Bab 10 Show Case

1018 Kata
Tokyo malam itu berhias cahaya neon dan udara awal musim semi yang menusuk dengan tenang. Di atas gedung pencakar langit kawasan Roppongi, sebuah restoran bergaya Prancis-Jepang menjadi tempat di mana banyak cerita dilahirkan—termasuk satu cerita yang belum tentu benar. Ferdi dan Andini memasuki ruang makan utama dengan langkah tenang. Ia menggandeng lengan Andini seolah mereka pasangan yang sedang jatuh cinta. Andini mengenakan gaun hitam elegan dengan coat putih panjang dan rambut disanggul rendah. Wajahnya tak berubah—tenang, datar, tapi cukup anggun untuk membuat semua mata di ruangan menoleh. “Lepas mantelnya, My loved,” bisik Ferdi pelan, sambil sedikit mencondongkan tubuh. “Biar mereka lihat bidadari dari Jakarta.” Andini menoleh tipis. Pipinya bersemu merah. "Aku nggak nyangka kamu bisa romantis dan gemar pamer pasangan sendiri.” Ferdi menyunggingkan senyum. “Biar semua orang iri karena aku punya istri secantik bidadari.” Andini tersenyum tipis. Pagi ini, dia menemukan fakta yang menarik. Kenyataan kalau ada mata-mata yang dikirim salah satu dari Keluarga besar, entah siapa. Andini menyadarinya, tapi dia tahu, sebuah pertunjukan harus dimainkan. Untungnya Ferdi adalah tipe yang bisa bekerjasama tanpa banyak bertanya. Itu mungkin saja perasaannya, tapi pria matang memang mengesankan. Tidak perlu alasan, hanya sebuah kesiapan yang ditawarkan olehnya. Seorang pelayan membukakan kursi. Mereka duduk di tepi jendela kaca besar yang memperlihatkan siluet Tokyo Tower dari kejauhan. Dari sudut kanan, dua meja tampak memperhatikan—bukan pelanggan biasa. Andini dan Ferdi tahu. Kini kecurigaan Andini terbukti dan Ferdi semakin mengagumi sang istri. Tangan Ferdi meraih gelas anggur, lalu mengangkatnya sedikit ke arah Andini. “Untuk keberanianmu membawaku ke kota ini.” Andini menangkup gelasnya. “Untuk keberanianmu ikut rencanaku.” Mereka menyesap pelan. Kamera ponsel dari meja sebelah menyala diam-diam. Andini tidak menoleh. Ia memutar gelasnya perlahan, lalu menyandarkan tubuh, memainkan peran. “Kalau aku menyuapi kamu malam ini, nggak keberatan, kan?” ucap Ferdi ringan, separuh tertawa. “Bebas, aku senang,” jawab Andini, menyentuh lengan Ferdi sebentar, "Suapi aku sampai kenyang ya.” Ferdi mengambil satu potong sashimi dari piringnya, lalu menyuapkan perlahan ke arah Andini. Gerakannya lembut, ekspresinya terlihat tulus. Andini menerima suapan itu dengan senyum tipis yang terlihat sempurna di bawah lampu kristal. Salah satu pelayan yang lewat memandangi mereka sekilas, lalu membisikkan sesuatu pada rekannya. Tidak butuh waktu lama untuk informasi seperti ini beredar. Satu pasangan, CEO dan istri mudanya, sedang berbulan madu dengan sangat… hangat. Beberapa saat kemudian, di antara musik piano yang lembut, Ferdi berkata sambil menyeruput anggur, “Apa kamu tahu? Kita terlihat seperti pasangan bahagia. Kamera mana pun akan percaya.” Andini menatapnya, matanya dingin tapi berkilat. “Kita serasi nggak cuma di kamera, kok. Mereka harus tahu itu.” Ferdi mengangguk pelan. “Kita memang serasi. Anakku yang bodoh itu sudah membuang berlian demi sebongkah emas imitasi.” "Kamu kejam, deh." "Roy nanti pasti paham pesonamu." Andini tersenyum, tajam. “Dia nggak perlu paham. Cukup menderita saja.” Senyum Ferdi berubah menjadi geli. “Kamu tahu? Aku mulai menikmati ini.” “Aku juga,” balas Andini pelan. “Permainan ini semakin seru.” Ferdi menyunggingkan senyuman, "Aku setuju." "Kamu terlihat seperti pemain yang nggak mau berhenti meski musuh sudah menyerah." Ferdi terkekeh. "Jika seru, tentu rasanya sayang kalau berhenti di tengah jalan." "Iya, sih." Andini setuju. Setelah makan malam, mereka turun dari restoran dengan langkah lambat, berjalan menuju mobil yang menunggu. Beberapa kamera diam-diam mengikuti, mungkin dari tim media, atau mungkin dari seseorang yang membayar cukup mahal untuk mendapat gambar eksklusif. Di balik jendela mobil, Ferdi membuka setelan jasnya perlahan. “Besok kita mulai pembicaraan angka dengan mereka. Kamu siap?” “Aku selalu siap. Tapi...” Ferdi menoleh. “Tapi apa?” Andini menyandarkan kepala ke sandaran mobil, pandangan lurus ke depan. “Kalau aku terlalu baik memainkan peran istri sempurna malam ini… Aku takut lupa diri. Tolong nanti kamu ingatkan siapa aku sebenarnya.” Ferdi menatapnya sejenak. “Kamu tidak perlu diingatkan. Kamu tahu siapa dirimu. Itulah kenapa aku membawamu ke meja negosiasi, bukan ke ranjang kosong.” Mereka tiba di hotel. Kamera menunggu. Ferdi turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Andini. Saat menggandeng tangan istrinya masuk ke dalam lobi, ia membisikkan dua kata dengan suara yang nyaris tak terdengar: “My loved.” Andini menggenggam erat balik, lalu menjawab dengan senyum. “Suamiku terlalu manis malam ini, ya?” Semua orang yang melihat mereka berpikir. Mereka bahagia. Mereka pasangan sempurna. Ferdi dan Andini berjalan pelan melewati lobi hotel. Cahaya lampu gantung menyinari jalan mereka seperti sorotan panggung. Di belakang konter resepsionis, dua petugas berbicara singkat dalam bahasa Jepang—mata mereka tak lepas dari pasangan yang sedang menuju lift. Ferdi dan Andini tahu. Mata-mata sudah menunggu pertunjukan terakhir. Di depan lift, Ferdi berhenti. Ia berdiri tegak, lalu menatap Andini lama—dalam diam yang tidak diisi romansa, melainkan kesepakatan tanpa suara lalu tangannya mengangkat dagu Andini perlahan. Wajahnya mendekat. Andini tidak bergeming. Tidak menolak. Tidak memejamkan mata. Ia hanya diam, seperti pion yang tahu betul bahwa gerakan ini bukan untuk hati—melainkan untuk papan. Ciuman itu singkat. Penuh kendali. Tepat di bibir. Bukan dalam atau liar, tapi cukup untuk memicu ledakan interpretasi dari siapa pun yang menyaksikannya. Klik. Suara lembut dari kamera saku seorang pengintai. Cahaya kilat yang hampir tak terdengar, tapi sudah cukup untuk menciptakan berita. “Ferdi Martenez dan istrinya tertangkap berbagi momen intim di Tokyo. Pasangan ini tampak mesra selama bulan madu mereka.” Lift terbuka. Ferdi masih menatap Andini lalu berbisik pelan, tepat saat pintu mulai menutup: "Kalau mereka ingin menyaksikan cinta, kita beri mereka satu babak yang akan mereka ulang di ruang rapat.” Andini menatap lurus ke depan. Tidak marah. Tidak bingung. Hanya menjawab satu kalimat dengan tenang: “Aku harap mereka percaya. Karena kalau mereka ragu... kita harus mencium lebih lama lain kali.” "Aku menantikan itu." "Kamu nakal." Pintu lift menutup. Perang citra sudah dimenangkan—tanpa satu pun peluru dilepaskan. Semua orang yang melihat mereka malam ini mungkin berpikir. Mereka bahagia. Mereka pasangan sempurna. Tidak ada yang tahu, apa yang baru saja mereka lakukan adalah babak pertama dari rencana yang akan menghancurkan beberapa orang—secara total.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN