mencuri. Ferdi duduk di sisi Andini. Tegap. Tenang dan yang paling penting: berdiri di sisinya. “Malam ini,” ucap Ferdi, “aku ingin memperkenalkan istri baruku. Bukan hanya sebagai pasangan, tapi sebagai bagian dari keluarga—dalam nama, kuasa, dan warisan.” Suara para sepupu mulai berbisik. Tante Jihan meringis. Melati menggenggam gelas terlalu kuat. Andini tersenyum anggun, lalu berdiri, menyentuh bahu Ferdi sejenak. “Aku nggak peduli kalian menerimaku atau nggak, tapi kalian harus menerima kenyataan,” lalu matanya beralih ke Roy. “Dulu, aku mantan pacarmu. Sekarang? Aku nyonya rumah dan ibu tirimu. Kamu harus bertindak hati-hati ke depannya, terutama calon istrimu.” Melati tercekik. Gelasnya jatuh. “Kamu gila!” desis Melati. "Anjing kampung yang sombong." Andini tersenyum, "Anjing kampung sombong yang akan segera menjadi mertuamu." Ferdi tertawa pelan. “Kalau kamu tak bisa menerima kenyataan, Melati, pintu keluar selalu terbuka.” Semua orang diam. Ketika Ferdi sudah bersuara, maka tidak ada boleh lagi ada yang membantah. *** Kamar utama keluarga Martenez dipenuhi aroma lavender dan kayu manis. Andini duduk di kursi rias, melepaskan anting sambil menatap bayangannya di cermin. Ferdi masuk, mengganti jasnya, lalu duduk di sisi ranjang. Diam. Andini menoleh pelan, matanya menatap Ferdi dari cermin. “Kamu nggak batalin pertunangan mereka ” Ferdi tak langsung menjawab. Andini berbalik, berdiri. “Setelah insiden racun, fitnah di pesta, dan bahkan sikap Melati yang jelas tidak pantas…” Ferdi bangkit, mendekat, lalu berkata pelan: “Karena aku bukan hanya seorang ayah, Andini. Aku adalah kepala keluarga Martenez.” Ia menatap mata istrinya dalam-dalam. “Kadang, rantai yang mengikat dua keluarga dan rekan dalam bisnis… jauh lebih rumit dari yang terlihat, my loved.” Andini menelan ludah. "Jadi, aku cuma… bagian dari strategi juga?" Ferdi menyentuh bahunya. “Tidak. Kamu adalah pengecualian yang diselamatkan—dan sekarang, kamu bagian dari kekuasaan itu.” “Gimana kalau aku bilang aku ingin Melati pergi?” “Kamu harus membuatnya jatuh dengan tanganmu sendiri. Dengan cara Martenez.” Andini terdiam. Hatinya bergejolak. Bukan karena cinta—melainkan karena tantangan. “Kamu ingin aku melawan dari dalam.” Andini berdiri membelakangi jendela. Malam sudah dalam, tapi pikirannya belum tenang. Ferdi duduk di kursi kerja, tangan kirinya menggulir dokumen, sementara tangan kanan menggenggam cangkir teh. “Kamu nggak ingin membatalkan pertunangan Roy dan Melati, meski tahu rencana mereka.” Ferdi menoleh perlahan. “Karena aku tak perlu menarik tali… kalau aku bisa membiarkan mereka menjerat leher sendiri.” Andini mendekat. “Kenapa? Bukankah lebih mudah mengakhiri semuanya sekarang?” Ferdi tersenyum kecil. Sorot matanya tajam, tapi tenang. “Bukan melawan, Andini, melainkan membuatnya tersingkir tanpa sadar.” Andini menyipitkan mata. “Apa itu mungkin?” Ferdi bangkit. Ia berjalan mendekat, lalu menyentuh dagu Andini, mengangkatnya sedikit. “Goal tidak akan dihitung sebagai goal jika offside, my loved. Perjanjian bisnis akan hilang bila kontraknya dilanggar.” “Mereka sudah melanggar, tuh." “Belum tercatat. Dunia bisnis tak pernah menyalahkan siapa pun selama belum ada bukti di tangan pihak yang berwenang.” Andini perlahan tersenyum. Bukan senyum manis—tapi senyum wanita yang mulai memahami peta kekuasaan. “Kalau begitu aku hanya perlu membuat mereka bermain sampai salah langkah.” Ferdi menatapnya lama. “Kalau kamu terus begini, aku bisa jatuh cinta padamu betulan.” “Aku nggak keberatan selama itu menguntungkan. Karena aku ingin menang, sekaligus dicintai dengan tulus.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN