Pagi di rumah besar itu tak pernah terasa hangat, meski matahari menyentuh ubin lantai seperti biasanya. Roy mengantarnya sampai gerbang, mencium keningnya sebentar lalu pamit, katanya harus ke kantor lebih awal. Melati melambaikan tangan... hingga mobil itu menghilang di tikungan. Kini ia duduk di meja makan bersama Surya, ayah kandungnya—atau lebih tepatnya, pria yang menyumbang separuh darah dalam tubuhnya, tapi tidak pernah benar-benar menjadi ayah. “Pa…” suaranya pelan, seperti menahan sembilu dalam d**a. “Aku terpojok.” Surya meletakkan sendoknya perlahan. Tatapannya datar. “Kamu menemui rakyat jelata itu?” “Dia hilang,” jawab Melati pelan. “Itu bukan perbuatanku,” Surya menjawab dingin, mengangkat alis. “Kalau dia menghilang, mungkin rentenir atau... seseorang melenyapkannya.”

