Bab 3. Kau Menghinaku?

1802 Kata
Tubuhku menegang, dia menyibak rambutku. "Aku tidak menyangka kamu masih perawan," bisiknya. "Tapi aku suka, sekarang kamu mau uang berapa untuk kompensasi karena kamu sudah memberikannya untukku," tambahnya dengan nada enteng seakan aku dengan sengaja menjebaknya dan ingin meminta uang darinya. Aku menatap tajam kearah pria itu. "Bapak pikir aku menjual diri! Maaf, aku tidak butuh uang bapak karena tidak bisa mengembalikan yang hilang! Permisi!" Aku membalikkan tubuhku hendak keluar dari ruangannya yang membuat emosiku hampir meledak. Dia sudah menghinaku, dan menganggapku wanita bayaran. "Tunggu!" cegahnya sambil mencekal tanganku. Aku membalikkan badan sampai tatapan kami bertemu. "Ada apa lagi, Pak. Aku harus bekerja," kataku berusaha menahan emosi, karena walau bagaimanapun dia atasanku pemilik perusahaan ini. "Aku tidak suka berhutang, katakan kamu minta apa. Aku akan kabulkan, wanita mana yang tidak mau uang, perhiasan atau tas branded," katanya dengan sombong. "Aku tidak butuh semuanya! Lepas." Aku berusaha melepaskan diri dari pegangan tangannya yang semakin erat. Pak Kaiden menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan tipis seperti sedang mengejekku. "Aku tahu kamu ingin tarik ulur untuk menarik perhatianku! Jangan bermimpi aku akan menikahi kamu!" ucapnya semakin membuatku bertambah sakit hati. Plak! Tanganku bergetar dan terasa panas, pria di depanku melebarkan matanya. Dia pasti tidak menyangka seorang office girl bisa menamparnya. Pria itu mengelus pipinya, lalu tersenyum kearahku tapi senyum itu membuatku takut. "Tamparan ini anggap saja sebagai pengganti semalam," ucapnya seraya mengelus pipinya yang terlihat jejak telapak tanganku. Aku melihat wajahnya yang sangat tampan, dengan garis-garis wajah yang tegas dan proporsional. Matanya yang tajam seperti elang, menatapku dengan intensitas yang membuatku merasa seperti ditelanjangi. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang penuh, membuatku sempat terpikat dengan keindahannya. Tapi, emosi yang sejak tadi aku tahan, akhirnya meledak. Aku kini menyorot tajam pemilik tubuh itu, merasa tidak terima dengan sikapnya yang santai dan cuek. "Kamu...!" kataku dengan nada yang keras, berusaha menahan amarah yang semakin memuncak. Pria tampan itu hanya tersenyum, seolah-olah menikmati reaksi yang aku tunjukkan. Aku merasa semakin marah, tidak suka dengan sikapnya yang seperti tidak peduli dengan perasaanku yang sudah kehilangan mahkota berhargaku. Dia pikir kesucian hanya bisa dibalas dengan satu tamparan. Tatapanku semakin tajam, "Mungkin bagi seorang pria seperti Anda, kesucian wanita tidak ada harganya! Tapi, buatku sangat berharga. Aku menjaganya selama 22 tahun untuk suamiku kelak. Dan, Anda mengatakan hanya dengan satu tamparan bisa mengganti harga diriku!" kataku dengan nada sarkas, wajahku terangkat ke atas, tidak takut lagi dengan reaksinya. Pak Kaiden terlihat terkejut, matanya melebar dengan tidak percaya. Dia mungkin tidak menyangka aku akan bereaksi seperti itu, tidak seperti yang dia duga sebelumnya. Dia terdiam sejenak, seolah-olah sedang memproses kata-kata yang baru saja aku ucapkan. Ekspresinya berubah dari percaya diri menjadi bingung, dan untuk sejenak, aku melihat penyesalan di matanya. Aku terus menatapnya dengan tajam, tidak peduli dengan perubahan ekspresi di wajahnya. Aku ingin dia tahu bahwa aku tidak akan diam saja dan membiarkannya memperlakukan aku seperti itu. Aku ingin dia tahu aku memiliki harga diri dan tidak akan pernah rela diperlakukan seperti itu oleh siapa pun. Aku membalikkan tubuhku meninggalkan ruangannya, dadaku terasa sesak karena diperlakukan hina olehnya. Aku berjalan menuju pantry, beruntung tidak ada siapapun di sana. Pantry itu sunyi dan minim dekorasi, hanya ada beberapa lemari penyimpanan dan meja kecil di pojok. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kecil memberikan sedikit kehangatan, tapi tidak cukup untuk menghangatkan hatiku yang sedang terluka. Aku meringkuk di balik meja di pojok, agar tidak ada orang melihatku. Aku membiarkan diri menangis, menumpahkan rasa sakit dan sesak yang telah menumpuk di dalam hati. Air mataku mengalir deras, aku merasa seperti tidak bisa bernapas lagi. Aku hanya ingin menangis dan melupakan semua yang telah terjadi. Suara tangisku tercekat di kerongkongan, aku berharap tidak ada orang yang mendengar suara tangisku. Aku menghapus air mata dengan kasar saat mendengar suara derap langkah kaki masuk ke pantry. "Rania," panggil Mbak Susi. Aku keluar dari pojok meja dan berusaha menenangkan diri. Wajah Mbak Susi terlihat kaget, menatap nanar ke arahku. "Ya ampun, Rania. Apa yang terjadi? Apa kamu membuat kesalahan sampai kamu dipanggil Pak Kaiden?" cecar Mbak Susi penuh perhatian. Meskipun wanita itu kadang galak dan tegas, sebenarnya hati Mbak Susi sangat baik. Aku berusaha menyembunyikan kebenarannya. "Aku tidak apa-apa, Mbak. Aku hanya kangen dengan kedua orang tuaku yang sudah tiada," kataku berbohong. Mbak Susi menarik napas lega, lalu dia memelukku. "Mbak pikir kamu melakukan kesalahan dan dipecat. Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa," ucap Mbak Susi seraya meregangkan pelukannya, menatapku seperti menatap seorang kakak kepada adiknya. Aku merasa terharu dengan perhatian Mbak Susi. "Terima kasih, ya, Mbak. Walau kadang aku selalu membuat Mbak Susi kesal, tapi Mbak Susi selalu baik," ucapku dengan hati yang hangat. Mbak Susi tersenyum. "Mbak menganggap kamu itu adik. Jadi, jangan berpikiran kalau selama ini Mbak tegas sama kamu karena membenci kamu," ucap Mbak Susi, membuat hatiku semakin hangat. Tiba-tiba, Mbak Susi seolah teringat sesuatu. "Oh, iya, di ruangan Pak Kaiden ada tunangan Pak Kaiden sama Nyonya Besar. Tolong buatkan minum untuk mereka," ucap Mbak Susi. Aku mengangguk. "Baik, Mbak," jawabku sambil menuju ke tempat penyimpanan minuman. Aku berusaha menenangkan diri dan melupakan kejadian sebelumnya. Aku membuatkan dua minuman untuk tamu pria tidak punya hati itu, walau aku sangat marah dengannya. Aku harus tetap profesional dengan pekerjaanku. Dengan hati-hati aku membawa nampan berisi minuman ke ruangan Direktur, namun saat aku akan mengertuk pintu yang kebetulan pintunya terbuka sedikit. Aku mendengar pembicaraan dua wanita beda generasi itu. Aku ingin masuk, tapi ada rasa tidak enak. Mereka sepertinya sedang mengobrol serius. Aku berhenti sejenak, mencoba mendengar lebih jelas. "Tante, bagaimana ini. Kaiden masih saja tidak memperdulikan aku, katanya setelah si Aruna mati Kaiden akan mencintaiku," ucap seorang wanita muda dan sangat cantik. Aku bisa melihat jelas wajah wanita itu karena aku berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya yang cantik dan elegan, tapi ada sedikit rasa kesal dan kekecewaan di matanya. Aku merasa penasaran dengan pembicaraan mereka, tapi aku tidak ingin terlalu lama mendengarkan tanpa izin. Aku ragu-ragu apakah harus masuk atau menunggu sampai mereka selesai berbicara. "Raya, kamu harus sabar. Aruna belum satu tahun mati, Kaiden pasti membutuhkan waktu untuk membuka hatinya lagi. Kamu harus sering-sering datang ke kantor memberi perhatian kepadanya. Dan, kamu ubah sikap kamu seperti Aruna yang lemah lembut, agar Kaiden tertarik sama kamu," ucap wanita paruh baya yang aku tahu ibu Pak Kaiden, dengan nada yang lembut namun penuh perhitungan. "Ya ampun, Tan. Aku harus menunggu sampai kapan lagi? Aruna sudah mati saja masih menyusahkan orang lain!" protes wanita muda itu, terlihat wajahnya kesal dan frustrasi. "Kamu jangan bicara kencang-kencang, kalau Kaiden dengar bisa bahaya. Dan, ingat masalah kematian Aruna hanya kita yang tahu. Kalau kamu ingin menjadi istri Kaiden, kamu harus mengikuti perintahku. Setelah kamu menikah dengan Kaiden, kita bisa mengambil seluruh harta kekayaan keluarga Wajendra," ucap wanita paruh baya itu dengan nada yang tegas dan penuh ancaman. Aku merasa heran dengan pembicaraan mereka. Dari apa yang aku dengar, wanita paruh baya itu sepertinya bukan ibu kandung Pak Kaiden, tapi lebih seperti seorang wanita yang memiliki kepentingan pribadi dengan keluarga Wajendra. Aku juga merasa penasaran dengan kematian Aruna. Apakah ada kaitannya kematian Aruna dengan kedua wanita itu? "Kalau Kaiden sampai kepincut wanita lain, bagaimana, Tan? Kaiden seleranya kelas rendahan, aku tidak mau menunggu lama dan bersaing dengan wanita tidak selevel denganku," ucap wanita itu dengan nada yang penuh kekhawatiran dan kesombongan. "Kamu tenang saja, Tante akan memikirkan cara untuk menjebak Kaiden agar dia tidak lagi mengelak menikahi kamu," ucap wanita paruh baya itu dengan senyum yang licik, membuatku terkejut. Aku merasa tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Mereka memiliki niat jahat terhadap Pak Kaiden, dan sepertinya mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku sedikit terganggu dengan rencana mereka, dan tanpa sadar, hatiku mulai memikirkan cara untuk membantu Pak Kaiden. Sebenarnya, aku tidak memiliki alasan untuk membantu Pak Kaiden setelah apa yang dia lakukan padaku. Tapi, ada sesuatu yang membuatku merasa tidak tega melihatnya terjebak dalam rencana jahat mereka. Aku masih belum tahu apa yang akan aku lakukan, tapi aku merasa bahwa aku harus melakukan sesuatu untuk membantu Pak Kaiden. Aku terlonjak kaget saat tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. Beruntung nampan yang sedang aku pegang tidak terjatuh. "Sedang apa kamu di sini?" tanyanya dengan tatapan tajam, membuatku salah tingkah karena sudah menguping pembicaraan orang lain. "A... aku tadi ingin mengantarkan minuman ini," jawabku dengan gugup, berusaha menenangkan diri. Kaiden menarik tanganku, membuatku harus berhati-hati agar nampan tidak terjatuh. "Ayo, masuk," perintahnya seraya menarik tanganku lebih dekat ke pintu. Aku yang sedang memegang nampan berisi minuman kesusahan menyeimbangkan peganganku. Kaiden membuka pintu dengan lebar, membuat dua wanita itu terperanjat kaget. Mereka berdua langsung menatapku dengan ekspresi yang berbeda, wanita muda itu terlihat marah, sedangkan wanita paruh baya itu mencoba menyembunyikan kekesalannya. Aku merasa tidak nyaman dengan situasi ini, tapi aku berusaha tetap profesional dan mengantarkan minuman dengan sopan. "Mau apa mama kesini?" tanya Pak Kaiden dengan tegas terlihat tidak suka dengan kedatangan kedua wanita itu. "Ya ampun, Kaiden sama mama kenapa bicaranya ketus seperti itu. Mama hanya ingin mengajak kamu dan Soraya makan siang bersama," jawab wanita paruh baya itu begitu lemah lembut. Aku yang sudah selesai menghindangkan minuman, langsung berbalik hendak meninggalkan mereka. Namun, tanganku ada yang mencekal membuatku terkejut. "Jangan pergi," cegahnya menahanku. Aku berbalik menatap pria tidak punya hati itu dengan bingung. "Mama tidak perlu repot-repot menjodohkan aku dengan Raya, karena aku sudah mencintai wanita lain yaitu Rania," ucap Pak Kaiden seraya menarik tanganku sehingga tubuhku terjatuh dalam pelukannya. Aku terkejut dan tidak percaya dengan apa yang pria itu katakan. Ibu Pak Kaiden dan Raya terlihat sangat marah tapi Pak Kaiden terlihat tidak peduli dan terus memelukku erat. "Kaiden, apa kamu tidak waras mencintai seorang office girl! Mama tidak mau tahu, kamu harus bersama Raya atau kamu ingin melihat mama mati!" ucapnya dengan nada yang mengancam. Pak Kaiden hanya tersenyum dan memandangku dengan tatapan aneh, seakan memberi kode apa yang harus aku lakukan. Aku merasa sedikit bingung, tapi aku mencoba memahami apa yang dia inginkan. Apakah dia ingin aku ikut bersandiwara? "Mama, aku sudah tidak bisa menyembunyikan perasaanku lagi. Aku mencintai Rania, dan aku tidak akan pernah melepaskannya," ucapnya dengan nada yang tegas, sambil terus memandangku lembut. Aku mencoba menanggapi dengan tepat, berusaha menunjukkan ekspresi yang sesuai dengan situasi. Walau jantungku berdebar-debar, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tubuhku menegang dalam pelukan Pak Kaiden. Sejujurnya, aku sangat takut mengikuti permainannya, jika mengingat perkataan dua wanita itu terkait kematian Aruna. Aku merasa seperti berada dalam bahaya. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan keras. "Apa yang sedang terjadi di sini?" tanya suara yang tidak asing, tapi penuh dengan nada yang keras dan tidak sabar. Pak Kaiden tidak melepaskan pelukannya, malah semakin erat memelukku. "Ah, selamat datang, Kak Leon," ucapnya dengan nada yang santai, tapi dengan mata yang tajam memandang ke arah pintu. Aku menoleh ke arah pintu, dan apa yang aku lihat membuatku semakin terkejut...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN