Lampu kabin diredupkan, dan suara mesin pesawat menjadi satu-satunya denting waktu yang terdengar di antara mereka. Di ketinggian tiga puluh ribu kaki, Andini duduk dengan punggung tegak, tubuhnya dibalut blazer krem lembut. Rambutnya diikat rendah, dan di pangkuannya tergeletak folder hitam berisi cetakan data yang tak ingin ia buka di layar.
Ferdi di sampingnya duduk lebih rileks. Kemejanya dilonggarkan, dasinya digulung rapi di lengan. Matanya sesekali melirik ke arah wanita muda di sebelahnya yang sejak awal penerbangan belum bicara banyak. Ia tahu ini bukan bulan madu biasa, dan wanita di sebelahnya juga bukan istri biasa.
Andini memejamkan mata. Ini bukan penerbangan pertamanya. Dulu dia pernah ke Malaysia bersama Roy. Tetap saja, dia sedikit gugup.
"Rasanya aku mau muntah," ujar Andini sembari menutup mata.
"Mau aku mintakan obat?"
"Nggak usah, aku hanya ingin kamu bersiap andai aku memuntahkan cairan pelangi."
Ferdi tergelak pelan.
"Kamu akan baik-baik saja, My Loved."
Andini tak menjawab, masih berusaha tenang.
“Oh iya, aku sudah mengatur pertemuan dengan CEO mereka untuk lusa. Presentasi awal akan dilakukan secara informal di lounge mereka.”
Ferdi hanya mengangguk. “Jadi meski berkutat dengan rasa mual, kamu sudah menyiapkan agenda?”
“Aku selalu penuh rencana begitu memutuskan melakukan sesuatu, lho,” jawab Andini agak sombong.
Ferdi menggeser sedikit tubuhnya, bersandar lebih dalam. “Aku tidak ragu soal itu. Ini akan jadi keputusan besar bagi kita dan perusahaan.”
Andini membuka folder perlahan. “Justru karena besar, aku mengusulkan ini langsung padamu. Gimanapun, kita nggak boleh kehilangan kesempatan.”
Andini membuka matanya lalu menoleh ke arah Ferdi yang sedang memperhatikannya. “Kenapa?”
“Kamu cantik," ujar Ferdi membuat Andini reflek meringis.
"Lebai, deh. Aku cuma mau membuktikan bahwa aku ini istri yang keren, berbakat dan harusnya dipilih bahkan dengan statusku yang dianggap rendah."
Ferdi tidak menjawab. Ia mengambil satu selimut dari pramugari yang lewat, lalu meletakkannya di pangkuan Andini tanpa komentar. Perhatian kecil yang tidak perlu dibalas dengan ucapan terima kasih.
Andini menerimanya dengan senang hati. Lagipula orang di sebelahnya adalah suaminya. Dia tidak perlu sungkan atau besar hati dengan hal itu. Ferdi memang baik hati, begitulah yang dipikirkan olehnya.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Ferdi lalu berkata pelan, “Kamu tidak takut? Kalau analisismu salah?”
Andini tidak menoleh. “Takut nggak ada di kamus hidupku. Aku hanya menghitung dan sudah mengukur risiko sejak Roy membuang proposal ini tanpa membacanya penuh.”
Ferdi mengangguk. Senyumnya samar.
“Aku menikahi seseorang yang bisa melihat celah yang bahkan wakilku dulu abaikan. Itu sudah cukup buatku ingin duduk di ruangan yang sama saat kamu menekan lawan bicaramu.”
Andini menutup folder dan bersandar sejenak. “ Kalau dia bijak, dia akan tahu nilaiku sebelum memutuskan ngebuang aku demi wanita lain.”
"Maka, kamu harus jadi ratu, bukan pion atau kuda."
Andini tersenyum, "Aku istrimu."
Ferdi tergelak, "Roy sudah kalah hanya karena itu."
"Benar, kalau dia sadar diri." Andini menutup mulut, mualnya kembali.
"Tidurlah, My loved."
Andini mengangguk patuh.
---
Setelah melalui imigrasi dan pengawalan hotel, mereka masuk ke suite lantai 26. Kamarnya mewah tapi tidak mencolok, dengan balkon menghadap Tokyo Tower. Satu kamar dengan satu single bed ukuran besar. Mereka tidak tidur terpisah, Bagaimanapun, alasan mereka datang adalah untuk berbulan madu. Akan sangat membuat gempar bila mereka diketahui memesan dua kamar. Lagipula sejak awal, Andini tidak bermaksud melarikan diri. Dia sudah memilih menjadi istri, maka dia harus menjalankan peran itu dengan baik.
Saat Ferdi menyalakan mesin kopi kapsul, Andini berdiri di balkon, menatap malam Tokyo yang tenang, tapi penuh potensi.
Ferdi mendekat sambil membawa dua cangkir. Ia memberikan satu pada Andini.
“Secangkir kopi pahit untuk wanita manis dan cantik.”
Andini menerima cangkir itu lalu meminumnya seteguk. “Terima kasih. Manisnya menyebar dari bibirku.”
Ferdi tergelak.
“Besok, kamu yang akan bicara pada mereka,” ujar Ferdi. “Aku ingin mendengar langsung bagaimana kamu menyampaikan peluang ini.”
“Pilihan bagus, karena kamu akan makin menyukaiku setelah itu.”
Ferdi menoleh. “Kamu sangat percaya diri, My loved.”
Andini menatap pantulan lampu di cangkir kopinya. “Aku mampu.”
Ferdi tersenyum kecil, "Buktikan."
"Siapa takut? Aku Andini Martenez."
---
Pagi berikutnya, mereka masuk ke ruangan modern di kantor kecil di distrik Minato. CEO muda dari perusahaan teknologi finansial itu berdiri gugup, menyalami Ferdi dan Andini dengan campuran rasa hormat dan kecemasan.
Andini yang mulai bicara. Sederhana. Tenang. Setiap kalimatnya terukur, setiap istilah teknisnya tepat. Ia tidak sedang mencoba mengesankan—ia hanya menunjukkan bahwa ia sudah memahami bisnis ini sebelum orang-orang di seberangnya mengerti potensinya.
Ferdi duduk diam sebagian besar waktu. Ia tidak perlu bicara banyak. Ia hanya mengamati bagaimana Andini berbicara dengan kepercayaan diri yang dibangun dari pembacaan data dan intuisi.
Setelah pertemuan selesai, dan pihak start-up keluar lebih dulu dari ruangan, Ferdi menatap Andini dan berkata pelan, “Kamu memang tidak salah menilai mereka.”
Andini mengangguk. “Kita harus bertindak sebelum investor besar dari Taiwan menyentuh mereka. Waktu kita mungkin cuma dua minggu.”
Ferdi menyelipkan tangan ke dalam saku. “Kamu tahu apa yang kamu lakukan.”
“Aku hanya tidak ingin kamu melewatkan kesempatan emas yang pernah anakmu buang dulu.”
Ferdi mendekat pelan. Tatapannya tajam, tapi tidak menekan. “Andai Roy tahu kamu yang duduk di kursi ini, dia mungkin akan minta waktu untuk berpikir ulang.”
Andini hanya menoleh perlahan. “Sayangnya, dia tak lagi punya waktu itu.”
Ferdi tersenyum penuh arti.
"Hm, My loved." Ferdi bergumam pelan. Andini tahu itu berarti sesuatu. Apalagi Ferdi mengatakan itu setelah Ferdi melihat ponselnya.
"Apa terjadi sesuatu?"
"Belum."
"Kalau gitu nanti akan terjadi sesuatu?" tanya Andini.
"Mungkin."
Andini menggandengkan tangannya pada lengan Ferdi. Pria tua itu menyambut dengan hangat.
"Kamu nggak keberatan aku melakukan ini?"
"Kamu istriku."
"Benar, jadi ini wajar, kan?"
"Tentu saja."
Mereka mulai berjalan perlahan dengan Andini menggandeng lengan Ferdi erat.
"Aku akan melihat data begitu kita sampai di hotel." Andini terlihat bertekad.
Ferdi menyunggingkan senyuman, "Aku tidak mengatakan apapun."
"Aku tahu senyumanmu berarti sesuatu."
"Nggak juga."
"Iya, karena kamu pemain lama, sedangkan aku pemain baru." Andini mengakuinya, perbedaan pengalaman di antara mereka. Namun, itu bukan berarti dia akan mudah dijatuhkan. Bertahun-tahun Andini sudah belajar bagaimana memainkan taktik. Walau dulu motivasinya adalah untuk membuat Roy naik ke jabatan tertinggi, sedangkan sekarang adalah menjaga dirinya sendiri dari siapapun yang berniat menjatuhkannya.
"Kamu terlihat tegang, My Loved. Tersenyumlah, penyusup baru di ambang pintu." Ferdi berucap lirih.
Andini mempererat genggaman tangannya di lengan Ferdi.
"Maka, kita harus bermain drama."
"Jika itu keputusanmu, aku ikut."