Aku bingung harus masuk ke dalam mobil bersama Pak Kaiden atau aku harus tetap makan siang bersama Kak Leon. Di ujung jalan, Kak Leon sepertinya tahu situasinya lalu pria itu menjalankan motornya ke arah kami. Sedangkan, aku masih berdiri di pinggir trotoar, mencoba memutuskan apa yang harus aku lakukan.
"Rania, cepat masuk!" bentak Pak Kaiden terlihat sudah tidak sabar. Aku memandang mobil yang terparkir di sampingku, lalu memandang Kak Leon yang semakin dekat.
"Pak, aku mau makan siang. Maaf, aku tidak bisa ikut dengan Pak Kaiden," tolakku dengan suara yang tegas.
"Memangnya aku menyuruh kamu masuk ke dalam mobil itu untuk apa kalau bukan untuk mengajak kamu makan siang!" katanya dengan suara keras.
Kak Leon akhirnya tiba diantara kami, matanya memandang Pak Kaiden dan aku bergantian. Begitupun dengan Pak Kaiden terkejut melihat sang kakak sudah memarkir motornya di depan mobilnya.
"Kaiden, kenapa kamu melarang Rania makan siang bersamaku?" tanya Kak Leon yang sudah menghampiri Pak Kaiden yang masih berada di dalam mobil dengan jendela yang terbuka. Wajah Kak Leon terlihat tegas, matanya menatap tajam Pak Kaiden.
"Kak Leon sendiri sedang apa di sini? Aku hanya ingin mengajak pacarku makan siang," balas Pak Kaiden terlihat santai, tapi aku bisa melihat sedikit ketegangan di matanya. Dia tersenyum sinis, seolah-olah mencoba menantang Kak Leon.
"Pacar? Jangan bercanda, aku tahu kamu hanya bersandiwara di depan Soraya. Sekarang tidak ada Soraya, sudahi pura-pura kamu, karena Rania akan makan siang bersamaku," ucap Kak Leon dengan tegas. Wajahnya terlihat marah, matanya menyala dengan kemarahan yang membuatku merasa sedikit takut.
Di sekitar jalanan, beberapa orang memandang kami dengan penasaran, tapi tidak ada yang berani mendekat. Suara klakson mobil dan motor terdengar di latar belakang, sementara aku masih terjebak di antara keduanya, tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merasa sedikit cemas, kapan konflik ini akan berakhir. Perutku sudah sangat lapar, tapi mereka sepertinya masih ingin berdebat.
Pak Kaiden tertawa terkekeh, suaranya terdengar sedikit mengejek. "Apa kamu menyukai Rania, Kak?" tanya Pak Kaiden, pandangannya seakan sedang mengejek Kak Leon.
Wajah Kak Leon terlihat tegang, matanya menatap tajam Pak Kaiden. "Kalau iya, kenapa? Kamu juga tidak bisa melarangku menyukai Rania," tegas Kak Leon, membuatku kaget karena ternyata Kak Leon menyukaiku. Aku bahkan tidak pernah dan tidak berani berandai-andai Kak Leon menyukaiku. Kasta kami berbeda, aku sadar diri siapa aku yang hanya seorang office girl dan yatim piatu.
Suasana menjadi semakin tegang, Pak Kaiden dan Kak Leon saling menatap dengan kebencian yang tinggi. Aku bisa merasakan ketegangan di antara keduanya, seolah-olah ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka.
"Kalau begitu, Kak Leon harus tahan dulu perasaannya, sebab saat ini Rania sudah terikat perjanjian untuk menjadi pacar pura-puraku," jelas Pak Kaiden dengan nada yang santai.
Kak Leon terlihat semakin marah, wajahnya memerah dengan kemarahan. "Kamu tidak bisa memonopoli Rania, Kaiden," ucap Kak Leon dengan suara yang tegas.
"Aku tidak peduli, Kak. Aku dan Rania sudah membuat kesepakatan dan kami saling menguntungkan. Benarkan, Rania?" tanya Pak Kaiden melihat ke arahku. Aku menghela napas dalam karena Kak Leon juga sedang menatapku, lalu aku mengangguk lemah.
Pak Kaiden tersenyum lebar, terlihat penuh kemenangan. "Sudah lihat kan, Kak? Jadi, selama kontrak berlangsung, Kak Leon tahan perasaannya terhadap Rania," katanya dengan nada yang terdengar bahagia.
Aku tertekan oleh situasi ini, seolah-olah aku menjadi objek yang diperdagangkan. Kak Leon terlihat kecewa, matanya menatapku dengan kesedihan. Aku ingin menjelaskan ke Kak Leon, agar pria itu tidak salah paham, tapi aku tidak tahu apa yang harus dikatakan. Pak Kaiden terlihat puas dengan dirinya sendiri, seolah-olah dia telah memenangkan pertarungan.
"Rania, apa kamu butuh uang? Aku bisa memberikan apa yang kamu minta, tapi batalkan perjanjian dengan Kaiden," tegas Kak Leon. Aku memandang Kak Leon dengan perasaan kecewa, apa Kak Leon berpikir aku membuat perjanjian ini karena uang.
Aku merasa sakit hati karena Kak Leon mengira aku wanita mata duitan. Aku membuat perjanjian ini bukan karena uang, tapi karena ada alasan lain yang lebih kompleks.
"Kak Leon, apa kakak pikir aku hanya butuh uang dari Pak Kaiden?" tanyaku dengan nada yang sedikit kesal.
"Lalu apa alasan kamu menerima perjanjian dengan Kaiden?" tanya Kak Leon terlihat sudah tidak sabar mendengar penjelasanku.
Aku merasa tertekan oleh pertanyaan Kak Leon, tidak tahu bagaimana menjelaskannya. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa menjelaskan apa pun," kataku pelan, berharap Kak Leon bisa memahami.
Pak Kaiden turun dari dalam mobil, lalu membukakan pintu mobilnya. "Rania, masuk," perintah Pak Kaiden, suaranya tegas dan tidak bisa ditawar. Aku memandang Kak Leon sejenak, lalu memutuskan untuk masuk ke dalam mobil, meninggalkan Kak Leon yang terlihat kecewa.
Aku merasa bersalah dengan Kak Leon, tapi aku bingung karena saat ini aku sudah membuat perjanjian dengan Pak Kaiden. Mobil bergerak meninggalkan Kak Leon yang masih terpaku, aku melihat dari kaca spion mobil Kak Leon memandang mobil dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.
Saat mobil melaju, aku merasakan sedikit getaran di tubuhku. Suara mesin mobil yang halus dan AC yang menyala membuatku semakin tidak tenang, aku tidak bisa menghilangkan rasa bersalahku terhadap Kak Leon. Aku terus memandang ke arah belakang, melihat Kak Leon yang semakin jauh, hingga akhirnya dia tidak terlihat lagi.
Entah, mengapa rasanya d**a ini sesak sekali melihat tatapan Kak Leon yang kecewa denganku. Aku merasa seperti ada yang tidak beres dalam hatiku, seolah-olah aku telah membuat keputusan yang salah. Aku mencoba untuk tidak memikirkannya lagi, tapi tatapan Kak Leon terus menghantuiku.
"Ada apa? Apa kamu menyesal dengan perjanjian kita?" tanya Pak Kaiden hanya melirikku sekilas sambil masih mengemudi. Aku membalas melihatnya dengan sinis, merasa sedikit geram karena dia sepertinya menikmati situasi ini.
Aku merasa kesal karena Pak Kaiden masih terlihat sombong dan tidak peduli dengan perasaanku. Dia seolah-olah memiliki kontrol penuh atas diri ini, dan aku hanya mengikuti apa yang dia inginkan.
Tapi, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah memilih melanjutkan perjanjian menjadi pacar pura-puranya, dan aku juga bukan orang yang ingkar janji yang tiba-tiba memutuskan apa yang sudah menjadi kesepakatan kami.
Aku memalingkan wajahku ke arah lain, tidak ingin menatap Pak Kaiden yang terlihat begitu percaya diri dan angkuh.
Mobil berhenti di parkiran restoran mewah. Aku mengedarkan pandangan dari jendela, melihat restoran yang tampak mewah dan elegan. "Pak Kaiden mau mempermalukan aku ya? Kenapa membawa aku makan di restoran mewah seperti ini. Aku tidak punya uang untuk membayar makanan di sini!" tegurku kesal.
"Siapa bilang kamu akan membayar sendiri, selama kamu menjadi pacar pura-puraku dan berada di sampingku. Semua kebutuhan dan makan kamu aku yang menanggungnya," jawabnya santai sambil membuka sabuk pengaman. Aku mendengus napas kasar, seraya membuka sabuk pengaman. Aku berusaha membuka sabuk pengaman, tapi tidak juga terbuka.
Pak Kaiden yang hendak membuka pintu mobilnya mengurungkan niatnya melihatku kesusahan membuka sabuk pengaman mobilnya, seringai kecil terlihat dari sudut bibirnya. "Kalau tidak bisa minta tolong, apa susahnya," katanya lalu dia memiringkan tubuhnya sampai wajah kami tidak ada jarak. Kami saling menatap, embusan napas yang hangat mengenai kulit wajahku, satu tangan Pak Kaiden memegang kunci sabuk pengaman.
Aku bisa merasakan jantungku berdebar kencang saat posisi kami saling berhadapan. Wajah Pak Kaiden sangat dekat dengan wajahku, aku bisa melihat detail mata dan bibirnya dengan jelas. Posisi kami seperti akan berciuman, dan aku tidak bisa menghindar dari tatapan matanya yang tajam.
Aku mencoba untuk tenang, mengendalikan jantungku yang terus berdetak cepat. Pak Kaiden tersenyum kecil, seolah-olah dia tahu apa yang aku pikirkan. Lalu, dia membuka sabuk pengaman dengan gerakan yang cepat dan elegan. "Sudah terbuka," katanya dengan suara yang rendah dan sensual.
Aku menghela napas lega, akhirnya bisa lepas dari keadaan yang membuatku senam jantung. Pak Kaiden juga membukakan pintu mobilnya, menyuruhku untuk keluar. Kami berjalan beriringan, tapi aku merasa seperti asisten rumah tangga yang tidak sepadan dengan kemewahan di sekitar kami. Pakaian yang aku kenakan terlihat sangat sederhana dibandingkan dengan pakaian Pak Kaiden yang elegan.
Aku sengaja berjalan di belakangnya, rasanya tidak pantas aku masuk ke dalam restoran mewah ini. Di sekitar kami, terdapat bangunan-bangunan yang tampak mewah dan terawat, dengan taman yang indah dan air mancur yang mengalir. Suara musik klasik yang lembut terdengar dari dalam restoran, menambah kesan elegan dan mewah.
Pelayan restoran di depan pintu menyambut kami dengan ramah, "Selamat datang, Pak Kaiden. Kami telah menyiapkan meja untuk Anda." Aku merasa sedikit canggung dengan sambutan yang begitu hangat. Pak Kaiden tersenyum dan mengangguk, lalu membimbingku masuk ke dalam restoran dengan tangan yang diletakkan di pinggangku. Aku tersentak dengan sentuhan itu, tapi aku tidak berani menolaknya.