Ruangan itu dingin. Dindingnya abu-abu, lampunya redup. Tak ada jendela, tak ada jam. Hanya meja logam di tengah ruangan dan kursi keras di dua sisinya. Vano duduk di sana. Tangan di pangkuan, wajah pucat, rambut berantakan. Jas dokternya sudah dicopot sejak ditangkap, digantikan kemeja kusut dengan satu kancing lepas di bagian leher. Pintu berderit terbuka. Herdi masuk. Langkahnya tenang, tapi dinginnya menusuk seperti pisau di udara malam. Vano mengangkat kepala, lelah. “Kamu mau apa lagi?” Herdi menarik kursi dan duduk di seberangnya. Tidak membawa map. Tidak membawa senjata. Hanya membawa tatapan tajam—cukup tajam untuk menguliti kebohongan. "Aku tidak akan bicara," tegas Vano keras kepala. “Apa kamu tahu berapa lama arsenik bisa membunuh seseorang dalam dosis mikro?” tanya Her

