Jantung berdegup dengan kencang, napasku memburu. Aku merasa seperti terjebak dalam badai emosi yang bertentangan. Di satu sisi, aku merasakan sesuatu sensasi yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Sentuhannya seperti memicu adrenalin dalam tubuhku, membuatku merasa hidup dan bersemangat. Tapi di sisi lain, aku juga takut dengan situasi ini.
Setelah puas menikmati tubuh atasku, kini tangannya bergerak liar dan pindah ke tubuh bawahku, membuatku berjingkat kaget. Aku merasa risih dan berusaha menyingkirkan tangannya yang kekar.
Saat dia berusaha masuk lebih dalam, aku sangat takut dan panik. "Pak, jangan lakukan," lirihku dengan napas yang terengah-engah, seperti orang yang kehabisan udara.
Aku berusaha untuk melepaskan diri dengan cara menggerakkan tubuhku lagi, tapi dia terlalu kuat dan menekanku lebih dalam. Aku marah dan panik ketika dia berhasil membuka resleting celanaku.
Senyum nakal dan mata yang terlihat liar membuatku merasa jijik. Dia melihat bagian intiku dengan cara yang membuatku merasa tidak berdaya. Aku berusaha terus membebaskan diri darinya, karena aku sudah memiliki firasat buruk dia akan melakukan sesuatu lebih dari ini.
Tidak! Takkan kubiarkan ini terjadi. Aku masih gadis dan sampai saat ini aku menjaga kehormatanku untuk suamiku kelak. Aku ingin menyerahkan mahkota berhargaku kepada orang yang aku cintai.
Reflek aku menutup mata ketika dia membuka resleting celananya yang sudah penuh sesak. Aku menjerit kesakitan, rasanya seperti teriris perih bagian intiku ketika benda miliknya menerobos masuk dengan paksa.
Rasanya sakit sekali, aku tidak bisa menahan air mataku. Melihat di atas tubuhku dia menggerakkan tubuhnya dengan gerakan cepat berirama dan teratur seperti sedang mencari sesuatu yang belum tercapai.
Sesaat aku melihat tubuhnya mengejang kuat, tak lama dia mengendurkan tubuhnya lalu melepaskan dirinya dari tubuhku. Pak Kaiden tergeletak disampingku dengan senyum kepuasan, dia menatapku dengan pandangan sayu lalu mengecup lembut pipiku.
"Terima kasih," bisiknya membuatku semakin ingin menangis karena marah, aku sudah ternoda dan kotor.
Aku berusaha bangun, tapi bagian bawahku sangat sakit untuk digerakkan. Dengan susah payah akhirnya aku bisa berdiri, aku mengambil baju yang berserakan di lantai karena pria itu melemparnya kesembarang arah. Aku memakai kembali pakaianku, tapi rasanya percuma kancing bajuku semuanya terlepas. Kulirik pria itu yang langsung tertidur pulas, di atas sofa aku melihat noda darah bukti aku masih gadis. Hanya dia orang pertama yang berhasil menyentuhku.
Aku melihat sekeliling, mencari sesuatu untuk menutupi bajuku yang tidak bisa dikancing. Mataku tertuju pada sebuah jas yang tergeletak di kursi kebesaran Kaiden. Aku ragu-ragu sejenak, apakah aku boleh memakai jas itu?
Tapi, aku tidak memiliki pilihan lain. Aku membutuhkan sesuatu untuk menutupi diriku, dan hari sudah semakin malam. Aku khawatir ada orang jahat di jalan yang bisa membahayakanku. Dengan berat hati, aku memutuskan untuk memakai jas itu, meskipun aku tahu konsekuensinya.
Aku keluar dari kantor dengan langkah tertatih-tatih, meninggalkan pria itu sendirian di dalam. Pak Satpam yang bernama Pak Rahmat, yang sedang berjaga di pintu, memandangku dengan tatapan curiga.
"Loh, Mbak Rania, kok baru pulang?" tanya Pak Rahmat dengan nada penasaran.
"Iya, Pak. Tadi aku habis lembur," jawabku berusaha bicara dengan santai.
Pak Rahmat memperhatikanku lebih dekat, dari ujung kaki hingga kepala. "Mbak Rania, kenapa jalannya seperti kesakitan?" tanyanya lagi.
"Tadi aku terpleset, Pak. Kakiku sakit," kataku berbohong, berusaha menyembunyikan kebenaran.
Pak Rahmat masih memperhatikanku dengan curiga. "Oh, bapak kira Mbak Rania kenapa? Tapi, tunggu... Jas itu bukannya milik Pak Kaiden? Kenapa Mbak Rania pakai?" tanyanya dengan nada heran.
"Oh, tadi saat terjatuh, Pak Kaiden membantuku," kataku mencari alasan yang logis. "Melihatku kesakitan dan pulang malam, Pak Kaiden menawarkanku memakai jas kerjanya agar aku tidak kedinginan."
Pak Rahmat mengangguk, tampaknya percaya dengan alasan yang aku berikan. "Oh, berarti Pak Kaiden belum pulang?" tanyanya.
"Iya, Pak. Katanya masih banyak pekerjaan yang belum selesai," ucapku berbohong lagi.
"Ya sudah, kalau seperti itu. Oh, iya, Mbak Rania pulang naik apa? Ini sudah malam, jangan naik ojek online lagi, takut terjadi sesuatu di jalan."
"Aku naik taksi, Pak," jawabku.
Pak Rahmat mengangguk. "Kalau begitu, Mbak Rania duduk dulu di pos. Bapak akan menyetop taksi yang lewat."
"Terima kasih, Pak," ucapku dengan rasa syukur.
Tak lama kemudian, Pak Rahmat menghentikan taksi yang lewat. "Mbak Rania, taksi sudah ada," panggilnya.
Aku berdiri dan berjalan tertatih-tatih, masih merasakan sakit di bagian tubuhku. Pak Rahmat dengan baik hati membantuku masuk ke dalam taksi.
"Sekali lagi terima kasih ya, Pak," ucapku dengan tulus.
Pak Rahmat tersenyum. "Sama-sama, Mbak. Pak sopir, saya nitip ya, hati-hati di jalan, ya," ucap Rahmat memberi pesan ke pak sopir.
"Baik, Pak," jawab pak sopir taksi.
Tidak sampai satu jam, mobil taksi sudah berhenti di depan gang menuju kontrakanku. Aku segera membayar ongkos taksi, lalu keluar dari mobil. Suasana sekitar sudah sangat sepi dan sunyi. Dengan langkah sedikit cepat, aku berjalan menuju kontrakanku yang sederhana. Aku sangat ingin segera merebahkan tubuh ini yang terasa sakit dan lelah.
Aku membuka pintu kontrakan dengan tangan yang gemetar. Begitu pintu terbuka, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur lipat yang tipis. Meskipun kasurnya sederhana, aku merasa nyaman tidur di atasnya. Aku langsung tertidur dengan pulas, terlelap karena kelelahan.
Suara dering telepon berkali-kali mengganggu tidurku. Aku membuka mata, melirik ke arah jendela. Sorot cahaya matahari sudah menembus celah-celah ventilasi, memberikan efek hangat yang menenangkan. Aku merasa baru tertidur, tapi sekarang sudah pagi saja.
Dering telepon kembali terdengar, dan dengan malas aku mengambil ponselku dari dalam tas. Kulihat nama Mbak Susi yang menelpon. Tumben Mbak Susi menelpon sebanyak ini, padahal jadwal shiftku hari ini siang. Ada apa ya? Kuangkat telepon darinya karena penasaran.
"Halo, Mbak," sapaku.
"Rania, semalam apa yang kamu lakukan dengan Pak Kaiden?" tanyanya dengan suara keras yang membuatku terlonjak kaget. Suara Mbak Susi membuat gendang telingaku berdenging.
"Aku tidak melakukan apa pun, Mbak," jawabku dengan nada yang sedikit bergetar.
"Rania, kamu tidak berbohong, kan? Lalu kenapa sejak pagi Pak Kaiden mencari kamu? Apa kamu semalam mengambil sesuatu?" cecarnya dengan nada yang semakin keras dan curiga.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang membuat hatiku berdebar. Cepat-cepat kualihkan pandanganku ke arah jas kerja Pak Kaiden yang tergeletak di sampingku. Ya Tuhan, jangan-jangan dia mencari jasnya yang hilang.
Aduh, bagaimana ini? Apa mungkin dia mengira aku mencuri jasnya? Pikiran itu membuatku merasa cemas dan khawatir. Tapi kalau dia marah karena aku membawa jas kerjanya, seharusnya aku juga berhak marah. Dia sudah mengambil sesuatu yang paling berharga bagiku, kegadisanku.
"Hallo, Rania," panggil Mbak Susi melalui sambungan telepon.
"Iya, Mbak," sahutku.
"Sebaiknya kamu cepat datang ke kantor, aku tidak mau kena masalah dengan Pak Kaiden," ucapnya dengan nada yang terdengar khawatir.
"Baik, Mbak. Aku bersiap dulu," jawabku singkat.
"Iya, cepat jangan, lama-lama," ucap Mbak Susi sebelum menutup teleponnya dengan tergesa-gesa.
Kuambil handuk yang tergantung di dinding, lalu masuk ke dalam kamar mandi yang kecil dan sederhana. Aku membersihkan tubuhku yang sudah kotor dengan sabun yang banyak, berusaha untuk menghilangkan semua kotoran dan jejak sisa semalam.
Saat mandi, aku terus memikirkan tentang kejadian semalam. Seandainya aku memiliki pekerjaan lain, mungkin saat ini aku sudah keluar dari tempat itu dan tidak perlu menghadapi orang yang telah menodai kehormatanku. Tapi, karena aku sangat membutuhkan pekerjaan ini, terpaksa aku harus menjalaninya dan menghadapi kenyataan yang pahit.
Setelah selesai mandi, aku bersiap menunggu ojek online yang sudah aku pesan. Aku sengaja membawa tas agak besar untuk menyimpan jas milik Pak Kaiden, berusaha untuk menyembunyikannya dengan baik.
Tidak lama kemudian, aku mendengar suara pengemudi ojek online. Karena sejak tadi melamun, aku tidak sadar sudah sampai. "Mbak, sudah sampai," ucapnya. Aku membayar ongkos, lalu masuk ke dalam pantry kantor.
Kulihat Mbak Susi sedang sibuk bekerja, menyiapkan minuman untuk karyawan kantor. "Mbak," panggilku. Mbak Susi melihatku, kemudian menarik napas lega.
"Akhirnya, kamu datang juga," ucapnya dengan nada yang terdengar lega. "Cepat kamu temui Pak Kaiden, mbak tidak mau mendapatkan masalah besar," tambahnya dengan nada yang sedikit khawatir.
"Iya, Mbak," ucapku lemas, merasa tidak siap untuk menghadapi Pak Kaiden.
Aku berjalan menuju ruangan kantor Direktur Utama dengan langkah yang terasa berat. Jantungku berdegup kencang, dan aku merasa takut apa yang akan terjadi. Aku mengetuk pintu dengan ragu-ragu.
Tidak lama kemudian, terdengar suara bariton dari dalam ruangan, menyuruhku masuk ke dalam. "Masuk!" ucapnya dengan nada yang tegas dan berwibawa.
Aku membuka pintu pelan, dan pandanganku langsung bertemu dengan sosok tampan yang duduk di balik meja kerja. Dia terlihat gagah dan berwibawa, tapi aura yang memancar dari dirinya sangat dingin dan menakutkan. Aku menelan ludah dengan susah payah untuk membasahi tenggorokanku yang kering.
"Pak Kaiden mencari saya?" tanyaku dengan hormat, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takut yang menghantui hatiku. Suaraku terdengar pelan dan tidak stabil, tapi aku berusaha untuk tetap tegak.
"Apa kamu yang bernama Rania?" tanyanya sambil tangannya memainkan bolpen di atas meja. Aku mengangguk pelan.
"Iya, Pak. Saya Rania," jawabku dengan suara yang sedikit bergetar.
Tiba-tiba Pak Kaiden berdiri dari duduknya, lalu melangkah pelan tapi pasti mendekatiku. Tatapannya tidak lepas menatapku, membuatku merasa tidak nyaman dan cemas. Aduh, apa mungkin dia teringat kejadian semalam? Lalu, dia akan marah kemudian memecatku? Pikiran itu membuatku merasa semakin cemas dan tidak tenang.
Aku melirik sekilas ke arah sofa yang terletak di sudut ruangan. Aku terkejut karena warna sofa sudah berubah menjadi hitam. Seingatku, warna sofa itu putih dan terdapat noda darah milikku yang masih terlihat jelas. Perubahan warna sofa itu membuatku merasa bingung dan penasaran.
"Kenapa kamu melihat ke arah sofa?" tanyanya, suaranya terdengar begitu dekat dan mengagetkanku. Aku merasa jantungku berdegup semakin kencang ketika aku menyadari bahwa jarak kami saat ini sangat dekat. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat dan terasa di kulit wajahku.
"Tidak apa-apa, Pak," jawabku menundukkan kepala, aku tidak berani memandangnya karena takut dengan reaksinya.
Aku tersentak ketika dengan lembut dia mengangkat daguku, sehingga pandangan kami bertemu. Tubuhku gemetar ketika mata kami beradu.
"Apa kamu ingat pertempuran kita semalam?" ucapnya sangat pelan, tapi nyaris membuat jantungku berhenti berdetak. Suaranya terdengar begitu dekat dan membuatku merasa cemas.
Lalu, pria itu menyisir rambutku yang masih tergerai dengan jari-jarinya yang lembut. Aku merasakan kulitku merinding ketika dia menyentuhku. Sebuah lengkungan tipis dari sudut bibirnya membuatku tegang.
"Ternyata benar kamu orangnya," ucapnya membuatku kebingungan. Apa dia ingat akulah orang yang dia nodai?