Bab 8. Menjadi rebutan dua pria tampan

1285 Kata
Aku sudah membuatkan kopi pesanan Pak Kaiden, tapi ragu untuk mengantarnya. Tadi pagi, melihat tampangnya membuatku bergidik ngeri. Sebelum ke ruangan Direktur, aku berusaha mengumpulkan keberanianku dulu. Dengan langkah goyah, aku berjalan menuju ruangan Direktur, dengan jantungku berdebar kencang. Kuketuk pintu dengan perlahan, berharap saja Pak Kaiden tidak marah karena tadi pagi aku berangkat bersama Kak Leon. "Masuk," terdengar suara bariton pria itu dari dalam, membuatku semakin gugup. Aku membuka pintu, dan melihat Pak Kaiden sedang duduk di balik meja kerjanya. Dia tiba-tiba menutup laptopnya, lalu menatap ke arahku dengan mata tajam. Aku merasa seperti ketahuan selingkuh, membuatku semakin tegang. Dengan tangan gemetar, aku menaruh cangkir kopi di atas meja kerjanya. "Pak, ini kopinya," ucapku sambil menelan ludah, tubuhku gemetar karena gelisah. "Kalau begitu, saya permisi," imbuhku, berharap bisa cepat keluar dari ruangan ini. Aura wajah Pak Kaiden benar-benar menakutkan. "Siapa yang menyuruh kamu pergi?" bentaknya saat aku berbalik badan hendak meninggalkan ruangan. Suaranya keras dan membuatku terlonjak kaget. "Maaf, Pak. Aku harus bekerja," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupan. Pak Kaiden bangkit dari tempat duduknya, membuatku merasa terintimidasi. Pria itu melangkah mendekatiku hingga kami saling berhadapan, wajahnya serius dan mata tajam menatapku. "Katakan sejak kapan kamu mengenal Kak Leon?" tanyanya, suaranya dalam dan menekan. Aku merasa napasku terjeda, jantungku berdebar kuat. Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu tanpa membuatnya marah. "Aku dengan Kak Leon hanya teman," jawabku pelan. Aku tidak mau membuatnya marah. "Apa, Kak? Kalian sudah seakrab itu, sampai kamu memanggil dengan panggilan kakak?" tanyanya dengan alis bertaut, suaranya terdengar tidak percaya. "Eh, maksudnya, Pak Leon. Kami hanya berteman," kataku meralat ucapanku, berharap saja kesalahpahaman ini bisa segera teratasi. Pak Kaiden terlihat menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala, ekspresi wajahnya menunjukkan dia sedang emosi. "Aku tidak peduli kalian sedekat apa, tapi aku mau kamu jauhi Kak Leon. Kamu sudah membuat kesepakatan denganku, jadi kamu harus jauhi dia," ucapnya dengan tegas, menekankan setiap kata. Darahku mendidih mendengar perintahnya. Aku tidak terima dia mengatur hidupku. "Kita hanya pacar pura-pura, seharusnya jangan terlalu mencampuri urusan pribadi," kataku dengan nada emosi yang sulit kutahan, suaraku meninggi. Aku merasa hakku untuk berteman dengan siapa pun dan tidak suka dibatasi, dan itu membuatku semakin marah. Aku tidak ingin diatur, apalagi dalam hal yang tidak ada kaitannya dengan hubungan pura-pura kami. "Apa salahnya aku berteman dengan siapa pun yang aku inginkan?" tanyaku menambahkan. "Karena Kak Leon saudaraku," balasnya, suaranya tetap tegas. "Aku tahu, Pak. Di sini aku akan profesional bekerja, aku tidak akan mencampuradukkan perjanjian kita dengan urusan pribadiku," jawabku, berusaha menegaskan komitmenku. "Kamu memang keras kepala, susah diatur. Apa salahnya kamu menjauhi Kak Leon!" bentaknya, nada suaranya semakin meninggi, menunjukkan frustrasinya. Aku menatap pria di depanku dengan tatapan kesal. Kenapa dia selalu marah-marah? Aku dan Kak Leon sudah kenal lebih dulu, dia tidak berhak melarang hidupku. "Pak, perjanjiannya kita hanya pacar pura-pura. Aku dan Pak Leon sudah lebih dulu kenal, masa tiba-tiba harus aku menjauhi Pak Leon? Pak Leon itu penyelamatku," kataku, mencoba menenangkan diri sambil menurunkan nada bicara. "Aku tidak peduli, kamu harus jauhi Kak Leon. Titik!" tegasnya, lalu dia menghempaskan dirinya di sofa, menunjukkan betapa tegas dan tidak bisa ditawar keputusannya. Aku merasa frustrasi karena dia tidak mau mendengarkan penjelasanku. Bicara dengan pria egois membuatku semakin emosi dan panas. Kenapa Pak Kaiden dan Pak Leon sangat jauh berbeda? Pak Leon sangat lembut dan dewasa. Tiba-tiba, suara pintu terbuka, sosok yang menjadi bahan pertengkaran dengan Pak Kaiden muncul di depan pintu. "Loh, ada apa ini?" tanya Pak Leon, ekspresi wajahnya terlihat bingung. "Bukan urusanmu, Kak," sahut Pak Kaiden, masih terlihat emosi. "Kaiden, kalau sedang ada masalah, jangan lampiaskan amarahmu pada orang yang tidak bersalah," tegur Pak Leon dengan nada lembut namun tegas. Lalu Pak Leon beralih memandang kearahku. "Rania, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Leon, wajahnya terlihat khawatir. "Aku tidak apa-apa, Pak," jawabku, berusaha menenangkan diri. "Kalau begitu, kamu bisa pergi dan kembali bekerja," ucap Pak Leon, memberi isyarat agar aku meninggalkan ruangan. Aku mengangguk dan bergegas keluar, merasa lega karena bisa keluar dari ruangan itu. "Rania, pembicaraan kita belum selesai," teriak Pak Kaiden sampai terdengar di luar. Beruntung ruangan Direktur jauh dari ruangan karyawan lain, sehingga tidak banyak yang mendengar teriakan itu. Mbak Ratna yang kebetulan lewat di depan ruangan Direktur, melihatku dengan senyum mengejek. "Dimarahi bos, ya? Makanya jangan keganjenan sama kakaknya pak bos, emang enak," sindir Mbak Ratna terlihat bahagia. "Bukan urusan kamu, Mbak," balasku lalu meninggalkan wanita itu yang masih terdengar menggerutu di belakangku. Aku kembali menuju pantry, membuatkan minuman untuk karyawan yang sudah menunggu minuman mereka. Aku harus fokus dengan pekerjaanku, tidak membiarkan situasi yang tidak mengenakkan ini mengganggu konsentrasiku. Suara mesin kopi dan aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan pantry. "Rania." Aku berjingkat kaget saat Kak Leon sudah berada di belakangku yang sedang membuat kopi. Pandanganku fokus pada mesin kopi, sehingga aku tidak menyadari kehadirannya. "Pak Leon, ngagetin saja," kataku sambil tersenyum. "Maaf, ya, Rania. Tadi, aku lihat kamu melamun, jadi aku samperin kamu," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Pak Leon butuh sesuatu? Atau mau aku buatkan kopi juga?" tanyaku sambil melanjutkan pekerjaanku. "Boleh, nanti bawa ke ruanganku ya. Oh, iya, nanti siang kita makan siang bareng ya," ajaknya. Aku mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan buatkan kopi dan membawanya ke ruangannya. Dan, untuk makan siang aku biasa makan siang di pantry," jawabku menolak halus ajakannya. "Apa kamu bawa bekal untuk makan siang?" tanyanya dengan wajah penasaran. Aku menundukkan wajahku, karena aku sebenarnya tidak membawa bekal untuk makan siang. Rencananya aku mau makan mie instan yang selalu tersedia di pantry, uang gajiku bulan ini habis untuk Raka sebelum ketahuan dia selingkuh. "Aku nanti makan mie instan saja, Pak," jawabku ragu. "Jadi, selama ini kamu hanya makan mie instan setiap makan siang?" tanyanya, terlihat ekspresinya tidak percaya. Aku mengangkat wajahku dengan tersenyum lebar, aku tidak mau Kak Leon mengkhawatirkan keadaanku. "Iya, Pak. Mie instan cukup mengenyangkan, kok," kataku berusaha meyakinkannya. "Tubuhku kuat, dan aku jarang sakit," tambahkku sambil tersenyum. Kak Leon memandangku dengan tatapan terlihat prihatin dengan keadaanku, tapi aku yakin aku bisa meyakinkannya kalau aku baik-baik saja. "Kalau begitu, aku ajak kamu makan siang di luar saja. Aku tahu tempat yang enak," ajaknya dengan tegas. "Pak, aku makan siang di pantry saja," tolakku. "Kamu itu karyawanku, aku tidak mau ada bantahan. Kalau karyawanku sakit karena hanya makan mie instan, pasti perusahaan yang akan disalahkan karena lalai tidak bisa mensejahterakan karyawannya," tegasnya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Aku merasa sedikit terpojok dengan alasan Kak Leon yang masuk akal. Aku tidak ingin menjadi beban perusahaan, tapi aku juga tidak ingin makan siang di luar karena alasan pribadi. "Baik, Pak. Saya ikut saja," kataku akhirnya, tidak ingin memperpanjang diskusi. Kak Leon tersenyum puas dan mengangguk, seolah-olah sudah menangkan perdebatan. "Tapi, nanti Pak Leon menunggu di luar saja. Aku akan kesana, di ujung jalan itu," kataku menambahkan. Aku tidak mau Pak Kaiden melihatku makan siang bersama Pak Leon, mengingat situasi antara kami yang masih tegang. Kak Leon memandangku dengan sedikit penasaran, "Baik, aku akan menunggu di luar. Kita ketemu di ujung jalan, ya," jawabnya dengan nada yang santai. Aku mengangguk, merasa lega karena Kak Leon tidak mempermasalahkan permintaan itu. Waktunya makan siang tiba, cacing di dalam perut sudah meronta-ronta ingin segera diisi. Aku mengambil tas kecil berisi dompet dan juga ponsel, kemudian keluar dari gedung pencakar langit ini. Sejenak, aku melihat sekeliling kantor, karena aku tidak mau ada yang melihatku makan siang bersama Kak Leon. Setelah dirasa aman, aku berjalan di sepanjang trotoar yang ditumbuhi pohon-pohon rindang dan lebat. Di ujung jalan, aku melihat motor gede Kak Leon, pria itu duduk di atasnya. Aku melambaikan tangan, namun senyumku terhenti saat sebuah mobil berhenti tepat di sampingku. "Ayo, masuk," perintahnya dengan tegas. Suara itu familiar, dan aku tidak perlu menoleh untuk tahu itu adalah suara Pak Kaiden.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN