Hari sudah malam ketika Andini tiba di rumah keluarga Martenez. Andini berdiri di depan pintu rumah mewah bergaya kolonial. Di belakangnya, tas kecil berisi seluruh hidupnya. Dia anak kos, bawaannya sedikit, sisanya dijual cepat dan diberikan cuma-cuma ke tetangga sebelah.
Bel dibunyikan. Ferdi membuka pintu sendiri. Itu mengejutkan karena Andini mengira pelayan akan membuka pintu untuknya mirip di drama atau film yang dilihatnya di televisi.
Ferdi mengenakan pakaian santai. Aura CEO-nya tak berubah. Meski sudah ada kerutan, wajahnya tetap tampan.
“Selamat datang di rumah,” sapanya.
Andini melangkah masuk. Tangga marmer. Lukisan tua. Ruang tamu yang terlalu sunyi. Di sudut, potret keluarga: Ferdi, Roy, dan mendiang istri. Andini menatapnya sejenak.
“Kalau istrimu tahu kamu menikah lagi, aku harap dia nggak nangis.”
Ferdi menjawab datar.
“Kalau dia melihat Roy hari ini, mungkin dia akan memukulnya dulu sebelum menangis.”
Andini tertawa pelan. Bukan geli melainkan lega.
Malamnya, Roy datang. Ia tidak mengetuk. Ia menerobos.
Di ruang tamu besar, ia melihat pemandangan paling menyakitkan seumur hidupnya. Ayahnya duduk santai dan Andini berdiri di belakangnya, mengenakan gaun rumah putih sederhana tapi dengan lambang keluarga Martenez di bordir dadanya.
“Kalian gila…” gumam Roy, setengah tak percaya.
Ferdi menoleh pelan. “Ada apa, Nak?”
“Ayah tahu siapa dia?! Wanita itu mantan pacarku!”
Ferdi mengangkat alis. “Oh ya? Bukankah kamu bilang padaku bahwa kamu dan Melati sudah dua tahun bersama?”
Andini tersenyum pelan. Senyum seseorang yang bisa membongkar rahasia dengan satu kebenaran.
“Jadi… kalau hitunganmu benar, aku sudah jadi ‘mantan’ bahkan sebelum kamu melamarnya.”
Roy mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.
“Ini terlalu cepat. Terlalu tiba-tiba.”
Andini menunduk manja ke arah Ferdi, suaranya lunak tapi menusuk.
“Kami saling mencintai. Apa salahnya cinta yang menemukan jalannya sendiri?”
Ferdi menjawab, nadanya tenang, tapi penuh belati di dalamnya.
“Benar. Dia adalah orang yang mengajarkanku rasa cinta sekali lagi.”
Andini terkikik pelan, lalu mencium punggung tangan Ferdi dengan santai.
“Kamu terlalu memuji, Cintaku.”
“My loved,” bisik Ferdi, membalas, “itu pantas untukmu.”
Roy memucat. Ia menatap vas di meja. Tangannya bergerak, ragu. Tapi kemarahan mengalahkan nalar—BRAK!
Pecahan kaca meluncur ke lantai marmer.
“Kalian akan menyesal!” teriaknya. “Papa, dia wanita berbahaya!”
Roy berbalik dan pergi, pintu dibanting seperti gelegar petir terakhir.
Keheningan turun perlahan.
Ferdi menatap pecahan kaca sejenak, lalu menoleh ke Andini.
“Kami waras, Roy… Cinta nggak pernah salah.”
Andini berdiri tegak, matanya masih memandang pintu yang tertutup keras.
“Kasihan. Dia pasti butuh obat migran.”
***
Malam turun dengan pelan, seakan bumi pun ikut menahan napas.
Andini berdiri di depan pintu kamar utama. Gaun putih tipisnya bukan untuk menggoda—hanya karena itu satu-satunya yang dia miliki. Gaun yang dibeli karena mengira dia mungkin akan dinikahi, bukan ditinggal pergi oleh kekasih yang sudah lima tahun di pacari sepenuh hati.
Tangannya menyentuh gagang pintu, dingin seperti nadi yang belum berani berdetak.
Di dalam, Ferdi duduk di tepi ranjang. Lampu meja menyala kuning lembut, memperlihatkan lekuk usia yang tidak menyedihkan—tapi justru menenangkan. Ia memandang Andini seolah memandang seorang negosiator, bukan istri.
“Jadi, istri baru… sudah siap menghadapi malam pertama?”
Andini melangkah masuk. Pelan dan mantap, tapi matanya tidak menunduk.
“Siap atau nggak, aku istrimu sekarang.”
Ferdi tersenyum. Tipis. Tidak hangat, tapi tidak dingin juga.
“Bagus. Aku juga nggak suka wanita yang terlalu tunduk.”
Ia berdiri, menghampiri. Tubuh mereka hanya terpisah udara yang bergetar karena tegang.
Ferdi mengangkat dagu Andini dengan satu jari.
“Kalau dicium saja nggak bisa, Gimana mau bikin penerus?”
Andini tidak mundur.
Tatapannya tidak berani—tapi juga tidak takut.
“Cium aku, Suamiku.”
Ferdi mendekat. Napas mereka bersentuhan sebelum bibir mereka melakukannya. Di jarak nyaris bersentuh itu, Ferdi berhenti.
Bibirnya hanya menyentuh ujung hidung Andini, lalu alisnya dan berhenti di pelipis.
“Kamu nggak gentar. Aku kira kamu bakal gemetar.”
“Aku istrimu.”
Ferdi menghela napas.
“Tapi bukan pelayanku."
"Kamu juga bukan majikan.” Andini tersenyum, "Kita sekutu."
Sunyi menggantung seperti kelambu tak terlihat.
Ferdi berbalik lalu duduk di ranjang, lalu menepuk sisi kosong di sampingnya.
“Tidurlah saja malam ini. Kita nggak harus saling menyentuh malam ini.”
“Besok aja?”
Ferdi menatapnya. Ada ketenangan yang mulai tumbuh dari ragu.
“Kita lihat saja besok.”
Andini berbaring, membelakangi Ferdi. Namun, jantungnya masih menari. Bukan karena takut, melainkan karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya—ia merasa dihargai bukan karena tubuhnya melainkan keberaniannya.
Lampu dimatikan. Namun di ruangan itu, dua harga diri berdampingan. Malam pun berakhir tanpa pertempuran.
***
Cahaya pagi menyusup lembut dari tirai linen abu-abu, menari di atas selimut dan ranjang kosong setengah sisi. Ferdi membuka mata perlahan—dan menemukan dirinya sendirian, Andini sudah bangun.
Udara kamar mengandung aroma melati dan kayu manis. Lembut. Teratur. Seperti ada yang dengan sadar menghapus bau semalam dan menggantinya dengan wibawa.
Di kursi dekat jendela, pakaian kerja Ferdi sudah tergantung rapi. Sepatunya dipoles. Jam tangannya dibersihkan. Bukan pelayan yang melakukannya. Karena semua ini bukan gaya mereka.
Ferdi berdiri, melangkah keluar kamar.
Di koridor, rumah itu sunyi. Saat menuruni tangga menuju ruang makan pribadi, ia berhenti. Terpaku.
Andini duduk di kursi utama meja makan. Bukan kursi tamu, tapi kursi di samping kursi kepala keluarga.
Rambutnya digelung rapi, disisipi jepit perak berbentuk anggrek. Ia mengenakan blus gading satin dan celana panjang elegan berpotongan tegas—mewah, baru, dan jelas bukan milik mendiang istri Ferdi. Label mereknya masih tergantung samar di bagian bawah blus, seolah pesan diam: Aku tidak mewarisi siapa pun. Aku membangun peranku sendiri.
Ferdi menatap lama. Mata Andini menemuinya sekejap—tenang, tanpa basa-basi.
“Sarapanmu masih hangat, Suamiku.”
Ferdi duduk perlahan. “Kamu bangun jam berapa?”
“Sebelum para pelayan. Aku juga minta satu pelayan pergi membelikan pakaian ini—tanpa menyentuh lemari lama.”
Ia mengangkat cangkirnya. “Aku nggak mau memakai pakaian dari orang yang pergi, tapi masih memiliki tempat di hatimu.”
Pelayan masuk, agak gugup.
“Maaf, Nyonya, kami biasanya menyiapkan...”
“Mulai sekarang, aku yang memutuskan ‘biasanya’ di rumah ini.”
Pelayan itu menunduk cepat. “Baik, Nyonya.”
Ferdi hanya diam mengamati semuanya.
“Kamu cepat menyesuaikan diri.”
Andini menoleh. “Aku nggak datang untuk beradaptasi, tapi datang membentuk ulang.”
Ferdi tersenyum tipis, mencicipi tehnya. “Rasanya pas.”
“Tentu. Aku tahu suhu favoritmu dari kepala dapur.”
“Kamu berhasil membuat semua orang mematuhi perintahmu dalam satu malam?”
“Aku hanya memperkenalkan diri dengan cara yang tak bisa diabaikan.”
Ferdi menatap wanita muda di sampingnya. Dulu ia pikir Andini hanya benteng dari dendam dan trauma. Pagi ini, ia melihat istri kontrak yang berani.
“Apa kamu mau jadi ratu, Andini?”
“Aku nggak pernah mengemis mahkota.” Ia menatap Ferdi balik, suaranya lembut tapi berakar.
“Tapi bila seseorang menjatuhkannya, aku nggak keberatan memungut dan membentuk ulang bentuknya.”
Ferdi menyentuh bibir cangkirnya, menahan senyum. Ia tidak pernah menyangka bahwa ‘balas budi’ akan datang dalam bentuk wanita yang bahkan tak membutuhkan belas kasihnya.
Pagi itu, untuk pertama kalinya sejak istrinya tiada, Ferdi merasa rumah itu dimiliki kembali. Bukan oleh hantu, tapi oleh wanita hidup yang bernyali.