Bab 8 Honeymoon atau Ekspansi

1149 Kata
Ferdi sedang membaca laporan bulanan di ruang kerjanya ketika Andini masuk dengan wangi mawar dan raut wajah serius. “Aku mau honeymoon, dong.” Ferdi berhenti membaca, lalu menoleh dengan alis terangkat. “Tiba-tiba? Denganku?” “Kamu suamiku, dengan siapa lagi?” jawab Andini tenang. “Ke mana?” “Tokyo.” Ferdi menyandarkan diri ke kursi. “Kenapa?” Andini duduk di seberang, menyilangkan kaki dengan anggun. Tangannya meletakkan sebuah folder tipis berisi cetakan presentasi dan grafik. “Saat aku menggantikan Roy menyusun proposal bisnis setahun lalu, aku sempat membaca satu proposal yang dia abaikan. Roy bilang itu hanya start-up biasa, tapi aku melihatnya berbeda.” Ferdi membuka folder itu. Matanya menyapu grafik pendapatan, lonjakan investor, dan sistem teknologi masa depan. “Ini sistem keuangan AI yang berbasis blockchain?” Andini mengangguk. “Mereka baru berdiri dua tahun, tapi mereka sudah ditaksir akan menguasai pasar Asia dalam lima tahun. Kita tidak bisa tunggu sampai harga saham mereka meroket. Sekarang saatnya masuk.” Ferdi menatapnya. “Kamu ingin aku menyamarkan kunjungan bisnis ini sebagai honeymoon?” “Bukan menyamar, tapi memadukan.” Andini tersenyum. “Bisnis tetap bisnis. Apa salahnya kamar hotel punya balkon dengan pemandangan Tokyo Tower?” Ferdi menghela napas, perlahan, lalu menutup folder. “Kamu membuatku semakin yakin kalau aku tidak salah menikahimu.” "Serius? Nanti nyesel, lho. Siapa tahu ada udang di balik bakwan.” Ia terkekeh. “Udang di balik bakwan itu enak, aku nggak keberatan mencoba.” "Kenapa?" Andini tersenyum penuh arti, "Karena aku cintamu ya?" Ferdi terkekeh, "Benar, My loved." --- Pagi itu, meja makan keluarga Martenez dipenuhi aroma roti panggang, kopi hitam, dan ketegangan terselubung. Ferdi duduk di kursi utama, koran belum dibuka. Di sampingnya, Andini—dengan pakaian linen santai dan rambut dicepol elegan. Ia baru saja menyesap jus jeruk ketika Ferdi meletakkan sendoknya dan berkata tenang: “Mulai lusa, aku dan istriku akan pergi ke Tokyo.” Langit seakan pecah. Semua kepala menoleh. Melati menjatuhkan garpunya. Roy menegang. “Tokyo?” ulang Farhat. “Untuk… apa?” “Bulan madu,” sahut Ferdi ringan, seolah itu hal paling wajar di dunia. Maura nyaris tersedak. “Ke… Jepang? Untuk bulan madu? Serius?” Andini menatap mereka dengan senyum tenang, lalu mengangkat gelas jusnya sedikit. “Apa salahnya memulai pernikahan dengan kenangan manis di tempat indah?” “Itu buang-buang uang,” sergah Jihan cepat. “Apalagi di tengah kondisi seperti ini—perusahaan sedang banyak proyek…” “Justru karena itulah, kami butuh istirahat sejenak,” ujar Ferdi tanpa menoleh. “Aku ingin menghabiskan waktu dengan istri baruku. Itu hak kami, bukan?” “Boleh aku ikut?” sela Herdi tiba-tiba. “Aku suka sushi.” Andini tersenyum manis, tapi sorot matanya tajam. “Maaf, hanya untuk pasangan sah. Nyamuk nggak diundang masuk.” Melati menggigit bibir. Roy berdiri, lalu pergi tanpa sepatah kata. Andini kembali menikmati sarapannya, seolah dunia baik-baik saja. *** Ferdi sedang memeriksa koper di ruang kerja pribadinya—sebuah ruangan besar penuh rak buku dan lukisan tua. Ia memilih dasi, seolah bepergian hanya sekadar ke pertemuan bisnis. Pintu diketuk cepat. Roy masuk tanpa diminta. “Papa, bisa bicara sebentar?” Ferdi meliriknya, lalu kembali melipat kemeja. “Cepat saja. Aku masih menyusun barang.” Roy menutup pintu. Suaranya lirih tapi tegang. “Papa… tolong tunda perjalanan ini. Ini terlalu mencolok.” “Mencolok?” Ferdi menaikkan alis. “Aku menikah, Roy. Aku akan bulan madu. Apa itu masalah?” “Masalahnya siapa yang papa nikahi! Dia mantan pacarku. Sekarang papa membawanya ke Tokyo seolah—seolah kalian pasangan muda!” Ferdi tersenyum kecil, datar. “Kamu sendiri yang membuangnya. Aku hanya memungut apa yang kamu injak tanpa melihat nilainya.” “Papa, hal ini akan membuat Melati makin tertekan. Orangtuanya sudah mempertanyakan banyak hal! Jika papa terus menunjukkan Andini ke publik seperti ini... bisnis keluarga bisa terdampak.” Ferdi berhenti, lalu menatap Roy penuh wibawa. “Kamu ingin melindungi bisnis keluarga? Aneh, karena minggu lalu kamu mencoba meracuniku.” Roy tertunduk, rahangnya mengeras. “Aku tidak akan mengampunimu, Roy. Aku juga tidak akan memenjarakanmu. Itu cukup sebagai kemurahan hati. Jangan melanggar batasmu lagi.” Suara pintu pelan terbuka. Andini masuk—rambut diikat simpel, wajah segar, dan membawa paspor Ferdi. “Sayang, ini paspormu dan tiket sudah dicetak.” Ia melirik Roy sejenak, lalu menatap Ferdi lagi dengan lembut. “Kalau kamu butuh dasi biru tua, sudah aku setrika. Aku taruh di koper sisi kanan.” Ferdi mengangguk, menerima paspor itu tanpa bicara. Andini tersenyum sopan pada Roy. “Oh, kamu di sini. Jangan khawatir, aku akan menjaga ayahmu. Dengan baik sekali.” Roy mengepalkan tangan, lalu menatap ayahnya. “Papa benar-benar akan pergi? Di tengah kekacauan ini?” Ferdi menjawab tanpa melihatnya. “Kekacauan itu kamu yang ciptakan. Jadi aku berangkat... untuk sedikit kedamaian.” Andini menyandarkan diri di kusen pintu, lalu menambahkan pelan. "Siapa tahu, mungkin kami kembali membawa oleh-oleh... yang membuat posisi VP milikmu terancam.” Roy menoleh cepat, tapi Andini hanya tersenyum dan melangkah keluar dengan langkah ringan. Ferdi menutup koper dan berkata. “Jangan ganggu kami, Roy. Anggap ini... hukuman kecil dari dunia yang terlalu lama kamu tipu.” *** Pagi itu, langit cerah seperti sengaja merestui keberangkatan pasangan paling dibicarakan dalam keluarga Martenez. Sebuah mobil hitam panjang terparkir di depan rumah utama. Andini turun lebih dulu. Ia mengenakan mantel putih gading dari wol halus, kacamata hitam tipis dengan bingkai emas, dan rambut disanggul rendah. Di tangannya, koper berlogo mahal tampak ringan saja, dibawa seolah ia sudah biasa hidup dalam keanggunan. Ferdi menyusul—berjas abu-abu, scarf di leher, dan tatapan yang tidak menjelaskan apapun, tapi membuat semua diam. Dua pelayan membuka pintu utama, tapi yang menunggu di tangga justru bukan keluarga besar—hanya Roy, Melati, dan Herdi yang sedang duduk santai di pagar. “Pagi yang dingin untuk orang yang baru jatuh cinta,” gumam Herdi, menyunggingkan senyum lebar. Andini melirik ke arah Roy dan Melati yang berdiri seperti patung. Ia membuka kacamata, menatap langsung. “Pagi. Kalau ingin mendoakan keselamatan kami, lakukan sekarang. Kami sedang baik hati.” Melati mencibir pelan. Roy diam. Ferdi menoleh pada supir, “Bawa koper ke bagasi.” lalu ia bicara keras, cukup untuk semua mendengar: “Kami akan berangkat ke Tokyo untuk bulan madu.” Melati menegang. Roy nyaris bicara—tapi Andini lebih dulu menambahkan, setengah berbisik: “Dan... mungkin pulang dengan sesuatu yang akan mengguncang silsilah Martenez.” Herdi tertawa keras, menepuk lututnya. “Wah, aku tidak mau melewatkan berita itu!” Ferdi hanya menarik tangan Andini, membimbingnya masuk mobil seperti seorang raja membawa permaisurinya. Andini menoleh sejenak sebelum duduk. “Jangan lupa minum vitamin, Melati. Stres bikin cepat tua.” Mobil melaju pelan, menyisakan jejak parfum mawar dan kekalahan yang menyakitkan. Mereka pergi dan seperti yang Andini katakan malam sebelumnya. “Kemenangan bukan tentang berteriak, melainkan ketika langkahmu cukup tenang untuk membuat semua musuhmu tak bisa tidur.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN