Malam menyelimuti kamar hotel seperti kabut halus yang menolak pergi. Jendela besar memperlihatkan kota Tokyo dalam titik-titik lampu yang berkelip seperti bintang yang turun dari langit.
Ferdi duduk di sisi tempat tidur. Rambutnya masih basah, disisir ke belakang. Ia tidak langsung mengenakan piyama seperti biasanya—entah kenapa, tubuhnya terasa hangat, padahal udara dari pendingin ruangan masih menyentuh kulitnya dengan dingin yang biasa.
Di meja baca, Andini masih bekerja. Lampu kecil di sudut menciptakan bayangan samar di dinding, membingkai wajahnya yang serius dengan nuansa keemasan. Jemarinya menari di atas keyboard laptop, seperti sedang sibuk bekerja.
Ferdi menatap punggungnya lama. Hanya punggung, tapi cukup untuk memantik satu kesadaran kecil yang belum pernah muncul sejak lima tahun lalu.
Ferdi menarik napas, pelan. Dadanya terasa penuh. Bukan sesak, tapi tidak juga nyaman. Ciuman tadi memberinya sebuah kesadaran bahwa dia masih lelaki sejati.
Suara ketukan tombol masih terdengar. Andini belum bicara. Akhirnya Ferdi berdiri, lalu melangkah mendekat. Ia tidak bicara, hanya berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Andini tetap mengetik. Suaranya keluar pelan setelah dia menoleh, “Kamu terlihat gelisah. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
Ferdi tidak menjawab. Andini meletakkan laptopnya.
"Mau menciumku lagi?" tawarnya.
Ferdi tak bergeming, tapi deru napasnya semakin kencang.
Andini maju, meletakkan kedua tangannya di pundak Ferdi.
"Aku istrimu," katanya. "Jangan menahan apapun."
Kalimat yang berbahaya. Ferdi meletakkan tangannya di pinggang Andini lalu memberinya ciuman. Kali ini, mereka melakukanya lebih dalam dan panas.
Lidah mereka saling menari dengan kecupan yang terus berlangsung menjadi sebuah gerakan yang indah, lembut dan memikat.
Ferdi menatap Andini dalam.
"Ini cukup untuk malam ini."
"Beneran?" godanya.
"Kamu nggak terganggu dengan yang barusan?"
Andini menggeleng.
“Aku lebih terganggu dengan data investor yang belum diserahkan oleh CFO tim mereka.”
Mereka berpisah. Andini kembali duduk di depan laptop sedangkan Ferdi duduk di sampingnya.
“Kita perlu menyiapkan proposal gabungan sebelum lusa.”
Ferdi tersenyum kecil, "kamu sangat serius."
“Harus, dong. Aku bisa saja cuma jadi istri yang siap di rumah, shopping dan menemani anda di ranjang, tapi aku lebih suka bekerja. Diam hanya membuat tulangku encok.”
Ferdi terkekeh pelan, "Kamu masih muda Andini."
Andini tidak menjawab.
"Aku harus begadang, apa kamu mau ditemani tidur atau bisa tidur sendiri?"
"Aku bukan anak kecil, lho."
"Tapi kamu kayak merengek minta di nona bobo," gurau Andini.
"Haha, nggak. Teruskan pekerjaanmu, aku akan tidur lebih dulu."
Ia hanya berjalan pelan ke tempat tidur, lalu naik ke sisi yang biasa ia tempati. Ia berbaring dengan punggung menghadap Andini.
“Selamat malam, My loved.”
“Selamat malam, Cintaku.”
***
Ruang konferensi lantai 15 dipenuhi cahaya putih yang bersih dan suara laptop yang baru dinyalakan. Pihak start-up datang lebih dulu—tiga orang muda dengan mata berbinar, tapi raut yang tidak sepenuhnya percaya diri. Salah satunya CEO, pria awal 30-an dengan jas kusut dan tangan yang tak bisa diam.
Ferdi dan Andini datang tiga menit dari waktu janjian. Andini mengenakan setelan abu-abu lembut, rambut disanggul tinggi. Ferdi, seperti biasa, mengenakan jam mahal yang tak perlu ditunjukkan.
Tidak ada senyum dan basa-basi.
Andini meletakkan map di atas meja, lalu bicara sebelum tangan pihak lawan sempat menyentuh cangkir kopi.
“Kami sudah mengecek ulang angka kalian. Terdapat ketidaksesuaian pada laporan Q2 dan revisi terakhir yang Anda ajukan via email semalam. Apakah Anda ingin menjelaskan langsung, atau kami perlu memanggil tim hukum dari Jakarta?”
CEO muda itu menegang. Tangannya berhenti bergerak.
Ferdi menatap diam dari sisi meja, tidak ikut bicara. Kehadirannya seperti dinding yang tidak bisa ditembus.
Salah satu dari mereka mencoba menjelaskan, tapi Andini memotong tanpa suara meninggi.
Tolong jangan sampaikan apa yang tidak bisa Anda pertanggungjawabkan. Saya menghargai transparansi lebih dari retorika. Ini bukan pitching. Ini akuisisi.”
Ia lalu membuka laptopnya, menampilkan simulasi aliran investasi dalam bentuk grafik tiga dimensi. Suaranya tetap datar:
“Jika kalian bersedia menyerahkan 25% saham non-voting kepada kami dalam enam bulan pertama, kami akan menyuntik dana tahap pertama. Kami juga akan melindungi founder rights Anda dalam klausul terpisah—jika dan hanya jika tidak ada pengaburan data lanjutan.”
“25%? Itu—” CEO muda dengan kepala setengah botak itu tak sempat menyelesaikan.
Ferdi akhirnya bicara. Suaranya dalam, tenang, tapi membuat suhu ruangan turun beberapa derajat.
“Itu murah, dibandingkan dengan nilai yang akan kami bawa. Tanpa kami, Anda punya waktu hidup dua tahun. Dengan kami, Anda akan dicatat sebelum akhir tahun.”
Keheningan jatuh sejenak.
Andini menutup laptopnya dengan pelan. “Saya sarankan Anda jangan membuang waktu kami. Jika ada start-up lain yang menunggu di ujung kota, saya bisa mengganti arah investasi dalam satu sore.”
Mereka saling pandang. CEO itu mengangguk pelan, seperti pria yang tahu bahwa dia sudah kalah sebelum pertempuran dimulai.
Setelah pertemuan, Ferdi dan Andini berjalan keluar tanpa menoleh. Di lift, Ferdi akhirnya membuka suara.
“Kamu nggak membiarkan mereka bernapas.”
Andini tidak menoleh. “Jangan lebai, deh. Oksigen masih banyak.”
“Mereka takut padamu.”
“Takut adalah awal dari tunduk. Itu bagus.”
Ferdi menatap pantulan Andini di dinding lift. Ia tidak lagi melihat ‘istri’—ia melihat lawan yang sepadan.
Mungkin, itu yang membuat dadanya terasa sedikit sesak.
Malam merayap masuk tanpa suara. Tokyo di luar jendela masih hidup, tapi kamar hotel tempat mereka tinggal berubah menjadi panggung senyap yang lebih tajam dari ruang negosiasi manapun.
Ferdi duduk di tepi ranjang. Andini berdiri di dekat jendela, punggungnya tegak, pandangannya tak fokus pada kota di bawah sana.
“Apa rencanamu selanjutnya?” tanya Ferdi, datar.
Ia menoleh ke arah Andini, perlahan.
"Mereka akan bergerak?"
“Farhat… atau mungkin Surya, ayah Melati. Mereka sudah mendengar tentang ini. Jaringan mereka lebih luas dari yang kamu kira. Juga… aku sudah setuju berinvestasi. Laporannya akan tiba di meja mereka dalam satu malam.”
Andini tidak bergeming. Ia menoleh dengan senyum tipis, hampir seperti menyambut lelucon kecil.
“Permainan akan menyenangkan kalau seeu” katanya. “Karena mungkin mereka bisa tahu, tapi tidak bisa melakukan apa pun.”
Ferdi menatapnya lebih lama dari biasanya.
“Jadi… selanjutnya apa?”
Andini berbalik sepenuhnya. Langkahnya mendekat, perlahan, seperti bayangan yang tahu arah sebelum tubuhnya tiba.
“Mari kita buat penerus, cintaku.”
Ferdi tidak langsung menjawab. Tatapannya berubah dalam dan ragu.
“Kamu mau sekarang? Nggak capek?”
Andini mendekat, lalu menatap matanya lurus.
“Karena mereka menyadap kita, Cintaku.” Dia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.
Ada jeda.
Ferdi menegang. “Apa maksudmu?”
“Aku melihatnya pagi ini,” jawab Andini datar. “Pelayan meletakkan sesuatu di belakang pot dekat minibar. Kamera kecil. Mungkin ada audionya juga. Mungkin mereka menunggu… sesuatu.”
Ferdi menatapnya seolah sedang menilai, bukan sebagai istri, tapi sebagai aktor utama dari panggung yang tak pernah ia sangka akan ia jalani.
“Kamu gila. Malu, dong.”
Andini tersenyum.
“Ngapain malu? Mereka yang pengen melihat kita.”
“Kita tidak harus benar-benar melakukannya kalau kamu tiba,-tiba sakit pinggang,” lanjutnya, masih dengan nada yang sama tenangnya.
“Cukup rangkul, cium lalu matikan lampunya.”
Suara Andini masih rendah, berusaha agar tidak sampai terdengar siapapun.
Ia mendekat, membisik di dekat telinga suaminya, “Aku akan bersuara… seolah kita sedang menyelam dalam surga yang sudah lama nggak kamu cicipi.”
Suasana mendadak senyap.
Ferdi mendengus, "kamu menyebalkan kadang."
Andini tersenyum tipis.
"Mari mulai dengan ini," katanya lalu mencium Ferdi.
Ferdi membalasnya dengan ganas.
Di luar, lampu Tokyo terus berkelip. Di dalam, dua orang sedang tenggelam dalam drama yang tidak disangka memiliki penonton kehormatan.