Bab 4. Rahasiamu di tanganku!

1279 Kata
Aku menelan ludah dengan susah payah, begitu melihat sosok pria di ambang pintu berdiri dengan wajah dingin. Tangan pria itu ditaruh di dalam kedua saku celananya, menambah kesan elegan dan berkuasa. Wajahnya yang tampan dan gagah, namun dengan ekspresi yang sedingin es. Leon, pria itu, memandang ke arahku dengan mata yang tajam dan penuh dengan pertanyaan. Aku merasa seperti sedang diinterogasi, dan aku tidak tahu bagaimana harus menjawab. Pak Kaiden masih memelukku erat, tapi aku bisa merasakan ketegangan di antara mereka berdua. Aku dan Leon saling mengenal, berawal ketika aku pulang malam dan hampir dijambret. Pria itu tiba-tiba datang menyelamatkanku, dan mengembalikan tas berisi uang gajiku yang baru aku ambil dari mesin ATM. Sempat aku mentraktirnya sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantuku. Setelah itu, kami tidak bertemu lagi, dan aku tidak menyangka dia berada di kantor ini. "Leon, kamu tidak usah ikut campur urusanku yang menjodohkan Kaiden dengan Soraya," tegur wanita paruh baya itu, terlihat tidak suka dengan kehadiran Leon. Pria itu melangkah masuk, masih dengan ekspresi dingin yang membuatku merasa sedikit takut. Wanita bernama Soraya menunduk seakan takut dengan kehadiran Leon, dan aku bisa merasakan ketegangan di ruangan. "Tante, kita pulang saja. Aku ada urusan mendadak," ucap Raya, sepertinya dia juga merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Wanita paruh baya itu memandang Leon dengan mata yang penuh dengan kemarahan, tapi Leon tidak peduli dan terus memandang ke arah Soraya dengan mata yang tajam. "Ayo." Dua wanita beda generasi itu bangkit dari duduknya lalu pergi dengan ekspresi marah ke arah Leon. "Terima kasih sudah membantuku," ucap Kaiden kearah Leon. Leon hanya tersenyum tipis. Aku yang sudah tidak dibutuhkan lagi menghempaskan tangan pria tidak punya hati itu dari pinggangku. "Bersandiwaranya sudah selesai, aku mau bekerja lagi," kataku ketus. Kaiden hanya melirikku sekilas, tidak ada ucapan terima kasih sudah dibantu. Dengan perasaan kesal, aku keluar dari ruangannya. Aku bergegas menuju pantry, tapi saat di lorong koridor, wanita bernama Soraya berdiri sambil menatapku sinis. "Hei, petugas kebersihan," panggilnya dengan nada yang tidak ramah dan pandangan sinis. Aku berhenti melangkah, memandang Soraya dengan mata yang waspada. "Ada apa?" tanyaku, suaraku netral. Soraya tersenyum seolah sedang mengejekku. Aku bisa merasakan kebencian dalam senyumnya. "Kamu jangan bermimpi bisa menikah dengan Kaiden, lihat kamu hanya seorang petugas kebersihan dan pantasnya menikah dengan satu profesi," ucapnya, suaranya penuh dengan ejekan. Sebenarnya aku tidak ingin meladeni wanita di depanku, karena aku tidak ada urusan dengannya. Aku tidak mau terlibat dengan urusan orang kaya, aku ingin hidup normal. Jadi, aku menghiraukan perkataan wanita itu, memilih melanjutkan langkah ke arah pantry. Kantor yang megah dan modern ini tiba-tiba terasa tidak nyaman. Suara mesin fotocopy dan keyboard komputer yang biasanya terdengar biasa saja, sekarang terasa seperti mengganggu. Aku berjalan di koridor yang panjang, dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya matahari. "Hei, aku itu sedang bicara dengan kamu!" bentak Soraya, tiba-tiba wanita itu menarik rambutku dari belakang karena aku mengacuhkannya. Aku terhenti melangkah, merasakan sakit di rambutku. Aku berbalik, memandang Soraya dengan mata yang kesal. "Apa yang kamu mau?" tanyaku, suaraku tegas. Soraya tersenyum sinis, matanya memancarkan kebencian. "Jauhi Kaiden, atau kamu akan menyesal berurusan denganku," ucapnya, suaranya penuh dengan ancaman. Aku menatap wanita di depanku dengan tajam, lalu menghempaskan tangannya yang masih meremas rambutku. Dia pikir aku takut dengannya? Aku memiliki kartu As jika aku membuka kebenaran atas kematian Aruna akibat ulahnya. Aku yakin Kaiden akan membalasnya jauh lebih kejam. "Hei, kamu berani menatapku seperti itu! Aku bisa memecat kamu!" ancamnya, suaranya meninggi. Aku mencondongkan wajahku ke arahnya, mataku bertemu dengan matanya yang penuh dengan kemarahan. "Yakin kamu bisa memecatku?" ucapku dengan pelan, suaraku dingin. "Hem, kalau Kaiden tahu kematian Aruna ada kaitannya dengan seseorang... bagaimana ya reaksinya?" lanjutku, suaraku tetap pelan tapi penuh dengan ancaman. Ekspresi Soraya seketika menegang, bola matanya melebar menatapku dengan pandangan ketakutan. Wajahnya yang sebelumnya penuh dengan kemarahan, sekarang berubah menjadi pucat pasi. Aku bisa merasakan aura ketakutan yang terpancar dari dirinya. Aku tersenyum dalam hati, merasa puas dengan reaksi Soraya. Aku sekarang memiliki kekuatan untuk membuatnya takut. "Ka... kamu," ucapnya dengan suara gugup. Aku mengangguk dengan dagu terangkat, merasa puas dengan reaksi Soraya. Soraya melangkah mundur dengan tubuh kaku dan tidak percaya, lalu gadis itu meninggalkanku dengan langkah cepat. Aku menarik napas lega, terbebas dari wanita seperti Soraya. Kembali aku masuk ke dalam pantry, sepertinya membuat kopi pilihan yang tepat untuk merileksasikan hati ini. Tiba di pantry, aku menuang kopi kemasan saset ke dalam gelas sambil menunggu air panas. "Eheem." Aku tersentak saat ada seseorang yang berdehem, lalu aku berbalik badan dan melihat Kak Leon sudah berdiri di pintu pantry. "Apa boleh aku masuk?" tanyanya dengan senyum lembut. Aku merasa sedikit gugup bertemu dengannya lagi. "Tentu saja," jawabku, mencoba untuk tetap tenang. Pria tampan namun terlihat dewasa melangkah masuk ke dalam pantry, matanya memandangku dengan intens. Aku merasa sedikit tidak nyaman. "Apa Pak Leon butuh sesuatu?" tanyaku, mencoba untuk mengalihkan perhatian. Pria itu tersenyum, lalu mendekati aku. "Kenapa panggil pak, biasanya panggil Kak Leon," ucapnya, suaranya sangat lembut. Aku merasa sedikit malu. "Tapi, Pak Leon dan Pak Kaiden memiliki hubungan keluarga. Aku mana berani memanggil Kak," jawabku, tidak enak hati. "Ya sudah, kalau di kantor kamu panggil aku Pak, tapi kalau di luar panggil aku, Kak," ucapnya dengan santai. Aku merasa terkejut. "Mana bisa begitu," protesku. "Kenapa tidak? Nanti kita akan sering bertemu. Jadi, ingat pesanku, panggil aku kakak kalau di luar," ucapnya dengan pelan, matanya memandangku dengan hangat. Aku merasa sedikit terintimidasi oleh tatapan matanya. "Baiklah, Pak... eh, Kak," jawabku akhirnya, mencoba untuk memenuhi permintaannya. Kak Leon tersenyum, sepertinya puas dengan jawaban aku. Aku merasa malu karena salah bicara. Kak Leon mendekatiku, lalu menyodorkan tangan untuk mengambil gelas kopi yang aku pegang. "Aku bisa membantu kamu membuat kopi," ucapnya, suaranya lembut. Aku menyerahkan gelas kopi kepada Kak Leon, lalu mundur sedikit untuk memberi ruang baginya. Kak Leon tersenyum, lalu mulai membuat kopi dengan gerakan yang terampil. Aku memperhatikan gerakan tangannya, merasa sedikit terpesona oleh keahliannya. "Ini kopinya." Pria itu memberikan gelas kopi ke tanganku. "Kalau begitu aku pergi dulu, sampai bertemu besok Rania," ucapnya lalu melangkah pergi. Tanpa sadar aku menatap punggungnya yang kokoh sampai menghilang di balik pintu. Aku terduduk lemas dengan tubuh sedikit gemetar, apa aku bermimpi bertemu kembali dengan pria penyelamatku. Hanya membayangkannya saja membuat hatiku seperti ada kupu-kupu berterbangan. "Rania, kenapa kamu senyum-senyum sendiri seperti itu?" tanya Mbak Susi, mengagetkanku. Aku tersadar dari lamunan, lalu memandang Mbak Susi dengan wajah yang sedikit malu. "Nggak apa-apa, Mbak. Tadi ada kejadian lucu saja," jawabku, mencoba untuk mengalihkan perhatian. Mbak Susi terduduk di kursi dengan lemas, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya sedih. "Mbak ada apa?" tanyaku penasaran. Mbak Susi menarik napas dalam-dalam, lalu memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Rizal jatuh dari sepeda saat ini sedang di klinik, tapi Mbak mana mungkin meninggalkan pekerjaan Mbak. Mbak harus lembur," ucapnya dengan suara berat. "Ya ampun, Rizal kecelakaan, Mbak. Kalau begitu, Mbak pulang saja, aku yang akan menggantikan Mbak lembur," kataku, merasa kasihan dengan Mbak Susi. Wajah Mbak Susi berbinar dengan mata yang berkaca-kaca. "Serius, Rania? Terima kasih," ucapnya, suaranya penuh dengan rasa terima kasih. "Sudahlah, Mbak. Kita harus saling membantu," ucapku, mencoba untuk menenangkan Mbak Susi. Mbak Susi tersenyum, lalu mengambil tasnya. "Iya, Rania. Kalau begitu, Mbak pulang dulu," ucapnya, sebelum melangkah pergi. Aku memandang Mbak Susi dengan rasa simpati, berharap Rizal cepat pulih. Seluruh karyawan sudah pulang, aku menggantikan Mbak Susi membereskan ruangan agar besok ruangan kembali bersih. Aku mengerjakannya dengan cepat agar pulang tidak larut malam. Setelah hampir 2 jam, pekerjaanku selesai. Sekarang tinggal membereskan ruang Direktur, tapi ada yang membuatku berat masuk ke dalamnya. Kenangan malam itu masih membuatku trauma. Tapi melihat lampu masih menyala, berarti pria tidak punya hati itu belum pulang. Sebaiknya aku membersihkannya kalau dia sudah tidak ada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN