Rumah besar itu terasa lengang. Andini berdiri di balkon lantai dua, angin siang menyibak rambut hitamnya yang dikuncir rendah. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, tapi tak ia teguk. Matanya menatap ke kejauhan, ke arah gerbang utama yang baru saja tertutup setelah mobil Roy dan Melati meluncur pergi ke bandara. “Mereka sudah berangkat, Sayang,” suara Ferdi terdengar dari belakangnya. Andini tidak menoleh. “Kamu yakin semuanya sudah siap?” Ferdi mengangguk, menyilangkan tangan di d**a. “Tim Herdi sudah lebih dulu tiba di Bali. Pantauan penuh dan... Vano masih diam. Aku salut dia tetap tidak bicara. Padahal yang dia hadapi Herdi, bukan aku.” Andini tersenyum kecil. Bukan senyum puas, melainkan senyum penuh perhitungan. “Melati akan mencoba sesuatu.” “Pasti.” Ia akhirnya

