Ferdi sedang menatap laporan di ruang kerja saat Andini masuk. Langkahnya tenang, tangan menggenggam map tipis. Ia tak menunggu dipersilakan duduk—karena posisi duduknya kini sudah sah.
"Suamiku..."
"Hm...?"
“Boleh aku minta sesuatu?” tanyanya pelan, dengan nada malu sedikit manja.
Ferdi meletakkan pena. “Apa yang kamu mau, My loved?”
Andini menatap langsung ke mata Ferdi. Tidak mengulur, tapi tidak terlalu cepat juga.
“Aku mau jamuan makan.”
Ferdi diam. Dahinya sedikit berkerut.
Andini tersenyum pelan. Ia tahu reaksi itu akan muncul.
“Pernikahan kita mungkin tanpa resepsi,” lanjutnya, “tapi aku perlu diperkenalkan.”
“Pada siapa?”
“Putramu, tunangannya dan seluruh keluarga yang kalian banggakan."
Ferdi bersandar ke kursi. Tatapannya mulai dalam.
“Kamu tahu mereka tidak akan mudah menerima. Kamu mungkin akan ditolak dengan kejam.”
“Aku nggak minta diterima, aku hanya mau pengakuan.”
Suara Andini jernih, tanpa gemetar, tapi dengan geming yang menusuk.
“Aku nggak sudi berdiri di balik pintu, apalagi dicap selingkuhan oleh anakmu sendiri. Dia yang bermain api, tapi aku yang dicap sebagai pelaku. Itu nggak adil.”
“Kamu ingin menginjak mereka?”
“Nggak.”
Ia menatap Ferdi lekat.
“Aku ingin dia tahu kalau aku bukan semut di bawah sepatu.”
Ferdi tertawa kecil, pendek, tapi dengan ketertarikan yang tak bisa disembunyikan.
“Kamu bukan serangga, kamu lebih berharga dari mereka.”
“Itu artinya kamu setuju, kan?"
Ferdi berdiri, mendekat, mengambil secarik kertas, dan menulis tanggal.
“Sabtu depan. Jam tujuh malam. Rumah besar di Taman Suryanata.”
Ia menatap Andini dengan nada datar, tapi ada rasa ingin tahu di matanya.
“Kamu ingin diperkenalkan?”
“Aku ingin seluruh dunia tahu bahwa aku sekarang istrimu.”
Andini melangkah keluar dengan kepala tegak.
Di belakangnya, Ferdi menatap punggung wanita itu dan bergumam sendiri.
“Roy akan seperti cacing kena alkohol malam itu." Tawanya keluar.
Selama ini, Roy selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Sekarang, putranya bertemu lawan yang sepadan.
***
Rumah besar di Taman Suryanata berdiri seperti kastel tua yang lupa caranya tersenyum.
Lampu-lampu kristal menggantung, para pelayan mondar-mandir dengan nampan dan tatapan netral.
Meja makan memanjang, piring-piring berkilau, gelas-gelas kristal disusun presisi.
Di tengah segala kemewahan itu—Andini masuk. Gaunnya biru gelap. Sederhana. Tapi garis bahunya, cara ia membawa leher, dan langkah anggun
menjadikannya sosok yang tidak mungkin disepelekan.
Ferdi sudah duduk di kursi utama. Ia bangkit saat melihatnya.
“Kamu datang tepat waktu.”
“Tuan rumah dilarang telat, Cintaku,” sahut Andini pelan, senyum tipis di bibir.
Roy duduk tiga kursi dari ayahnya.
Melati di sampingnya, menggenggam tangan Roy seolah sedang menggenggam kartu kredit.
Wajah Melati berubah saat melihat Andini seperti melihat bayangan masa lalu yang tak berhasil dikubur dalam-dalam.
“Itu nggak mungkin,” bisiknya.
“Mereka beneran menikah,” sahut Roy dingin. “Ayahku memperistrinya.”
“Kamu tidak bercanda?”
“Andai aja bisa.”
Andini duduk. Ia memilih kursi di samping Ferdi. Sebelah kanan. Kursi seorang istri.
Semua mata tahu kalau itu bukan kursi kosong. Itu pernyataan.
Percakapan dimulai. Formalitas. Keluarga besar Martenez bicara soal saham, proyek, cucu, dan kebun anggur. Namun, suasana tidak benar-benar hidup.
Andini mendengarkan, hanya tersenyum, tidak banyak bicara hingga seorang pelayan datang membawa wine. Botol mahal. Label emas.
Andini memandang cepat—dan melihat detail kecil yang tak pas satu gelas diisi dari botol yang berbeda. Warna merahnya sedikit lebih pekat dan hanya satu gelas itu... yang ditujukan untuk Ferdi.
Matanya menangkap tangan pelayan. Getar. Gerakan menuangnya... terlalu disengaja.
“Sebentar,” ucap Andini.
Semua kepala menoleh. Pelayan itu membeku.
Andini berdiri, mengambil gelas dari baki, lalu mencium aromanya. Ia mendekat ke Ferdi dan berbisik, “Apa biasanya kamu minum wine dengan kadar buah berbeda di meja utama?”
Ferdi mengernyit. “Nggak, tuh.”
“Kalau begitu, aku akan menjadi pahlawanmu sekali lagi.”
Ia menenggak habis wine itu, sebelum siapa pun bisa menghentikannya.
Lima detik. Sepuluh detik. Melati panik. Roy menggertakkan gigi.
Andini tersenyum. “Cherry asam dan ekstrak akar pahit. Zat penenang ringan, efeknya lambat… tapi cukup untuk membuat Anda tampak mengantuk dan tak sadar penuh.”
Ia menatap si pelayan, yang kini sudah gemetar.
“Siapa yang menyuruhmu?” suara Andini rendah, nyaris berbisik.
Pelayan itu menggigit bibir. Napasnya putus-putus.
“Saya… tidak sa...” Matanya bergerak. Sekilas. Singkat, menuju seseorang di ujung meja. Dia melihat ke arah Melati.
Saat itu pula...
“PLAKK!!
Segelas minuman mendarat di wajah pelayan itu. Wajahnya basah dan bau anggur.
“Beraninya kamu!” teriak Melati.
Tanpa aba-aba, Melati menyambar baki dan memukulkan tepinya ke pelayan itu. Tubuhnya jatuh menghantam lantai. Nampan berdering. Suasana sunyi sebentar. Tak menyangka, sebuah tragedi akan muncul dalam sekejap mata.
“Kamu kurang ajar! Berani melakukan ini pada calon mertuaku? Sialan!”
Semua orang berdiri. Roy menahan napas.
Pelayan itu hanya merintih pelan, darah tipis di sudut bibirnya. Dia jelas tidak melawan, meskipun tangannya terlihat mengepal dan bibirnya seakan ingin meneriakkan sesuatu. Saat Melati hendak mengangkat tangan sekali lagi, Andini menangkapnya.
Satu tangan. Tegas dan tak tergoyahkan. Melati sampai terdiam, tenaganya kalah pada Andini. Dia terpojok.
“Jangan berlebihan,” ucap Andini dengan tenang.
“Yang hendak dibius adalah suamiku. Jangan bertingkah seolah kamu yang akan celaka.”
Melati membeku. Darahnya mendidih, tapi tak bisa melawan genggaman yang entah kenapa lebih kuat dari rasa bersalahnya.
Andini menatapnya, senyumnya tipis, tapi matanya dingin.
“Tindakanmu terlalu cepat seperti cicak yang ingin memutus ekornya saat dalam bahaya.”
Melati menarik tangannya. Roy bergerak mendekat.
“Papa, ini jebakan! Andini ingin mempermalukan kami!”
Ferdi berdiri perlahan. Sosoknya menjulang seperti bangunan kepercayaan yang tak bisa disangkal.
“Kalau dia ingin mempermalukan kalian, dia tidak perlu racun untuk menjebak kalian.”
“Apa maksudmu, Papa?” tanya Roy tajam.
“Dia hanya perlu berdiri di sini. Di kursi istriku. Semua itu sudah cukup.”
Semua orang diam karena apa yang dikatakan Ferdi adalah sebuah kebenaran. Jika Andini mau, dia bisa melakukan apa saja. Sebab, sebagai istri Ferdi. Semua orang tidak akan berani melawan atau menunjukkan permusuhan. Sebab, melawan Andini artinya mereka juga siap untuk melawan Ferdi. Mereka tidak akan pernah memusuhi Ferdi. Meski sudah tidak lagi muda, dia masih sang Penguasa.