Ch-4 Kutukan Sang Pangeran!

1105 Kata
“Jika saja ada seorang ibu yang tinggal di sisiku, ibu dengan sosok yang aku impikan. Ibu yang selalu menggenggam tangan putra-putrinya. Aku ingin sekali menggenggam tangan ibu seperti itu, ibu yang selalu tersenyum hangat menenangkan kegelisahan dalam hatiku. Bukan ibu yang selalu berteriak dan memaki lalu meninggalkanku!” Sejak kedua orangtuanya sering bertengkar di masa lalu, tak jarang Imelda menghardik bahkan tanpa ragu berteriak pada putranya tersebut seolah Rey merupakan anak yang sudah menyebabkan wanita itu mendapatkan kesialan demi kesialan di dalam hidupnya. Saat itu Rey Antoni yang masih kecil hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menangis. Anak yang malang! Rey kecil dengan tubuh gemetar duduk di sudut, dia tidak ingin melihat ibunya lagi. Tatapan kejam, teriakan kasar, makian dia terima. Raut wajah mengerikan penuh amarah, itulah yang menjadi kenangan terakhir Rey ketika bertatap muka dengan sosok Imelda di masa lalu. Satu gelas anggur sudah berpindah ke delam mulutnya. Pipi bersih Rey menggembung penuh dengan minuman yang belum sampai ke tenggorokan. Pandangan matanya mulai terasa berputar, dia sudah tahu beberapa menit atau bahkan hanya dalam hitungan detik tubuh atletisnya sebentar lagi bakalan tumbang jatuh ke lantai. Selanjutnya adalah tugas asisten Rey untuk bekerja keras membawa tubuhnya naik ke lantai atas, menidurkannya di dalam kamar, menyeka keningnya, membersihkan sisa minuman tersebut dari kulit tubuhnya. Sudah lama Rey begitu menderita, dia terus-menerus mengalami masa yang sulit. Tak hanya merasa tercekik dan sulit bernapas tapi juga sulit tidur dengan lelap. Dia selalu terjaga di tengah malam karena mimpi buruk. Imelda sosok ibu yang harusnya dia rindukan, kehadirannya bagai hantu yang akan mengambil jiwanya di tengah malam. Imelda datang setiap malam di dalam mimpinya. Hadir dengan wajah mengerikan dalam kemarahan. Bagi orang dewasa sudah biasa melihat orang lain marah dan berteriak. Tapi tidak untuk si kecil Rey yang baru berusia beberapa tahun. Itu benar-benar bagai badai besar yang harus dia lalui seumur hidup semenjak kepergian Imelda. “Sruuuk! Bruukk! Pyaaarrr!” Seperti dugaan Rey, dia rubuh bersama gelas anggurnya di tengah ruangan. Jika orang asing melihat hal itu pasti mereka menduga Rey pingsan atau sekarat karena keracunan. Hanya dengan cara itu dia bisa memejamkan matanya selama ini. Minum anggur sampai mabuk lalu jatuh tertidur. Asisten Rey yang berada di kediaman tersebut segera membawa tubuh Rey ke lantai atas dengan bantuan penjaga. Dengan susah payah mereka akhirnya bisa tiba di lantai atas, asisten dan penjaga pergi berganti dengan pelayan wanita yang akan menyeka kening serta tubuh Rey dari minuman yang dia tumpahkan di lantai. Kamar Rey, serta semua ruangan dalam pengawasan kamera cctv. Rey tidak mau jika orang-orang yang dia pekerjakan melakukan hal-hal yang tidak dia harapkan ketika dia sedang tidur seperti sekarang. Selama beberapa jam Rey berhasil melepas penatnya karena tidurnya begitu lelap. Namun tidak setelah efek minuman habis, mimpi buruk mulai berdatangan menyerbu. Di dalam mimpinya Rey melihat Imelda membanting benda-benda kaca juga benda-benda keramik tepat di depan matanya. Suara berisik, suara benda-benda berjatuhan hingga hancur menjadi serpihan menjadi momen buruk di dalam ingatan masa lalunya. Setelah menghancurkan perabotan wanita itu menunjuk ke arah wajah Rey, anak kecil itu menangis seraya meremas baju yang membalut dadanya sendiri. Dadanya terasa sesak dan sangat sakit saat mendengar Imelda memarahinya tanpa tahu kesalahan apa yang sudah dia lakukan. "Ini semua kesalahanmu! Seharusnya aku tidak pernah melahirkan mu! Kamu anak sialan yang sudah membuat hidupku berantakan! Jika tidak, maka hidupku tidak harus berakhir bersama pria tua itu!" “Tidak! Tidak! Mama! Tidaak! Maamaaaaaa! Hah! Hah! Hah!” Rey langsung terduduk di atas tempat tidur dengan napas tersengal. Keringat mengucur deras membasahi pelipis, kening, serta piyama tidurnya, pria itu mengambil pemantik beserta sigaret di atas meja seraya beringsut duduk di tepi ranjang. Dengan tangan gemetar Rey mulai menyulutnya, asap mengepul dari bibir tipis pria tersebut. Rey menghisap sigaretnya, tangan kanannya meremas tengkuknya sendiri. “Mimpi ini.. kapan akan berakhir? Wanita sialan! Dia tidak cukup sudah menghukumku di masa kecil, kini masih saja datang mengacau!” Ucapnya seraya beranjak berdiri dari tepi tempat tidurnya lalu berjalan menuju ke arah pintu kaca yang masih belum ditutup gordennya. Rey keluar lalu berdiri balkon luar kamarnya. Pria itu masih menikmati sigaret seraya menumpukan kedua sikunya di atas pagar pembatas. Malam begitu gelap, sayup-sayup terdengar burung gagak mengoak mencari tempat berpindah dari pohon satu ke pohon lain. Angin malam mengembus pelan menerpa wajahnya, Rey menatap langit kelam di atas kepalanya. Tidak ada bintang sama sekali di sana. Dia akan terus terjaga sampai kantuk kembali menyerang lalu terlelap. Atau dia tidak akan tidur sampai keesokan harinya. Aneka resep sudah dia dapatkan, tapi obat-obat tersebut sama sekali tidak bekerja untuknya. Dari dokter a sampai z, atau seorang profesor di luar negeri. Metode hipnotis dan lainnya sudah dia coba, hasilnya tetap saja nihil. Kebiasaan buruk membawa wanita ke mansionnya hanya demi bisa bicara empat mata untuk menemukan profil yang dia cari tetap tidak bisa berhenti dengan mudah! Hanya Raina Jenie yang membuat Rey tidak ingin mencari jawaban lagi dari wanita lain. “Raina..” Gumamnya seraya mengukir senyum pada bibir tipisnya disusul kepulan asap. Saat dia mengingat sosok Raina maka yang tergambar dalam ingatan Rey Antoni yaitu sosok yang selalu gugup, perubahan sikap begitu frontal dalam waktu hitungan detik dan menit, cantik tapi sedikit menyebalkan, berkelas namun sederhana, anggun namun tidak lembek, sikap bijaksana walau kadang terlihat sedikit terpaksa, pandai menahan serta menyembunyikan amarah, logis. Begitulah sosok wanita tersebut dalam ingatan Rey. Raina satu-satunya yang memiliki jawaban hampir sempurna dalam ingatannya. Dia lah satu-satunya wanita yang sukses membuatnya melewati sedikit perubahan, sesak pada dadanya sedikit berkurang semenjak dia memutuskan untuk selalu berkonsultasi dengan wanita tersebut. Raina tidak pernah terang-terangan menghardiknya dengan ucapan kasar ketika dia datang untuk berkonsultasi di dalam kliniknya. Hanya dengan melihat wajah Raina, Rey merasa lega. Senyum dari bibir peach beraroma anggur milik wanita itu membuatnya tenang dan nyaman. Rey tahu ungkapan tersebut hanya cocok diungkapkan pada aroma pengharum ruangan. Ini sedikit gila, seharusnya dia tidak berpikir demikian saat menghirup aroma dari lipstik pada bibir Raina! Rey tanpa sadar tersenyum seraya mengusap wajahnya sendiri. “Kenapa harus aroma anggur? Hahahaha! Dasar!” Rey tergelak sejenak, pria itu menginjak puntung rokoknya menggunakan alas kaki yang dia kenakan lalu masuk kembali ke dalam kamarnya. Setelah memastikan pintu balkon sudah terkunci, Rey menarik gorden lalu kembali rebah di atas ranjangnya. Pria itu menopang tengkuknya menggunakan kedua lengannya, dalam angannya dia ingin sekali terlelap. Baru beberapa menit dia mencoba tidur bayangan Imelda kembali datang, begitu seterusnya sampai mentari muncul di ufuk timur. Tubuhnya sangat lelah sekali, tak hanya sehari dua hari dia mengalami gangguan tidur tapi sudah bertahun-tahun lamanya. Ini seperti sebuah kutukan bagi seorang pewaris tahta dunia seperti dirinya! Ya, Rey ibarat seorang pangeran yang mendapatkan kutukan mimpi buruk sepanjang hidupnya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN